Belum adanya penandatangan perjanjian kerja bukan menjadikan perjanjian kerja menjadi batal, karena pekerja juga sudah melakukan pekerjaan sebagaimana diatur dalam ikatan dinas tersebut.
Oleh
Kompas-Peradi
·4 menit baca
Pengantar:Harian Kompas dan Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) bekerja sama untuk melakukan pendidikan hukum dan menumbuhkan kesadaran hukum dalam masyarakat melalui konsultasi hukum yang dimuat di Kompas.id. Warga bisa mengajukan pertanyaan terkait persoalan hukum melalui e-mail: hukum@kompas.id dan kompas@kompas.id yang akan dijawab oleh sekitar 50.000 anggota Peradi. Pertanyaan dan jawaban akan dimuat setiap hari Sabtu. Terima kasih.
Pertanyaan: Saya adalah mantan pegawai BPJS Kesehatan yang telah mengundurkan diri. Salah satu penyebabnya, adalah budaya kerja yang kurang sehat, yaitu saya bersama dengan beberapa rekan diminta untuk mengerjakan tugas akademis direksi (periode 2014-2019). Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Beberapa rekan yang pernah dimintai untuk mengerjakan tugas direksi juga mengundurkan diri. Kala itu saya baru lulus pendidikan luar negeri dengan beasiswa, saat kembali ke kantor pusat saya dan beberapa rekan diminta membantu tugas akademis tersebut. Saya memutuskan untuk mengundurkan diri dengan status ikatan dinas masih melekat (tertuang dalam aturan kepegawaian), namun saya tidak pernah menandatangani perjanjian ikatan dinas itu. Pertanyaan saya:
1.Ke manakah sebaiknya saya melaporkan keluhan tentang permasalahan di lingkungan kerja tersebut (pegawai diberikan tugas untuk mengerjakan tugas akademis atasan)? Sehingga bisa terjadi umpan balik dari institusi formal yang berwenang untuk menindaklanjuti hal tersebut.
2.Terkait ikatan dinas, apakah saya wajib memenuhi kewajiban ikatan dinas tanpa adanya perjanjian ikatan dinas? Sepemahaman saya, perjanjian ikatan dinas merupakan kesepakatan yang seharusnya disetujui bersama kedua belah pihak sebelum perjanjian tersebut mengikat sehingga jelas hak dan kewajiban masing- masing pihak. Mohon penjelasannya. Semoga kami yang awam hukum ini bisa mendapatkan bantuan serta penjelasan. terima kasih. (Oto, pertanyaan melalui email hukum@kompas.id)
Jawaban:
Oleh Advokat Victor W Nadapdap, SH, MBA, MM, Komisi Pengawas Advokat Peradi
Terima kasih atas pertanyaan dari Oto. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2011. Jika membaca UU itu lebih lanjut, BPJS merupakan badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial, BPJS adalah perusahaan asuransi yang berbentuk badan hukum milik negara. Dengan demikian berlaku rezim hukum tentang badan hukum. BPJS juga memiliki direksi yang bertindak mewakili perusahaan baik didalam maupun di luar pengadilan.
BPJS adalah perusahaan berbadan hukum, sehingga perselisihan ketenagakerjaan pada BPJS tunduk kepada UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juncto UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Secara jelas menyebut perusahaan, adalah setiap usaha yang berbadan hukum milik swasta maupun milik negara (lihat pasal 1 angka 5,6 UU No. 13/2003 dan pasal 1 angka 7 UU No. 2/2004).
Perselisihan mengenai syarat kerja, termasuk beban kerja tambahan yang dimaksud (tugas akademis direksi) dikelompokkan menjadi perselisihan kepentingan dalam arti tugas tersebut belum pernah diatur, baik dalam peraturan pemerintah atau peraturan perusahaan maupun dalam perjanjian kerja antara pekerja dengan direksi (pasal 1 angka 3 UU No. 2/2004). Setiap perselisihan wajib terlebih dahulu dimusyawarahkan (bipartit) antara pekerja dengan perusahaan dengan waktu penyelesaian paling lama 30 hari.
Jika tidak dicapai kesepakatan maka salah satu pihak mencatatkan perselisihan ke dinas ketenagakerjaan di tempat perusahaan, dan kemudian akan dilakukan perundingan yang dimediasi oleh mediator dari Dinas Ketenagakerjaan (tripartit), Jika dalam tingkat tripartit tidak dicapai kesepakatan, salah satu pihak mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Hubungan kerja terjadi, karena adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan. Perjanjian kerja dapat tertulis atau lisan (lihat pasal 50 dan pasal 51 UU No. 13/2003),
Terkait dengan ikatan dinas, harus dimaknai sebagai perjanjian kerja, karena biasanya telah mengatur hak dan kewajiban pekerja dan perusahaan. Belum adanya penandatanganan perjanjian kerja, bukan menjadikan perjanjian kerja menjadi batal, Oleh karena, pekerja juga sudah melakukan pekerjaan sebagaimana diatur dalam ikatan dinas tersebut. Bahkan, mungkin sudah berjalan beberapa tahun, sehingga ikatan dinas tersebut dianggap masih sah dan berlaku sebagai perjanjian.