Nasib Perempuan di Pengungsian
Perempuan dan anak biasanya dominan di lokasi pengungsian. Namun, kebutuhan pribadi mereka justru sering kali terlupakan.
Dalam derajat tertentu, kondisi itu dialami para perempuan yang tinggal di lereng Merapi setiap kali harus mengungsi akibat erupsi Gunung Merapi. Ketika mengungsi pada 2010, perempuan dan anak-anak terpaksa tidur berdesak-desakan di lokasi pengungsian. Mereka harus menenangkan anak-anak yang rewel saat kondisi psikologis mereka juga terguncang akibat erupsi Merapi.
Belajar dari pengalaman itu, kondisi pengungsian, yang disiapkan selama peningkatan aktivitas Merapi sejak November 2020, tampak lebih baik. Mereka ditempatkan di bilik-bilik pengungsian yang lebih nyaman.
Dalam satu bilik terkadang berkumpul dua hingga tiga ibu yang berasal dari keluarga yang berbeda-beda. Mereka memilih tinggal di bilik yang sama agar bisa saling membantu, terutama dalam mengurus anak. Sebagian suami memang tetap tinggal di rumah atau tak pindah ke pengungsian.
Bagaimanapun, komposisi pengungsi bencana Merapi berdasarkan jender tetap bervariasi. Di Kabupaten Magelang, misalnya, pengungsi justru didominasi laki-laki. Data terakhir pada Rabu (6/1/2021), jumlah pengungsi 509 orang, 341 orang di antaranya laki-laki dan 168 lainnya perempuan.
Di pengungsian Desa Tlogolele, Kecamatan Selo, Boyolali, pengungsi didominasi perempuan. Di kelompok anak, ada 15 perempuan pengungsi dari 21 orang.
Perempuan, anak balita, dan warga lansia umumnya masuk kelompok rentan yang menjadi prioritas diungsikan. Ibu hamil juga menjadi prioritas. Oleh karena itu, kebutuhan peralatan pribadi khusus bagi perempuan, seperti pembalut, diapers, pakaian dalam perempuan, hingga layanan kesehatan untuk ibu hamil, mutlak diperlukan di tempat pengungsian.
Beberapa bulan setelah gempa dan tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004, banyak warga—terutama perempuan dan anak-anak—di pengungsian berada dalam kondisi seadanya. Kami mengunjungi tenda-tenda pengungsian yang terbuat dari terpal di lapangan di Alue Penyareng, Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, tiga pekan setelah bencana terjadi.
Satu tenda berukuran sedang bisa dihuni belasan orang. Kondisinya memang jauh dari nyaman. Tenda terpal berukuran 4 x 12 meter itu disekat menjadi empat ruangan. Setiap ruangan dihuni empat keluarga dengan anggota 3-5 orang. Karena itu, penghuni tenda terpaksa tidur berjejalan.
Siang itu ada beberapa ibu dan anak-anak—termasuk bayi—berada di dalam tenda. Udara di dalam tenda pengap dan panas. Untuk mengusir gerah, mereka mengibas-ngibaskan tangan.
Di dalam salah satu tenda, kami berjumpa dengan Nuraini yang sedang merawat bayi. Wajah Nuraini pucat dan letih. Badannya terlihat lemah dan matanya sayu. Dia mengaku belum sehat benar setelah melahirkan. Suasana tenda yang pengap sungguh menyiksanya.
Wajah Nuraini pucat dan letih. Badannya terlihat lemah dan matanya sayu.
Nuraini melahirkan di Rumah Sakit Umum Cut Nyak Din, Meulaboh, sekitar sepekan setelah tsunami. Ia menggambarkan proses melahirkan itu sangat berat lantaran secara psikologis ia masih dicekam ketakutan dan duka akibat tsunami.
Saat itu, kondisi Meulaboh masih seperti kota mati. Orang-orang yang selamat dari tsunami masih sibuk mencari korban tsunami direruntuhan bangunan dan tumpukan sampah yang tersebar di mana-mana.
Tidak lama setelah melahirkan, Nuraini tinggal di pengungsian. Hari-hari pertama di pengungsian dia lalui dengan perasaan berat. Tak ada makanan yang cukup untuk dirinya dan jabang bayinya.
Setiap hari Nuraini hanya makan biskuit, nasi putih, atau mi instan yang semuanya termasuk kelompok karbohidrat. Tidak ada vitamin, protein, apalagi susu.
Penderitaan Nuraini semakin lengkap karena beberapa minggu setelah melahirkan dia belum mendapat bantuan pembalut, stagen untuk mengencangkan perut, popok, dan baju bayi. Karena itu, sepanjang siang itu, Nuraini membiarkan bayinya telanjang bulat. ”Kalau dia kedinginan, biasanya saya bungkus dengan kain apa saja yang ada,” kata Nuraini, yang mengaku tertekan.
Kenyataan seperti itu juga kerap dialami perempuan di banyak lokasi pengungsian. Sebagian perempuan melahirkan, menyusui bayinya, dan secara sosial masih dituntut untuk mengurus suami. Kadang mereka juga harus ikut mencari nafkah.
Kebutuhan diabaikan
Kendati perempuan kerap menanggung beban lebih berat dibanding laki-laki saat mengungsi lantaran melahirkan atau mengurus anak, kebutuhan mereka justru paling sering diabaikan. Di lokasi pengungsian, barang-barang yang dibutuhkan perempuan, seperti pembalut, sering kali tidak tersedia.
Petugas di pengungsian dan donatur umumnya berpikir kebutuhan yang mendesak untuk disalurkan kepada pengungsi adalah bahan pokok, seperti beras dan mi instan. Padahal, ada kebutuhan lain yang spesifik diperlukan oleh pengungsi perempuan.
Baca juga: Bantuan Pembaca ”Kompas” Mengalir ke Tiga Lokasi Bencana
Bukan sekali dua kali sukarelawan Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) ditemui oleh perempuan di pengungsian yang bertanya, ”Bapak membawa pembalut tidak? Kami butuh sekali. Selama ini kami hanya menggunakan lap kain seperti zaman dulu.”
Manager Eksekutif Yayasan DKK Anung Wendyartaka mengatakan, kebutuhan perempuan selama di pengungsian kerap dianggap nomor dua. Hal itu ditemui sukarelawan DKK ketika melakukan survei kebutuhan pengungsi Merapi di Desa Tlogolele, Boyolali. Sukarelawan menanyakan kepada kepala desa kebutuhan apa saja yang mendesak untuk kaum ibu yang mengungsi.
Pertanyaan itu dijawab dengan daftar kebutuhan para pengungsi. Namun, tidak tercantum kebutuhan perlengkapan pribadi perempuan, seperti pembalut wanita, diapers, dan pakaian dalam.
Ketika dikonfirmasikan mengapa peralatan atau kebutuhan pribadi perempuan tidak dimasukkan ke dalam daftar kebutuhan? Kepala desa menjawab bahwa ia sungkan memasukkan kebutuhan pribadi, seperti pembalut wanita, celana dalam, dan diapers, ke dalam daftar kebutuhan pengungsi.
Rasa sungkan, malu, atau tidak nyaman untuk memasukkan keperluan pribadi ke dalam daftar kebutuhan pengungsi kadang muncul dari perempuan yang mengungsi itu sendiri. Beberapa kali anggota tim DKK yang laki-laki menanyakan kebutuhan pribadi perempuan pengungsi, ternyata mereka sungkan untuk menjawab.
Agar kebutuhan perempuan selama di pengungsian terjamin, lanjut Anung, perempuan pengungsi seharusnya memiliki perwakilan di panitia yang mengurus logistik untuk pengungsi. Selama ini, panitia umumnya didominasi laki-laki yang kurang sensitif terhadap kebutuhan perempuan. Kalaupun dilibatkan sebagai sukarelawan di pengungsian, perempuan lebih sering ditempatkan di dapur umum.
Lembaga atau perorangan yang menyalurkan bantuan sebaiknya juga tak hanya fokus menyalurkan kebutuhan pokok, seperti beras, mi instan, lauk-pauk, dan obat-obatan. Mereka mesti memasukkan daftar kebutuhan pribadi anak dan perempuan—termasuk perempuan hamil dan menyusui—seperti pembalut, popok, baju dalam, vitamin dan makanan untuk ibu hamil dan menyusui, serta selimut.
Anung menuturkan, belajar dari pengalaman sukarelawan DKK saat melakukan survei kepada perempuan pengungsi terkait kebutuhan pribadi, sebaiknya sukarelawan yang diterjunkan juga perempuan.