Pengembangbiakan Badak Sumatera Terkendala Kekerabatan Genetik
Upaya pengembangbiakan badak sumatera belum optimal karena terkendala aspek genetik individu yang sangat dekat. Pengembangbiakan paksa berpotensi melahirkan individu yang rentan mati.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penyelamatan populasi badak sumatera terus dilakukan dengan cara penangkaran dan pengembangbiakan. Namun, upaya ini terkendala aspek genetik individu badak yang sangat dekat sehingga rentan terhadap kematian. Di sisi lain, dukungan publik dalam upaya konservasi badak sumatera perlu ditingkatkan dengan menginformasikan kondisi populasi terkini.
Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (Yabi) Sukianto Lusli mengemukakan, sejumlah literatur dan hasil penelitian telah sepakat menyebut badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di ambang kepunahan. Sejauh ini kepunahan badak sumatera tidak hanya akan mencakup satu spesies, tetapi seluruh genus.
Berbagai upaya telah dilakukan Yabi bekerja sama dengan balai taman nasional untuk melindungi populasi yang tersisa, salah satunya mengembangbiakkan badak sumatera. Pada tahun 2025, Yabi menargetkan dapat mengembangbiakkan bayi badak sumatera hingga 10 ekor. Namun, hingga tahun 2022, Yabi baru bisa mengembangbiakkan dua ekor bayi badak sumatera.
”Kami baru mendapatkan dua ekor bayi karena pada tahun 2015 kami membutuhkan individu badak baru untuk program pengembangbiakan konservasi. Sementara sejak 2018 hingga 2021, kami belum bisa menemukan badak sumatera di kawasan konservasi,”ujarnya dalam diskusi daring tentang kinerja konservasi badak sumatera di Jakarta, Selasa (18/1/2022).
Kami baru mendapatkan dua ekor bayi karena pada tahun 2015 kami membutuhkan individu badak baru untuk program pengembangbiakan konservasi. Sementara sejak 2018 hingga 2021, kami belum bisa menemukan badak sumatera di kawasan konservasi.
Dari simulasi yang dilakukan, target pengembangbiakan 10 ekor bayi badak sumatera hingga 2025 tidak bisa dilakukan dengan individu terbatas. Apabila pengembangbiakan dipaksakan, kata Sukianto, akan melahirkan individu dengan kekerabatan genetik yang sangat dekat dan tidak mampu bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama.
Tantangan konservasi badak sumatera lainnya, menurut Sukianto, adalah daya dukung habitat untuk masa depan. Di sisi lain, perburuan liar dengan menggunakan jerat juga masih marak dilakukan. Oleh karena itu, penetapan unit atau wilayah proteksi badak sumatera juga harus terus dilakukan agar tidak semua orang bisa masuk ke kawasan konservasi tersebut.
Yabi mempunyai nota kesepahaman dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta perjanjian kerja sama di tiga balai untuk konservasi badak sumatera maupun jawa. Tiga balai tersebut adalah Balai Besar Taman Nasional (TN) Bukit Barisan Selatan (Lampung), Balai TN Way Kambas (Lampung), dan Balai TN Ujung Kulon (Banten).
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Ekosistem KLHK, jumlah badak sumatera saat ini sekitar 80 individu. Populasi sangat kecil tersebut tersebar di bagian utara Sumatera (TN Gunung Leuser, Aceh), bagian selatan Sumatera (TN Way Kambas dan TN Bukit Barisan Selatan), serta Kalimantan Timur (Hutan Lindung Kelian Lestari).
Peneliti Institute for Sustainable Earth and Resources (ISER) Universitas Indonesia, Sunarto, mengakui bahwa menemukan individu badak di kawasan konservasi yang cocok untuk dikembangbiakkan sangat sulit dilakukan. Selain karena kekerabatan genetik yang sangat dekat, hal ini disebabkan jumlah badak sumatera yang terbatas dan menyebar.
”Dulu mungkin tidak ada kendala dalam pengembangbiakan badak sumatera. Sampai saat ini, saya juga masih mencari penyebab badak sumatera sekarang sangat restriktif untuk dikembangbiakkan. Mungkin saja saat ini ada alih efek karena menyusutnya habitat dan meningkatnya perburuan liar,”katanya.
Dari kajian Payne dan Yoganand yang dilakukan pada 2017, populasi badak sumatera pada 20.000 tahun lalu pernah mencapai 200.000 individu dan terus menurun hingga kurang dari 100 individu saat ini. Habitat badak sumatera yang semula diperkirakan mencapai 800 juta hektar juga terus menyusut hingga 500.000 hektar.
Sementara hasil studi terbaru pada 2020, lebih dari 70 persen badak di penangkaran ternyata memiliki masalah reproduksi. Bahkan, lebih dari 85 persen badak yang baru diselamatkan dari populasi kecil juga memiliki masalah reproduksi.
Penyebaran informasi
Sunarto mengatakan, saat ini sangat diperlukan tindakan mendesak secara adaptif dan sinergis oleh pemegang mandat maupun mitra kunci untuk menyelamatkan populasi badak sumatera. Selain itu, pemahaman kepada publik perlu terus ditingkatkan agar mengetahui tindakan maupun risiko yang diambil dalam rangka menyelamatkan badak sumatera.
Ketua Komisi Informasi (KI) Pusat Gede Narayana menilai, informasi terkait populasi badak sumatera saat ini harus disampaikan ke publik. Penyampaian informasi ini diharapkan dapat membuat publik paham bahwa badak sumatera tengah di ambang kepunahan sehingga masyarakat tergerak untuk tidak memburu atau merusak habitatnya.
”Informasi publik saat ini sudah berlimpah dan berpotensi menyesatkan. Di sinilah peran badan publik untuk menyampaikan informasi dengan akurat dan tidak menyesatkan. Informasi tersebut juga harus melalui kajian dan proses,”ucapnya.