Meskipun Sori Siregar selalu santun dan cenderung pendiam, bukan berarti tanpa gejolak. Ada kalanya dia emosional, terutama jika itu menyangkut hal-hal yang menurut dia prinsipil.
Oleh
MOHAMMAD HILMI FAIQ
·4 menit baca
Santun. Begitu kesan kolega dan orang-orang yang pernah bersinggungan dengan sastrawan Sori Siregar. Meskipun dia punya banyak modal untuk tampil sombong, pria yang telah menulis cerita pendek sejak di bangku SMA itu memilih menjadi sosok yang rendah hati dan santun. Bahkan, dia berpulang dengan sangat santun dalam tidurnya.
Kabar itu datang dari putri bungsu Sori, Ovi Siregar, yang antara lain masuk ke grup WA Golden Community Writers pada pukul 07.37. Grup WA ini berisi penulis-penulis senior seperti Yvonne De Fretes, Rayani Sriwidodo, Jasso Winarto, dan Eka Budianta. Eka yang kini berusia 65 tahun termasuk anggota muda dalam komunitas ini. ”Di grup ini, dia banyak diam,” kata Eka.
Tentang kesantunan Sori itu bisa digambarkan dalam salah satu peristiwa berikut. Pertengahan Juni 2017, Sori datang ke acara Jamuan Malam Cerpen Kompas di Bentara Budaya Jakarta. Dia memakai kemeja licin dengan rambut disisir rapi. Dia tersenyum kepada siapa saja yang bertatapan dengannya yang kadang dilanjutkan dengan jabat tangan atau mengobrol. Dalam setiap obrolan itu, Sori lebih banyak mengangguk atau menyimak. Sangat irit bicara.
Itu juga kesan yang ditangkap Nezar Patria (50) ketika menjadi jurnalis Tempo dan bertemu dengan Sori yang saat itu bekerja untuk Radio 68H (sekarang KBR) di Utan Kayu tahun 2001. Sejak SMP tahun 1987, Nezar sudah mengagumi Sori lewat karya-karyanya yang tersebar di sejumlah media. Salah satu karya Sori yang memikat hati Nezar adalah Di Antara Seribu Warna (1980). Ketika bertemu di Utan Kayu itu dan pada pertemuan-pertemuan berikutnya, Nezar banyak bertanya kepada Sori tentang sastra, termasuk menanyakan Amarzan Loebis, sastrawan lain yang juga dia kagumi.
Sori lalu bercerita bahwa Amarzan telah berganti nama dan memimpin sebuah majalah di Jakarta. Dia langsung mencarikan kontaknya agar Nezar dapat berbicara dengan Amarzan. Dari situ, Nezar menangkap ketulusan dan sikap tanpa pamrih Sori. Semakin kagumlah dia.
Lama Nezar tidak berkontak dengan Sori, belasan tahun, hingga pada 30 Mei 2021, mantan Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, yang kini menjadi Direktur Kelembagaan PT Pos Indonesia (Persero), itu membaca cerpen Pataka Bertabung Bintang karya Sori di Kompas. Nezar langsung menghubungi Sori menanyakan kabar dan kesibukannya. ”Saat ini saya bekerja sepenuhnya di rumah, membaca dan menulis serta menjadi editor. Alhamdulillah, rezeki selalu ada.” Itu pesan terakhir yang diterima Nezar dari Sori disusul kabar duka pada Senin pagi.
Meskipun Sori selalu santun dan cenderung pendiam, bukan berarti tanpa gejolak. Ada kalanya dia emosional, terutama jika itu menyangkut hal-hal yang menurut dia prinsipiil. Salah satu teman debatnya adalah Eka Budianta, rekan yang pernah sama-sama sekantor di majalah Tempo dan tahun 1972-1974 di BBC di London. Dari sisi usia, Eka merasa lebih pantas sebagai keponakan Sori, tetapi dalam hal diskusi mereka egaliter.
Agustus dua tahun lalu, Eka mengajak Sori makan di Cikini. Entah bagaimana mulanya, mereka lalu terlibat dalam obrolan tentang kaya dan miskin. Eka paham betul bahwa Sori selalu memihak orang kecil, orang miskin. Eka lalu mengusilinya dengan bilang lebih enak menjadi orang kaya. Sori tidak nyaman lalu mereka ”bertengkar”. ”Kami kalau mengobrol selalu bertengkar,” kenang Eka untuk menunjukkan keakraban mereka.
Pria bernama lengkap Sori Sutan Sirovi Siregar ini lahir di Medan pada 12 November 1939. Sejak belia, Sori mencintai sastra dan dunia jurnalistik, mulai dari staf redaksi Waspada Teruna di Medan era 1960-an hingga penyiar pada The Voice of America era 1980-an, disusul pekerjaan di lembaga lain di bidang jurnalistik. Bahasa Inggris dan ilmu sastranya sangat bagus dan karena itu dia menghasilkan dua buku sastra terjemahan dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.
Di bidang sastra, jumlah cerita pendeknya meruah dan setidaknya terhimpun dalam enam buku kumpulan cerpen, antara lain, Dosa Atas Manusia (1967) dan Senja (1979). Dia juga menulis lima novel yang beberapa di antaranya mendapatkan penghargaan, di antaranya Wanita Itu adalah Ibu yang mendapat hadiah Perangsang Kreasi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1978. Pada 2012, Sori mendapat penghargaan Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas.
Karya-karya Sori konsisten menyuarakan orang-orang kecil, kemajemukan, dan orang-orang yang berada di ”perbatasan” baik secara geografis, identitas, maupun kelas sosial. Karyanya adalah cermin dalam sikap dan perilaku hidup Sori. ”Sosoknya utuh. Layak jadi orangtua, jadi panutan. Karyanya itu bagian integral dia,” komentar sastrawan Yanusa Nugroho tentang Sori.
Sosok santun itu telah pergi. Semoga karya-karyanya terus menginspirasi.