Bulan ini, PT Kanisius mengukuhkan diri sebagai perusahaan penerbitan dan percetakan yang mampu bertahan hingga usia 100 tahun. Proses jatuh bangun mewarnai perjuangan perusahaan yang berdiri sejak 26 Januari 1922 ini.
Oleh
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
·4 menit baca
”Pertjetakan ini jang dimulai serba ketjil2an setengah abad jang lampau, kini telah berkembang, terutama setelah beberapa tahun terachir ini menjadi sebuah pertjetakan modern dan besar (termasuk tiga besar di seluruh Indonesia)” (halaman 1, harian Kompas, 30 April 1972).
Tahun 1972, Pertjetakan Kanisius Jogjakarta (sekarang PT Kanisius) genap berusia 50 tahun. Resepsi setengah abad berdirinya Percetakan Kanisius pada waktu itu digelar di Hotel Garuda Yogyakarta, April 1972.
Ketika republik ini masih tergolong belia, Percetakan Kanisius bahkan telah merayakan pesta emasnya. Tak ada yang menyangka, percetakan yang dicetuskan oleh Pastor J Hoeberechts SJ dan dirintis Bruder Bellinus FIC itu mampu melampaui 50 tahun keduanya, hingga usia seabad!
Dimulai dengan serba kecil-kecilan, demikianlah percetakan ini mengawali tonggak karyanya pada 26 Januari 1922 di gudang bekas pabrik besi, Kompleks Bruderan FIC, Jalan P Senopati 16, Yogyakarta. Percetakan Kanisius yang awalnya bernama Canisius Drukkerij hanya mengoperasikan dua mesin dengan tiga pegawai.
Setahun kemudian, percetakan ini membangun gedung seluas 200 meter persegi. Mesin-mesin baru didatangkan dari Eropa dan jumlah karyawan bertambah menjadi 20 orang.
Canisius Drukkerij terus bertumbuh. Pada kepemimpinan Bruder Baldewinus FIC tahun 1934, percetakan ini pindah ke Jalan P Senopati 24 yang lebih luas, sekitar 1.200 meter persegi. Kapasitas mesin-mesin ditingkatkan dan percetakan tersebut mulai menerima pesanan dari luar.
Memasuki usia dua dasawarsa, pada masa penjajahan Jepang tahun 1942, Percetakan Kanisius mengalami cobaan. Percetakan ini nyaris mati. Pimpinannya, Bruder Baldewinus FIC, diasingkan oleh Jepang.
Berulang kali jatuh
Namun, begitu Jepang menyerah dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Pemerintah Indonesia akhirnya menyerahkan pengelolaan Kanisius kepada Pastor A Djajasepoetra SJ sebagai wakil uskup pada 8 Mei 1946. Di tengah keterpurukan, akhir 1946, Percetakan Kanisius mendapat kepercayaan dari negara untuk mencetak ORI (Oeang Repoeblik Indonesia).
Jai Singh Yadav, Visiting Associate Professor untuk Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, dalam tulisannya di harian Kompas, 1 November 1991, menjelaskan, pada 29 Oktober 1946, melalui RRI Yogyakarta, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengumumkan terbitnya ORI. Menurut Bung Hatta, uang itu dimaksudkan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat, terutama para pegawai negeri, agar tidak terlalu terkena akibat dari adanya inflasi uang Jepang.
Pada saat Kemerdekaan RI diproklamasikan, hanya uang Jepang yang dinyatakan berlaku sebagai alat pembayaran yang sah. Namun, di masyarakat, uang NICA (Netherlands Indies Civil Administration) juga masih beredar secara luas.
Waktu itu, TNI berusaha keras membendung arus peredaran uang NICA dengan menyebarluaskan ORI ke kantong-kantong gerilya RI. Emisi pertama uang ORI yang semula dicetak di Jakarta kemudian disusul dengan emisi ke-2, ke-3, ke-4, dan ke-5, yang semuanya dicetak di Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Seiring perkembangan zaman, Percetakan Kanisius pada 1968 mulai menjajaki bisnis penerbitan. Saat itulah, Penerbit Kanisius menjadi anggota ke-19 IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia).
Seperti logo yang disemat, yaitu kapal layar, Penerbit-Percetakan Kanisius berulang kali harus terombang-ambing digempur ombak. Pada 1980, perusahaan ini menghadapi kesulitan keuangan. Provinsial Serikat Jesus sebagai pemilik sempat memutuskan menjual unit percetakan ke Percetakan Arnoldus Ende. Namun, pimpinan dan karyawan berkomitmen untuk sama-sama ”mengencangkan ikat pinggang” sehingga mereka pun lolos dari krisis.
Provinsial Serikat Jesus sebagai pemilik sempat memutuskan menjual unit percetakan ke Percetakan Arnoldus Ende. Namun, pimpinan dan karyawan berkomitmen untuk sama-sama ’mengencangkan ikat pinggang’ sehingga mereka pun lolos dari krisis.
Memasuki era 1980 hingga 2000-an, Kanisius berkembang pesat. Selain buku, berbagai macam produk multimedia hingga permainan edukatif diterbitkan. Pada saat peringatan 60 tahun, Februari 1982, Penerbit-Percetakan Kanisius telah memiliki 200 karyawan, menerbitkan ratusan ribu, serta mampu beralih dari teknologi cetak timah ke mesin set foto (Kompas, 12 Februari 1982).
Akhir 1990-an, perluasan pasar pun dilakukan hingga ke luar negeri. Pada 1996, Penerbit-Percetakan Kanisius pertama kali hadir di stan Frankfurt Book Fair di Jerman.
Namun, memasuki usia ke-88 pada 2010, Kanisius kembali dihajar ”gelombang”. Krisis kepemimpinan serta kekacauan sistem internal menggerogoti perusahaan ini.
Pengelolaan perusahaan kemudian diserahkan kepada Tim Task Force. ”Tim Task Force, yang ditugaskan untuk menata ulang bangunan sistem tata kelola organisasi pada April 2011, mau tak mau harus membawa Kanisius memasuki babak pergulatan untuk beranjak dari ketokohan menuju sistem,” kata Direktur Eksekutif PT Kanisius Margaretha Sulistyorini (Kesetiaan Kreatif: Refleksi Perjalanan 100 Tahun Karya Penerbit-Percetakan Kanisius, 2022).
Pembenahan sistem inilah yang kemudian mengantar Kanisius pada transformasi sebagai perusahaan profesional dengan berganti nama menjadi PT (Perseroan Terbatas) Kanisius pada Januari 2014. ”Setelah melakukan pembenahan sistem internal, kami mulai terjun ke era baru bisnis digital,” kata Manajer Pemasaran PT Kanisius RP Satriyo Sinubyo.
Menginjak usia 100 tahun, Canisius Drukkerij terbukti mampu melalui berbagai periode zaman di negeri ini. Meski demikian, sebagai sebuah perusahaan profesional, PT Kanisius praktis baru menginjak usia ke-8. Pencapaian seabad tentu luar biasa dan harus disyukuri, tetapi tantangan ke depan yang tak kalah berat tak akan habis menghadang.