Sesaji Bumi Persembahan Semesta Diri
Rangkaian bunga dalam canangsari ibarat kembang rampai doa, yang tanpa diucapkan pun telah menjadi sarana komunikasi dirimu dengan Tuhan. Begitulah cara kita masing-masing memuliakan keberadaan Tuhan.
Aku tidak akan memulai catatan ini dengan mengingat tindakan sembrono yang telah dilakukan Hadfana Firdaus yang menendang sesajen masyarakat Lumajang di kawasan bencana Gunung Semeru. Betapa pun, ia telah melukai perasaan karena ketidakmengertiannya. Sesaji bagiku tidak bisa dilihat dengan kacamata keyakinan berbeda. Ia menuntut sikap rendah hati dan menunduk takzim di hadapan semesta.
Aku akan mulai catatan ini dengan mengutip puisi pendek Umbu Landu Paranggi yang berjudul Seremoni. Begini tulis Umbu: //dengan mata pena kugali gali seluruh diriku/dengan helai helai kertas kututup nganga luka lukaku/kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku/begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku//. Puisi ini pertama kali dimuat di halaman budaya koran Bali Post pada 1978. Ini tahun mula-mula keberadaan Umbu di Bali, setelah ”hijrah” dari Yogyakarta.
Umbu telah menukilkan pemaknaan universal dari sebuah upacara. Karena ia penyair, Umbu menggunakan mata pena sebagai metafora pencarian ke dalam dirinya sendiri. Di situlah ia kemudian bertemu dengan semesta diri, yang menghubungkannya secara simbolik dengan ”nyawaMu”, sebagai semesta raya. Puisi ini bisa menjadi semacam mulat sarira atau refleksi diri manusia sebagai zat yang bersenyawa dengan Zat Maha Agung bernama Tuhan Yang Maha Esa.
Umbu memang tidak memerlukan sesaji atau banten, sebagaimana banyak dilakukan orang-orang Bali. Kepanyairan Umbu yang terus-menerus bergerak dengan hakikat telah membawanya memasuki wilayah sang kawi-wiku, sebuah wilayah kepanditaan seorang penyair. Kata-kata yang ia temukan, kumpulkan, dan kumudian diasahnya ibarat inti sari mantra, yang membebaskannya dari ikatan wadag/visual.
Tentu tidak semua orang mampu menempuh dan mencapai laku kepanditaan. Oleh sebab itu, dalam sistem kepercayaan di Nusantara, terutama di Bali, diciptakanlah sesaji dan kemudian banten. Sesaji bisa dimaknakan sebagai mempersembahkan secara simbolik apa pun yang kita miliki, terutama yang berasal dari alam, kembali kepada alam. Ia menjadi sebentuk tanda syukur atas karunia alam yang telah memberi tanah, air, api, dan udara kepada segenap makhluk. Dari tanah tumbuhlah pohon, dari air terciptalah kehidupan, dari api terjalinlah kehangatan, dan dari udara berkembanglah kesemestaan diri. Adapun banten merupakan sesaji yang telah memperoleh sentuhan estetik-simbolik sehingga persembahan bertransformasi menjadi sebuah doa. Logikanya bisa dibalik bahwa, jika seseorang tidak menguasai doa-doa kitab suci, persembahan bisa dilakukan dengan sesajian atau banten.
Aku ingin mengajakmu meresapi makna sloka dalam kitab Bhagavad Gita berikut ini: //Pattram puspam phalam puspam phalam toyam//Yome bhaktya prayaccati /Tad aham bhaktyu pakrtam/Asnami prayatat asnamah//. Artinya, ”Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah, atau air dengan cinta dan bhakti, Aku akan menerimanya” (Bhagavad Gita IX.26).
Sloka ini diperkuat dengan sabda berikut ini://yat karosi yad asnasi/yaj juhosi dadasi yat/yat tapasyasi kauenteya/tat kurusva mad-arpanam//. Artinya, apa pun yang engkau lakukan, apa pun yang engkau makan, apa pun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai pemberian serta pertapaan dan apa pun yang engkau lakukan, lakukanlah itu sebagai persembahan kepada-Ku (Bhagavad Gita IX.27)
Jika demikian, inti dari persembahan sebenarnya ketulusan hati dan rasa bakti yang tuntas. Dengan apa pun kau melakukannya, jika itu dilandasi oleh sikap rendah hati dan totalitas ketulusan, Tuhan akan menerimanya. Bahkan, jika engkau tidak menguasai doa atau mantra sebaris pun, dengan daun, bunga, air, yang disertai rasa cinta dan bakti, engkau akan ”bertemu” dengan-Nya.
Inilah dasar dari perciptaan banten di Bali. Salah satu contoh yang barangkali engkau bisa jadikan pegangan, ada banten bernama daksina. Daksina terdiri dari sok srebeng atau wadah sebagai perwujudan tubuh. Di dalamnya terdapat kelapa sebagai simbol kepala, yang berisi mata, mulut, dan hidung. Kemudian, telur melambangkan jantung, kemiri simbol dari ginjal, pangi simbol dari hati karena bentuk dan warnanya. Dalam daksina juga terdapat pisang kayu sebagai simbol dari tulang dan bija ratus atau biji-bijian yang berwarna hitam, putih, merah, kuning, dan berumbun atau abu-abu. Bija ratus menyimbolkan jeroan dan usus dalam organ tubuh manusia.
Seluruh isian dari banten bernama daksina adalah simbol ketubuhan, baik itu tubuh diri maupun tubuh semesta. Hanya dengan penyatuan keduanyalah persembahan itu benar-benar diterima sebagai persembahan yang tulus dan ikhlas.
Oleh sebab itu, daksina selalu diletakkan sebagai simbol keberadaan ruh ketuhanan di tempat-tempat suci, termasuk pelangkiran (altar di rumah masing-masing).
Orang-orang yang tak memiliki laku kepanditaan atau karena keterbatasannya tidak mampu mendalami sastra dalam kitab suci Weda cukup melakukan persembahan dengan sarana bernama banten. Banten diciptakan sebagai bahasa komunikasi simbolik untuk mencapai ”penyatuan” dengan sifat-sifat ketuhanan. Banten juga dihadirkan sebagai visualisasi dari doa sehingga orang-orang dengan keterbatasan sastra tetap mampu menghubungkan diri dengan Tuhan.
Komunikasi simbolik antara manusia dan Tuhan, dalam ajaran ini, tidak boleh dimonopoli oleh para pandita atau orang-orang suci. Setiap orang bisa melakukan komunikasi langsung dengan Tuhan. Jika ia tidak menguasai bait-bait doa yang sering kali memang rumit, ia cukup mempersembahkan sesajen atau banten.
Komunikasi simbolik antara manusia dan Tuhan, dalam ajaran ini, tidak boleh dimonopoli oleh para pandita atau orang-orang suci.
Suatu hari aku bertemu seorang dosen yang juga pengacara di Surabaya. Sangat kebetulan ia menjadi salah satu pengacara kasus yang pernah menghebohkan Tanah Air: penculikan dan pembunuhan buruh bernama Marsinah. Sebagai seorang reporter, aku ingin menggunakan jalurnya untuk mewawancarai seseorang yang sedang ditahan di penjara Medaeng, Surabaya. Entah bagaimana ceritanya, mungkin karena membaca namaku ia bertanya:
”Apakah Anda menganut Hindu?”
”Apakah cukup penting dibicarakan?” tanyaku balik.
”Saya punya pengalaman tentang itu. Ingin saya ceritakan,” katanya.
”Boleh saja.”
Kemudian, ia menceritakan latar belakang kehidupannya di sebuah desa di Karangasem, Bali, sebelum berpindah untuk sekolah dan bekerja di Surabaya. Ia berkisah tentang ibunya, yang sudah uzur, tetapi tetap terlihat sibuk membuat banten setiap hari. Padahal, katanya, ia yakin sekali ibunya tidak menguasai sebait doa pun.
”Jadi, kepada siapa ia menghaturkan banten, sudah pasti tidak tahu. Apakah bisa begitu?” tanyanya.
Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan pertanyaannya.
”Kenapa, sih, harus menaruh banten di mana-mana? Selain pemborosan, itu membuat lelah, ya, kan? Itulah sebabnya saya berpindah menganut keyakinan lain,” katanya.
Aku mulai paham. Rupanya si pengacara ini, karena ikatan pernikahannya di Surabaya, telah berpindah keyakinan mengikuti keyakinan istrinya. Jika demikian halnya, ia telah salah mengambil posisi dalam memahami keyakinan para leluhurnya. Ia tak beda jauh dengan prilaku ugal-ugalan yang telah diperlihatkan Hadfana Firdaus di kawasan bencana Semeru pada awal Januari 2022.
Baca Juga: Sesajen Semeru dan Beda Pemaknaan Manusia
Seharusnya, sewaktu ia masih tinggal di Bali, pertanyaan-pertanyaan yang bersusulan di kepalanya diungkapkan kepada orangtua atau orang-orang yang memahami tentang keberadaan banten atau sesaji. Langkah berpindah keyakinan terlebih dahulu membuatnya tidak obyektif, tidak menundukkan kepala secara takzim di hadapan semesta. Ia bertanya dengan motif mengejek, meremehkan, dan bahkan menganggap aktivitas sesembahan ibunya sebagai kegiatan yang sia-sia belaka.
Meski, terus terang, aku agak marah dengan caranya yang sinis mempertanyakan aktivitas ibunya, perlahan aku hanya menjawab, ”Dalami keyakinanmu sebelum benar-benar bisa memahami keyakinan leluhurmu.” Ia tampak terperangah. Barangkali harapan debat tentang kepercayaan ibunya, yang juga jadi kepercayaanku sampai sekarang, berubah menjadi pembicaraan yang sensitif tidak berhasil. Pancingannya untuk mengajakku berdebat tentang agama dari posisi masing-masing keyakinan gagal total.
”Maaf, karena Anda sudah memilih, dalami saja sampai ke intinya, sebelum Anda kemudian menilai asal mula dari keyakinanmu terdahulu,” kataku lagi.
Terus-terang aku tidak berniat lagi menggunakan jalurnya melakukan wawancara dengan seseorang yang sedang ditahan di Medaeng itu. Dengan penuh hormat aku meminta teman reporter lain melanjutkan. Prinsipnya, aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak bisa bekerja sama dengan orang yang yang dipenuhi rasa curiga terhadap hakikat, yang justru telah mengantarkannya sebagai dosen dan pengacara.
Sampai kini aku merasa sangat tidak pada tempatnya waktu itu jika ingin menjelaskan tentang mengapa ada sesaji atau banten. Apa gunanya bagi orang-orang yang tidak meyakini keberadaan Zat Yang Maha Agung bernama Sang Hyang Parama Kawi, Tuhan Yang Maha Kuasa, membicarakan soal persembahan. Sesaji hanya akan dipandang mengotori, pemborosan, melelahkan, dan buang-buang waktu. Bagi dia, jika ingin ”berbicara” dengan Tuhan, mengapa tidak langsung saja, mengapa harus melalui sesaji atau banten?
Setidaknya, inti dari keberadaan sesaji dan banten telah kujelaskan kepadamu. Tentu saja tidak hanya daksina, banten paling sederhana bernama canangsari pun memiliki simbol-simbol ketuhanan. Kau pasti pernah menyaksikan seseorang menghaturkan canangsari di tempat-tempat suci, termasuk di perempatan jalan. Canangsari hanya terdiri dari wadah dari janur, dihiasi bunga warna putih, merah, kuning, hitam (ungu), dan kembang rampai (irisan pandan yang sering disebut obrog). Rangkaian ini adalah bahasa simbolik untuk memuja keberadaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Brahma (merah), Wisnu (hitam), Iswara (putih), Mahadewa (kuning), dan Panca Dewata (kembang rampai). Rangkaian bunga ini biasanya dilengkapi dupa sebagai simbol dari api dan tirta perwujudan dari air. Jika kau mempersembahkan canangsari, sesungguhnya kau sedang mengucap syukur atas keberadaan dirimu sebagai ciptaan dari Tuhan.
Sekali lagi, rangkaian bunga dalam canangsari ibarat kembang rampai doa, yang tanpa diucapkan pun telah menjadi sarana komunikasi dirimu dengan Tuhan. Begitulah cara kita masing-masing memuliakan keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Jadi, sesungguhnya, sesaji bagi bumi, yang diletakkan warga Lumajang di kawasan Gunung Semeru, adalah persembahan bagi semesta diri, yang telah menjadi percikan terkecil dari Zat Maha Besar bernama Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagaimana pula telah ditulis Umbu, begitulah kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku. Inti persembahan adalah penyatuan diri agar terjadi ”pembicaraan” intim dari hati ke hati antara dirimu dan dirimu, antara dirimu dan Tuhanmu….
Baca Juga: Menendang Sesajen Mencederai Keyakinan Masyarakat