Sesajen Semeru dan Beda Pemaknaan Manusia
Pro-kontra pria menendang sesajen di sekitar Gunung Semeru membuktikan bahwa pemahaman dan pemaknaan manusia bisa berbeda-beda. Simbol budaya masyarakat tertentu, belum tentu dipahami masyarakat lain. Bagaimana baiknya?

Sesajen
Peristiwa seorang pria menendang sesajen (sesaji) di Pronojiwo, Lumajang, Jawa Timur, viral dan menyita perhatian publik. Sebagian kecil mendukung aksi tersebut, tetapi lebih banyak menolaknya. Pemerintah Kabupaten Lumajang mengibarkan bendera perang atas aksi itu, yang dinilai mencederai keberagaman. Hal ini menjadi bukti, bahwa pemahaman dan pemaknaan manusia atas segala sesuatu bisa berbeda-beda.
Video viral tentang pria menendang sesajen di Lumajang, dan langsung mengaitkannya dengan keyakinan, mendadak memenuhi ruang informasi elektronik, online, hingga media cetak. Tentu saja, karena saat ini segala hal tentang Semeru akan menjadi sorotan. Bencana guguran awan panas Semeru awal Desember 2021, masih belum usai, masih banyak warga menanti relokasi akibat rumahya tersapu awan panas dan lahar hujan.
Berbuat âapa punâ yang dihubungkan dengan Semeru, masih akan laris jadi perbincangan. Contoh terakhir sebelumnya adalah serombongan seniman shooting sinetron di depan para pengungsi erupsi Semeru. Tak butuh waktu lama, itu pun menjadi viral.
Kedua kejadian itu mendapatkan âpanggung pemberitaanâ karena memang isu Semeru masih hangat. Sedikit berbeda dengan kasus sinetron tadi, kali ini aksi itu ditarik ke ranah keyakinan. Yang jelas, âterpanggungkannyaâ isu itu, seolah mempertegas bahwa perbedaan (cara pandang) itu nyata.
Baca Juga: Tingkeban, Merawat Tradisi dan Mengucap Syukur

Sesajen
Sebenarnya, kasus-kasus serupa tidak sekali ini saja terjadi. Tahun 2019 juga pernah terjadi perusakan tempat ibadah/persembahyangan Suku Tengger di area Gua Widodaren, kawasan Gunung Bromo, Pasuruan. Tahun 2018, juga terjadi perusakan tiga patung di Pura Mandhara Giri Agung Semeru, Lumajang. Tiga patung dirusak termasuk ditemukannya kapak menancap di kepala patung Dwarapala di pintu masuk pura. Hanya memang, momentumnya tidak setepat sekarang sehingga kejadian itu tidak menyita banyak perhatian.
Kali ini, sebagian kita menyebut bahwa perusakan sesaji di Semeru memiliki agenda lain (selain kemanusiaan). Semacam mencoba mencari âpanggungâ di atas luka warga Lumajang. Sebab, Gunung Semeru hingga kini masih erupsi dan mengeluarkan material vulkanik serta menimbulkan lahar hujan, sejak awal Desember 2021. Luka warga Lumajang terdampak bencana tersebut belum juga kering. Bupati Lumajang Thoriqul Haq mengutuk keras tindakan itu dan mendorong aparat penegak hukum bertindak.
Baca Juga: Tiga Patung Pura di Lumajang Dirusak Orang Tidak Dikenal

Gunung Semeru difoto pada Kamis (10/12/2021).
Dosen Sosiologi Universitas Brawijaya Dhanny Septimawan Sutopo menilai, viralnya aksi menendang sesajen di Semeru bisa dilihat dari adanya perbedaan keyakinan atau pemaknaan akan sesuatu hal. Bahwa, keyakinan yang kemudian diikuti oleh emosi dan keagamaan berbeda, kemudian menyebabkan cara pandang berbeda.
âSatu sisi, sesajen dianggap sebagai hal sakral, tetapi di sisi lain dianggap tidak benar dan negatif. Dan ketika emosi keagamaan seseorang tersentuh, bisa jadi itulah yang memicu orang bisa menendang sesajen seperti kasus di Semeru itu,â kata Dhanny.
Dhanny menyebut, kasus tersebut harusnya menjadi pelajaran bersama. Bahwa, beda pandangan itu nyata, dan bisa bisa memicu masalah jika tidak dikelola dengan baik. Menurut dia, sebaiknya kembali dimunculkan ruang bersama di mana memungkinkan beda pandangan/pemahaman/keyakinan itu diketahui banyak orang.
Baca Juga: Tradisi Api-Api dan Simbolisasi Toleransi

Potret sesajen tampak di dekat rumah salah satu calon kuwu atau kepala desa di Suranenggala Kidul, Kecamatan Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Minggu (21/11/2021). Sesajen tersebut diharapkan bisa memenangkan calon dalam pemilihan kuwu.
âSekarang ini ruang-ruang publik yang memberikan ruang untuk pemahaman berbeda, nyaris tidak ada. Misalnya, dahulu ada acara tentang penghayat kepercayaan. Baiknya, ke depan ruang-ruang publik seperti televisi atau lainnya, terus menyuguhkan acara yang memunculkan bahwa perbedaan itu nyata di Indonesia. Dan itu memperkaya dan membentuk ke-Indonesiaan sehingga orang menjadi terbiasa dengan perbedaan, tidak kaget, dan setidaknya bisa menerima bahwa ada hal berbeda di luar keyakinan atau pandangan kita. Ini harus dicermati oleh negara,â kata Dhanny.
Simbol
Selama ini, penggunaan sesaji/sasajen/sajen adalah bagian dari tradisi masyarakat, termasuk Jawa. Wahyana Giri MC dalam bukunya berjudul Sajen dan Ritual Orang Jawa (2010), menyebutkan bahwa sajen sudah diakrabi sejak (orang Jawa) lahir. Seiring zaman, masyarakat mulai banyak tidak paham maknanya, dan bahkan mulai dianggap bagian dari memuja setan.
Muhammad Sholikhin dalam bukunya Ritual dan Tradisi Islam Jawa (2010), menyebut bahwa bagi masyarakat Muslim Jawa, wujud pengabdian dan ketulusan penyembahan kepada Allah, sebagian diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol ritual. Simbol itu merupakan ekspresi pemahaman atas ârealitas tak terjangkauâ menjadi âyang sangat dekatâ.
Melalui simbol-simbol ritual itu, menurut Sholikhin, manusia mengaktualisasi pikiran, keinginan, dan perasaan pelaku untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Hal itu, terkadang juga dinilai sebagai negosiasi spiritual, agar hal gaib di atas manusia tidak menyentuh secara negatif.

Sajian dalam tradisi selamatan/ruwatan mbangun nikah ala masyarakat Jawa. Sajian berisi tumpeng dan aneka lauk pauk yang kemudian dimakan bersama-sama. Dokumen foto pada tahun 2017.
Menurut Sholikhin, sebagian simbol ritual merupakan pengaruh asimilasi Hindu-Jawa, Buddha-Jawa, dan Islam-Jawa. Asimilasi yang oleh sebagian orang disebut sinkretisme tersebut menurut Sholikhin juga terlihat dari kebiasaan membakar kemenyan pada ritual mistik. Di mana hal itu oleh masyarakat Jawa, diyakini sebagai bagian menyembah Tuhan secara kusyuâ (mencapai tahap hening) dan tadharruâ (mengosongkan kemanusiaan, bahwa ia tak ada artinya dihadapan Tuhan).
Membakar kemenyan misalnya, menurut Sholikhin, biasanya diniatkan sebagai talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang nampi Dzat ingkang maha kuwaos (sebagai tali pengikat keimanan, nyalanya diharapkan sebagai cahaya, asapnya diharapkan sebagai bau-bauan surga, dan agar dapat diterima oleh Yang Maha Kuasa).
Sholikhin menyebut pada zaman Nabi Ibrahim AS, kebiasaan membakar kemenyan sudah ada. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, membakar kemenyan diganti dengan mengenakan bau-bauan wangi yang dinyatakan âdisukai oleh Allahâ.
Baca Juga: Cinta yang Menyatukan

Warga Tengger menuju Kawah Gunung Bromo untuk merayakan Yadnya Kasada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin beberapa tahun lalu.
Pada era kekinian, bentuk simbolisme yang akrab dengan kita, misalnya upacara Kasada (Kasodo) oleh Suku Tengger. Kasada adalah upacara mempersembahkan sesaji ke kawah Bromo setiap tanggal 15 bulan ke-12, berdasarkan kalender Tengger. Di mana warga Suku Tengger melempar makanan, ternak, dan harta mereka ke dalam kawah Bromo. Tradisi itu diyakini merunut jejak pengorbanan Dewata Kusuma, anak ke-15 Rara Anteng-Jaka Seger yang mengorbankan diri masuk ke kawah Bromo sesuai janji orangtuanya.
Selama ini, kita bisa merayakan dan menikmati tradisi Kasada sebagai bagian dari wisata dan budaya Tengger. Sama-sama memiliki unsur sesajen, gunung, dan kebiasaan. Sebenarnya tidak jauh beda dengan sesaji yang diletakkan warga di sekitar Semeru.
Simbolisme pun bukan monopoli masyarakat tertentu. Manusia adalah makhluk budaya, dan budaya manusia penuh dengan simbol. Kisah dosa pertama anak manusia, yaitu Adam-Hawa, di mana mereka memakan buah larangan akibat bujukan setan yang berwujud ular, juga merupakan simbol. Ular adalah binatang lidah bercabang yang sangat berbahaya. Lidah bercabang dimaknai sifat culas dan kata-katanya tak bisa dipercaya. Kadang tutur kata sangat lembut, namun sebenarnya justru mencelakakan.
Simbolisme mulai dari bentuk paling primitif hingga mutakhir sekalipun, sebenarnya merupakan cara menyampaikan pesan pengetahuan dari satu generasi ke masyarakat segenerasi atau kepada generasi berikutnya.
Budiono Herusatoto dalam bukunya Simbolisme dalam Budaya Jawa, menyebut budaya adalah kekuatan batin dalam upaya menuju kebaikan. Pada masyarakat Jawa, budaya itu menggunakan simbol sebagai medianya (perantara/alat penghantar). Alat pengantar itu bisa berupa bahasa, benda/barang, warna, suara, dan lainnya. Dan simbolisme itu mewarnai keseluruhan hidup orang Jawa mulai dari sistem religi, tradisi, hingga kesenian.
Tak mengherankan jika kemudian, masyarakat Jawa memiliki sistem etika yang cukup kompleks. Sebagaimana dalam Serat Wulang Reh karya Sri Paku Buwana IV, kita diajarkan untuk menjauhi sifat adigang (watak sombong karena mengandalkan kedudukan, pangkat, dan derajat), adigung (watak sombong karena mengandalkan kepandaian dan kepintaran diri dengan merendahkan orang lain), dan adiguna (watak sombong karena mengandalkan keberanian dan kepintaran bersilat lidah/berdebat).
Semua ajaran kehidupan berbentuk simbol itu intinya mendorong orang Jawa memiliki watak rereh, ririh, dan ngati-ati. Rereh artinya sabar dan mengekang diri. Ririh adalah tidak tergesa-gesa dalam segala tindakan. Sementara ngati-ati adalah berhati-hati dalam setiap tindakan.

Mengirim Sesajen
Lebih jauh lagi, Budiono mengatakan bahwa simbolisme budaya dilakukan untuk menuliskan atau menyampaikan pesan, pengertian, dan pengetahuan kepada masyarakat. Menjadi cara komunikasi seluas-luasnya, baik menggunakan lisan, tindakan (misal upacara), maupun benda-benda (misalnya sesaji).
Baginya, simbolisme mulai dari bentuk paling primitif hingga mutakhir sekalipun, sebenarnya merupakan cara menyampaikan pesan pengetahuan dari satu generasi ke masyarakat segenerasi, atau kepada generasi berikutnya. Dengan fungsi seluas itu, Budiono bahkan menyebut simbolisme itu bisa menggantikan media buku.
Namun, harus disadari, simbolisme itu akan menjadi masalah jika tidak sampai, atau tidak bisa dipahami oleh manusia lain. Karena, transformasi pengetahuan dari generasi ke generasi terhenti. Lalu bagaimana baiknya? Jawabnya ada di tangan setiap kita.
Baca Juga: Suket Teki dan Pandemi