Gelombang kejut karena ledakan Gunung Tonga di Pasifik telah memicu meteo-tsunami, yang menjalar lebih cepat dibandingkan tsunami karena pergerakan massa air laut yang menjalar dari sumbernya secara hidrodinamika.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Letusan gunung api Tonga di Kepulauan Pasifik memicu dua jenis tsunami dan keduanya terdeteksi di Indonesia. Selain tsunami karena pergerakan massa air laut yang menjalar dari sumbernya secara hidrodinamika, letusan ini juga memicu meteo-tsunami akibat ada gelombang kejut yang menjalar di atmosfer dan berinteraksi dengan permukaan laut.
Peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Semeidi Husrin, di Jakarta, Kamis (27/1/2022), mengatakan, analisis data yang masuk ke jaringan Perangkat Ukur Murah untuk Muka Air laut (PUMMA) di Indonesia menunjukkan ada dua jenis gelombang tsunami dari erupsi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai pada Sabtu (15/1).
”Gelombang tsunami pertama yang terekam jaringan PUMMA di Indonesia ternyata bukanlah tsunami biasa yang selama ini dipahami masyarakat ataupun oleh sebagian saintis. Tsunami ini adalah jenis meteo-tsunami, yang sering dibangkitkan oleh aktivitas gunung api,” kata Semeidi, yang juga anggota Ikatan Ahli Tsunami Indonesia (IATsI).
Meteo-stunami dibangkitkan oleh perubahan tekanan yang terjadi secara tiba-tiba dapat mengakibatkan gangguan pada badan air sehingga membangkitkan gelombang tinggi. Dalam kasus erupsi Tonga, perubahan tekanan ini disebabkan ada gelombang kejut akibat ledakan dahsyat yang menjalar di atmosfer dan berinteraksi dengan permukaan laut.
Gelombang tsunami ini, walaupun hanya memiliki ketinggian amplitudo sejengkal atau maksimum 40 sentimeter (cm), dengan sangat jelas terdeteksi oleh perangkat PUMMA yang terpasang di selatan Prigi, Trenggalek, Jawa Timur, dan telah mengirimkan sinyal sebanyak 36 kali secara otomatis pada hari itu. ”Meteo-tsunami ini terdeteksi di Prigi pukul 13.13 UTC (pukul 20.14 WIB) atau kurang dari 9 jam pascaletusan pulau gunung api di Tonga, persisnya 8 jam 47 menit,” kata Semeidi.
Meteo-tsunami ini tiba sekitar tujuh jam lebih awal sebelum kedatangan gelombang tsunami ”biasa” yang dipicu oleh terganggunya muka air di lokasi letusan gunung api tersebut. ”Tsunami ’biasa’ dari Tonga yang menjalar dari proses hidrodinamika terdeteksi di Prigi pukul 20 UTC,” ujarnya.
Gelombang tsunami pertama yang terekam jaringan PUMMA di Indonesia ternyata bukanlah tsunami biasa yang selama ini dipahami masyarakat ataupun oleh sebagian saintis. Tsunami ini adalah jenis meteo-tsunami, yang sering dibangkitkan oleh aktivitas gunung api.
Kecepatan dari shock waves atau gelombang kejut akibat letusan Tonga diperkirakan 300 meter per detik, artinya gelombang ini dapat mencapai Indonesia berjarak 8.000 kilometer dalam kurun waktu 7 jam. Hal ini menyebabkan gelombang tsunami pertama atau meteo-tsunami bisa tiba jauh lebih dulu dibandingkan dengan tsunami biasa.
Menurut Semeidi, peristiwa letusan Pulau Gunung Api Tonga yang membangkitkan meteo-tsunami jauh dari sumbernya sebenarnya bukan fenomena baru karena di Indonesia sebelumnya pernah terjadi akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang lebih dahsyat. Letusan Gunung Krakatau tahun 1883 juga menyebabkan gelombang kejut yang membangkitkan meteo-tsunami dan terekam di seluruh dunia yang tiba lebih cepat dibandingkan dengan gelombang tsunami ”biasa”.
Penelitian dari Harkrider dan Press (1967) yang juga dikonfirmasi oleh Pelinovsky dan Choi (2005) memperlihatkan data tsunami di stasiun pasang surut setelah erupsi Krakatau 1883 di Samudra Pasifik, Amerika Utara, Amerika Tengah, Eropa, Australia, Selandia Baru, Asia Selatan, Timur Tengah, hingga Afrika. ”Letusan Tonga kali ini mengingatkan kembali bahwa tsunami karena erupsi gunung api memiliki jenis berbeda, salah satunya adalah meteo-tsunami yang bisa datang lebih cepat sebelum tsunami biasa,” ujarnya.
Terkuat setelah Krakatau
Sementara itu, sejumlah ahli mengatakan, letusan gunung Tonga merupakan salah satu letusan gunung api terkuat dalam sejarah modern. Andreas Kronenberg, profesor di Geology di Texas A&M, dalam keterangan tertulis mengatakan, letusan di Tonga kemungkinan termasuk yang terkuat dalam setidaknya 30 tahun.
”Secara umum, gunung berapi di sekitar Lingkar Pasifik jauh lebih kuat dan eksplosif daripada gunung berapi tipe Hawaii, sebagian besar karena kandungan volatil dan komposisi magma di dalamnya,” kata Kronenberg.
Menurut dia, zona subduksi Tonga adalah zona yang besar dan seluruh Pasifik Barat Daya memiliki apa yang kita sebut gunung berapi strato. Ini adalah gunung berapi yang sangat kuat dan juga jenis yang mencakup Gunung Vesuvius yang menutupi Pompei di Italia dan Gunung St Helens, yang meledak beberapa dekade lalu, dan Krakatau di Indonesia.
Menurut dia, letusan terbesar yang pernah terjadi adalah Krakatau pada tahun 1883 dan menewaskan lebih dari 36.000 orang. Beberapa orang membandingkan letusan Tonga mirip dengan Krakatau, dan NASA mengatakan ledakan Tonga setidaknya 500 kali lebih kuat daripada bom yang dijatuhkan di Hiroshima pada 1945.
”Krakatau benar-benar epik, dan Tonga jelas menghancurkan. Dan tampaknya air yang masuk ke dalam gunung berapi menambah daya ledaknya. Akibatnya, tsunami terjadi karena ada gangguan dasar laut yang dengan cepat memindahkan air laut dalam jumlah besar, seperti patahan yang tiba-tiba berubah bentuk di dasar laut,” kata Kronenberg.