Guru menjadi kunci dalam pelaksanaan kurikulum di kelas. Dengan jumlah guru yang sudah berlebih tetapi di beberapa daerah kurangan guru, distribusi guru harus dibenahi terlebih dahulu sebelum kurikulum baru dilaksanakan.
Oleh
JEFRIANUS KOLIMO
·5 menit baca
Disadari atau tidak, sistem pendidikan di negara kita semakin pragmatis. Hal ini sebagai akibat dari warisan kebiasaan lama yang terus dilakukan hingga kini. Misalnya ketika dilakukan pergantian pada pucuk pimpinan kementerian yang membawahi pendidikan, maka dalam waktu cepat atau lambat, mengganti kurikulum sudah menjadi hal yang lumrah. Karena itu selentingan ‘’ganti menteri, ganti kurikulum'' sudah menjadi semacam semboyan lama yang tidak lagi terdengar asing di telinga pelaku pendidikan.
Pengalaman menunjukkan bahwa selama ini, kurikulum di negara kita selalu berusia pendek, hanya berkisar 5 hingga 10 Tahun. Hal ini karena eksistensi kurikulum juga sangat bergantung pada lamanya suatu pemerintahan memegang kendali kuasa kebijakan. Jika yang berkuasa hanya satu periode (5 tahun) maka dampak ikutannya adalah usia kurikulum pendidikan bisa jadi tidak akan lebih lama dari rentang waktu tersebut.
Namun kita sedikit beruntung sebab untuk beberapa tahun terakhir, pemerintahan yang berkuasa selalu lebih dari satu periode (10 tahun). Artinya, meskipun perubahan kurikulum tetap terjadi, tetapi minimal berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama (5-10 tahun). Sehingga, warna kebaruan kurikulum masih sempat dirasakan di seluruh satuan pendidikan yang ada di Indonesia yang walaupun dalam praktiknya masih jauh dari teori-teori yang dinarasikan.
Mulyasa (2003) dalam bukunya yang berjudul Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik, dan Implementasi melandaskan bahwa betapa pun bagusnya suatu kurikulum, tetapi hasilnya sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh guru dan juga murid di kelas. Konsep ini benar sebab guru dan siswa merupakan ujung tombak dari ragam kebijakan pendidikan yang dihasilkan.
Sebagai contoh, di sekolah tempat saya bertugas, meskipun Kurikulum 2013 (K-13) sudah mulai dipakai sejak tahun 2013, tetapi realitasnya baru dapat kami terapkan secara baik dalam dua tahun terakhir ini. Alasan utama di balik mandek atau terlambatnya penerapan K-13 adalah persoalan ketersediaan guru yang meliputi batas kecukupan guru terhadap rombongan belajar serta kesesuaian guru dengan mata pelajaran.
Sebagai seorang guru yang bertugas di pelosok, dengan sangat yakin saya menyimpulkan bahwa kekurangan jumlah guru pada suatu satuan pendidikan akan sangat berdampak terhadap kualitas pembelajaran di dalam kelas. Sekolah-sekolah yang ada di pelosok daerah adalah satuan pendidikan yang paling dekat dengan kondisi ini.
Kekurangan guru ini akan memberikan efek domino pada persoalan ikutan lainnya, yaitu kesesuaian guru dengan mata pelajaran. Sehingga, solusi terbaik yang dipilih adalah dengan memberi restu kepada guru untuk mengampuh mata pelajaran yang bukan lagi bidang keahliannya. Meskipun solusi ini terkesan dipaksakan, tetapi demi dapat memenuhi hak belajar siswa terpaksa harus dilakukan.
Kekurangan guru ini akan memberikan efek domino pada persoalan ikutan lainnya, yaitu kesesuaian guru dengan mata pelajaran.
Tali temali dari persoalan ini akan berpeluang melahirkan pembelajaran di kelas yang tidak efektif meskipun sekolah tersebut sudah berseragam kurikulum paling termutakhir. Akibatnya, penerapan K-13 hanya tampak pada laporan akhir, yaitu produk nilai pengetahuan, keterampilan, serta karakter. Tetapi proses yang dilakukan di dalam kelas masih ala kadarnya.
Walaupun penerapan K-13 disekolah saya terlambat, tetapi bagaimanapun K-13 dipandang sudah tidak lagi relevan dengan situasi kita saat ini. Hal ini mengingat kita sedang dihadapkan pada masalah lainnya yaitu krisis belajar sebagai akibat dari hantaman Covid-19. Karena itu mengganti kurikulum juga dipandang sangat penting untuk segera dilakukan demi dapat memangkas rentang ketertinggalan.
Menyambut kurikulum baru
Pada Maret nanti, kurikulum baru dijadwalkan akan mulai diuji coba. Ada beberapa poin penting dari kurikulum ini yang berbeda dengan kurikulum sebelumnya. Pertama, sebelum ditetapkan menjadi kurikulum nasional pada tahun 2024, kurikulum ini akan diuji coba terlebih dahulu. Artinya butuh persiapan kurang lebih 2 tahun sebelum akhirnya menjadi kurikulum nasional. Kedua, materi akan dikurangi menjadi yang bersifat esensial. Ketiga, guru dapat berkolaborasi dengan guru pada bidang studi lain untuk melakukan pengajaran terutama yang berbasis proyek.
Merujuk dari beberapa poin terkait kurikulum baru di atas, maka ada catatan yang perlu menjadi pertimbangan, yaitu manajemen pengelolaan pendistribusian guru di setiap daerah harus dikelola secara baik. Pendistribusian guru wajib mempertimbangkan batas kecukupan dengan rombongan belajar dan kesesuaian guru terhadap mata pelajaran. Manajemen pengelolaan pendistribusian guru ini penting utamanya terhadap mata pelajaran yang dianggap esensial khususnya berkaitan dengan literasi dan numerasi serta pembentukan karakter.
Data dari Kemdikbudristek menunjukkan bahwa saat ini jumlah guru pendidikan dasar dan menengah sudah mencapai empat juta yang sudah melayani 50 juta siswa (Kompas, 12/04/2021). Data ini jika distatistikkan maka setiap guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara standar internasionalnya adalah 20-21 siswa per guru. Karena itu sangat jelas terlihat bahwa Indonesia kelebihan 1,6 juta guru.
Jadi secara data sesungguhnya terbaca kita sangat kelebihan banyak guru. Tetapi karena buruknya manajemen pengelolaan pendistribusian guru, gap antara data dan fakta di lapangan menjadi sangat jelas terlihat. Jika data tersebut masih sama hingga saat ini, maka gap ini diperkirakan akan semakin lebar mengingat pada tahun 2021 ada lagi pengangkatan sejuta guru melalui mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Membaca data terkait jumlah guru di Indonesia dan narasi mengenai kurikulum baru serta rencana menjadikannya sebagai kurikulum nasional, maka benang merah yang harus diluruskan terlebih dahulu adalah memperbaiki manajemen pengelolaan distribusi guru. Untuk itu beberapa hal berikut kiranya perlu menjadi catatan.
Pertama, rentang waktu selama kurang lebih 2 tahun dalam melakukan uji coba kurikulum ini perlu diikuti juga dengan pemerataan distribusi guru-guru, utamanya di daerah-daerah pelosok. Ini penting agar nanti jika kurikulum baru jadi ditetapkan sebagai kurikulum nasional maka sumber daya manusia (guru) pada setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia sudah harus benar-benar siap.
Rentang waktu selama kurang lebih 2 tahun dalam melakukan uji coba kurikulum ini perlu diikuti juga dengan pemerataan distribusi guru-guru, utamanya di daerah-daerah pelosok.
Kedua, pendistribusian guru juga harus mempertimbangkan kesesuaian guru dengan mata pelajaran. Hal ini mengingat bahwa pada kurikulum baru ini, guru akan diberikan fleksibilitas dalam memetakan materi esensial yang akan diprogramkan selama kurang lebih satu tahun pelajaran. Pemetaan materi esensial ini tidak boleh asal dilakukan mengingat sangat penting untuk pengembangan kompetensi siswa nanti. Selain itu kolaborasi antara guru mata pelajaran yang berbasis proyek tentu dapat secara maksimal dilakukan jika masing-masing guru sangat menguasai bidang ilmunya. Karena itu peran guru mata pelajaran pada kurikulum baru ini tidak boleh dipandang remeh.
Pada akhirnya kita berharap, kurikulum baru ini bukan sekadar menjadi warisan dari pemerintah saat ini, tetapi benar-benar menjadi jawaban atas ragam persoalan pendidikan kita di tengah ganasnya hantaman wabah Covid-19. Semoga
Jefrianus Kolimo, Guru di Pelosok Kabupaten Sabu Raijua Nusa Tenggara Timur