Semestinya pemerintah tak boleh “diam atau mendiamkan”, segala bentuk tindakan intoleran yang bersifat destruktif. Tindakan seperti itu penanda bahwa virus ideologi radikal sudah menjalar hingga akar rumput.
Oleh
ADJIE SURADJI
·5 menit baca
Pada 21 Januari 1985, 37 tahun silam, Candi Borobudur rusak cukup parah, menyusul sembilan stupa dan dua patung Buddha yang hancur akibat ledakan bom teroris. Dua pelakunya, Al-Habsyi bersaudara (Abdul Kadir Ali Al Habsy dan Husein Ali Al-Habsy) berhasil ditangkap, dan dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Malang dengan tuduhan subversi. Namun Presiden Habibie (alm) memberikan grasi untuk mereka sehingga bisa bebas pada tahun 1999.
Lalu, serangan terorisme bermotif “jihad” seperti peledakan bom atau bom bunuh diri, secara berturut-turut mulai terjadi. Tak hanya itu, sikap intoleran, persekusi, diskriminasi hingga intimidasi dan perusakan/pembakaran tempat ibadah kaum minoritas, mulai marak.
Beberapa kasus tercatat; Lia Eden (2006); Tajul Muluk, Sampang, Madura (2012); Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar; 2015); peristiwa Tanjung Balai, Kepulauan Riau (2016); dan sedekah laut di Pantai Baru, Srandakan, Bantul, DI Yogyakarta (2018). Terkini, kasus penendangan sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru (2022).
Dalam buku; “Islamism and Islam” (2012) karya Bassam Tibi mendefinisikan “Islamis” sebagai a political ideology based on a reinvented version of Islamic law, (sebuah ideologi politik yang didasarkan pada versi hukum Islam yang diciptakan kembali). Definisi ini mengisyaratkan jika dasar, basis, atau fondasi kelompok Islamis dalam membangun "Islamisme” ("ideologi Islam politik”) bukan hukum Islam atau syariat Islam, melainkan pemahaman kembali, tafsir ulang, atau rekonstruksi atas sejumlah diktum hukum Islam (syariat) yang disesuaikan dengan konteks dan kebutuhan politik mereka.
Ilustrasi ini sekaligus mengindikasikan kenapa visi, platform, agenda, dan tujuan kelompok Islamis berbeda antara satu dengan yang lain.
Namun, meskipun berbeda, dalam praktik mempropagandakan ke-Islaman, termasuk keinginan mengganti sistem (demokrasi) dengan teokrasi yang di imaginasikan (khilafah), memiliki ciri umum yang sama dengan kaum Muslim secara umum. Mereka memanfaatkan (agama) Islam sebagai kemasan dan senjata, artinya siapapun yang menentang kehendak politik mereka akan dianggap sebagai musuh Islam. Kondisi ini membuat Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) kesulitan mendeteksi eksistensi kaum Islamis.
Mereka memanfaatkan (agama) Islam sebagai kemasan dan senjata, artinya siapapun yang menentang kehendak politik mereka akan dianggap sebagai musuh Islam.
Dalam beberapa kasus, aparat pemerintah sering terjebak paradigma. Ada kesan ambigu atau mendiamkan (membiarkan) kasus-kasus penistaan agama yang dilakukan kelompok mayoritas.
Kesan ini pula yang dijadikan alasan Pangeran Zeid Ra’ad Al Hussein, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) sewaktu berkunjung ke Indonesia (07/02/2018), yang menyatakan bahwa Undang-Undang penistaan agama di Indonesia (Pasal 156 huruf a KUHP) hanya dipakai untuk menghukum kaum minoritas.
Anggapan "bid’ah" dan musyrik
Bercermin dari sepak terjang ISIS (Islamic State in Iraq and Syria) di Suriah yang menghancurkan patung-patung, relief dan benda bersejarah lainnya, semestinya pemerintah (Indonesia) tak membiarkan, mendiamkan, atau bersikap ambigu terhadap kasus-kasus yang bersifat destruktif dan intoleran kaum radikalis. Karena jika pemerintah gagal mengantisipasi, meredam, atau mengeliminasi tindakan kaum radikalis (kekerasan dan tekanan sosial) terhadap kaum minoritas, dipastikan kelompok radikalis akan berkuasa di Indonesia.
Akibatnya, hal buruk akan terjadi. Candi-candi dan bangunan bersejarah lainnya akan dihancurkan karena dianggap musyrik. Dan, tradisi budaya/kearifan lokal, seperti pertunjukan wayang kulit, pakaian adat, termasuk membuat sesajen dan syukuran akan dilarang karena dianggap bid’ah.
Terhadap kasus relawan yang menendang sesajen di lokasi erupsi Gunung Semeru, tak bisa dianggap sebagai aksi spontanitas dan intoleran, semata. Harus diakui, bahwa aksi tersebut merupakan cerminan ajaran “Islamis”, sekaligus penanda bahwa virus ideologi radikal sudah menjalar dalam kehidupan masyarakat hingga level akar-rumput (grassroots).
Warning dari BNPT (2021) yang menyatakan bahwa 32 juta penduduk Indonesia terpapar radikalisme dan 17.000 diantaranya sudah masuk sel jaringan terorisme, barangkali tak berlebihan. Oleh sebab itu, semestinya pemerintah tak boleh “diam atau mendiamkan”, segala bentuk tindakan intoleran yang bersifat destruktif tersebut.
Semestinya pemerintah tak boleh “diam atau mendiamkan”, segala bentuk tindakan intoleran yang bersifat destruktif tersebut.
Munculnya pernyataan lewat narasi bahwa khilafah tak laku karena Indonesia punya Pancasila dan UUD 1945 yang membentengi keutuhan NKRI, perlu di klarifikasi kembali. Karena selain bisa menurunkan kewaspadaan, asumsi ini juga mengindikasikan, jika dihadapkan pada kasus yang menyangkut masalah agama (mayoritas), pemerintah seperti kehilangan daya tangkal (deterrent) yang baik.
Upaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang menghargai keberagaman (heterogenitas) dan taat pada aturan pemerintah, tampaknya masih setengah hati. Karena pada sisi lain, ambisi membangun eksklusivisme agama juga terus di propagandakan secara masif.
Terminologi syariah terus dikampanyekan, baik sebagai peraturan daerah (perda) dan dalam sistem keuangan (bank). Lalu, istilah “halal” juga terus dibangun dan dikembangkan, untuk kepentingan ekonomi. Perda, sistem keuangan (syariah), dan istilah halal hingga cara berpakaian sehari-hari (gamis, sorban, dan jilbab), meskipun belum menjadi penanda pergeseran/tranformasi ideologis, namun jika terus dikampanyekan bukan tidak mungkin akan menjadi ancaman bagi budaya dan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Indonesia ibarat katak yang direbus, merasa aman dan nyaman dalam keterancaman. Tragedi kemanusiaan diprediksi akan melanda Indonesia jika pemerintah terus memberi ruang dan kebebasan pada kelompok Islamis. Beberapa propinsi yang mayoritas non-Muslim akan memisahkan diri dari NKRI, apabila kelompok radikalis berkuasa. Ketika agama (Islam) tetap dijadikan senjata politik, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi Suriah atau Afganistan, seperti hari ini.
Barangkali prediksi Alice Ann Bailey (1880-1949), seperti ditulis dalam bukunya berjudul “Esoteric Healing–A Treatise on the Seven Rays (1925)”, benar. Bahwa masyarakat dunia akan dihadapkan pada dua tantangan yang mengerikan.
Pertama dampak negatif dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (sains), menjadikan manusia bagai mesin mekanik tanpa hati dan jiwa. Kedua, kekecewaan terhadap agama samawi yang gampang terdistorsi oleh keduniawian (politik dan ekonomi), sehingga agama tak lagi bisa dijadikan sebagai penyejuk spiritual masyarakat bangsa.
Rezim berkuasa sekarang barangkali masih bisa membentengi Pancasila, UUD 1945 dan NKRI. Namun bagaimana dengan rezim-rezim berikutnya, ketika kelompok Islamis menguasai perpolitikan nasional?
Jangan biarkan NKRI terpecah, hanya tinggal kenangan dan menjadi bagian sejarah masa lalu.
Adjie Suradji, Alumnus Fakultas Sains, Universitas Karachi, Pakistan