Ketakutan Masyarakat Makin Menurun di Tengah Lonjakan Kasus Covid-19
Meski kasus baru terus bertambah, warga semakin mengabaikan risiko penularan Covid-19. Alasannya karena pertimbangan ekonomi dan kebosanan warga.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketakutan masyarakat akan bahaya Covid-19 semakin menurun karena faktor kebosanan selama menjalani pembatasan sosial berskala besar dan tuntutan ekonomi. Hal ini dikhawatirkan dapat berdampak terhadap menurunnya kewaspadaan warga di tengah lonjakan kasus Covid yang terjadi di masa transisi menuju normal baru.
Psikolog sosial yang juga merupakan Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Koentjoro mengatakan, tingkat ketakutan masyarakat terhadap penularan Covid-19 semakin menurun pada masa transisi menuju normal baru. Ia menjelaskan, hal ini menjadi ironi karena jumlah kasus Covid semakin meningkat, tetapi masyarakat sudah tidak bisa menahan untuk berdiam diri di rumah.
”Fenomena ini bisa terlihat dari banyaknya masyarakat yang mulai beraktivitas di luar rumah untuk bekerja, bahkan berkumpul dengan rekan-rekannya di tempat-tempat umum seperti di restoran maupun kedai kopi. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa faktor, seperti kebosanan dan tuntutan ekonomi,” katanya kepada Kompas, Jumat (12/6/2020).
Koentjoro mengatakan, menurunnya rasa takut ini bisa berdampak pada longgarnya kewaspadaan masyarakat dalam menjalani normal baru. Padahal, menurut dia, kunci utama dari normal baru adalah kedisiplinan dari masyarakat.
”Rasa takut itu sebenarnya diperlukan agar masyarakat bisa mawas diri terhadap ancaman penularan Covid-19. Justru yang bahaya ketika masyarakat sudah tidak takut lagi terhadap Covid-19 dan kita masih belum tahu kapan vaksin tersebut ditemukan,” ujarnya.
Koentjoro juga menyayangkan keputusan pemerintah yang seakan prematur untuk menerapkan normal baru. Ia melihat, kondisi normal baru yang dijalankan pemerintah seakan berbenturan antara memperbaiki kondisi ekonomi dan mengesampingkan kesehatan masyarakat.
”Seharusnya dua hal ini bisa berjalan secara beriringan tanpa harus mengesampingkan salah satunya,” ujarnya.
Sementara itu, Associate Professor Bidang Sosiologi Bencana Nanyang Technological University (NTU) Singapura Sulfikar Amir mengatakan, masyarakat saat ini merasa sudah banyak berkorban dengan menahan diri selama hampir dua bulan di rumah. Karena itu, akan sulit membendung pergerakan masyarakat ketika nanti normal baru dilaksanakan.
”Saya pun menilai, pemerintah juga sudah kehilangan momentum untuk menahan aktivitas masyarakat. Seharusnya, pembatasan yang sangat ketat dilakukan ketika tingkat kekhawatiran masyarakat terhadap Covid-19 masih tinggi,” ujarnya.
Sulfikar menjelaskan, tidak sedikit juga masyarakat yang kecewa akan kebijakan pemerintah yang terus berubah-ubah, tetapi tidak membuahkan hasil. Hal ini menyebabkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga ikut menurun.
”Banyak masyarakat yang merasa sudah berkorban untuk menahan diri, tetapi kurva jumlah kasus positif Covid-19 tidak kunjung melandai. Hal ini akan sangat sulit bagi pemerintah untuk kembali menerapkan PSBB, jika kasus Covid-19 terus bertambah selama masa normal baru,” ujarnya.
Sebelumnya, pada 10-16 Maret, lembaga survei Indo Barometer melakukan survei dengan metode kuota dan purposive sampling terhadap 400 responden yang tersebar secara proporsional dengan margin of error sebesar ± 4.90 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari hasil survei tersebut, sebanyak 21,3 persen sangat takut dan 46,7 persen merasa khawatir terhadap penularan Covid-19. Padahal, ketika itu PSBB belum diterapkan dan jumlah kasus positif korona di Indonesia baru 134 orang.
Namun, tingkat ketakutan masyarakat terhadap penularan Covid-19 semakin menurun. Pada 26 Mei-1 Juni 2020, Voxpopuli Research Center melakukan survei terhadap 1.200 responden dengan margin of error survei 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.
Dari hasil survei tersebut, 67,4 persen responden merasa lebih takut tidak bisa bekerja dan mendapat penghasilan, sedangkan hanya 25,3 persen koresponden yang masih takut terhadap penularan Covid-19. Secara terpisah, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengatakan, pada Jumat (12/06/2020) terjadi penambahan sebanyak 1.111 kasus harian baru. Hingga saat ini, total ada 36.404 kasus Covid-19. Sebelumnya, pada Kamis (11/6/2020), ada penambahan 979 kasus dan rekor tertinggi kasus harian terjadi pada Rabu (10/6/2020), yaitu 1.241 kasus.
Tak terbendung
Batara (28), salah seorang karyawan swasta asal Jakarta, mengatakan, ada rasa bosan yang tak terbendung selama ia menjalani PSBB dan bekerja di rumah. Ia sebenarnya merasa sedikit lega karena sudah bisa bekerja lagi di kantor dan ada beberapa kedai kopi langganannya yang sudah buka.
”Selama WFH, saya hampir tidak pernah keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak. Karena sekarang sudah bekerja di luar rumah, kadang sepulang kantor saya bertemu dengan beberapa teman di kedai kopi langganan,” ucapnya.
Menurut Batara, ia sudah tidak terlalu takut akan ancaman Covid-19 selama memakai masker dan rajin cuci tangan. Ia mengatakan, penularan Covid-19 bisa dicegah jika setiap individu menjalankan protokol kesehatan yang benar. ”Meskipun terkadang saya lupa mencuci tangan, yang penting masker harus tetap digunakan ketika bertemu dengan teman-teman,” ucapnya.
Hal senada juga disampaikan Mesha (26), karyawan swasta, yang mengaku sudah tidak takut untuk bekerja di kantor. Ia mengatakan, masyarakat harus bisa beradaptasi terhadap normal baru yang ditetapkan pemerintah. ”Kita tidak bisa terus berdiam diri di rumah karena ada kebutuhan ekonomi, apalagi ketika perusahaan sudah mewajibkan karyawannya bekerja di kantor. Oleh sebab itu, sebisa mungkin tetap menjaga jarak dan rajin cuci tangan setelah beraktivitas,” ucapnya.
Psikolog dari Universitas Indonesia, Kasandra Putranto, menjelaskan, setelah menjalani PSBB, masyarakat sulit menahan diri dari desakan untuk bersosialisasi. Ia mengatakan, ketika bersosialisasi pun harus tetap menjalankan protokol kesehatan yang ketat agar jumlah kasus Covid-19 tidak terus bertambah di masa transisi ini.
”Sebagian orang sebenarnya sudah memiliki kebiasaan untuk membawa hand sanitizer atau tisu dan selalu mencuci tangan. Masalahnya adalah bagaimana agar masyarakat bisa menahan diri untuk tidak berkumpul dengan tingkat kepadatan yang tinggi,” katanya.
Kasandra juga mengingatkan, jangan sampai masyarakat tidak percaya lagi akan bahaya Covid-19 selama masa normal baru berlangsung. Menurut dia, perlu ada sanksi khusus bagi masyarakat yang melanggar protokol kesehatan ketika bersosialisasi. ”Tidak ada pilihan lain karena PSBB akan sulit diterapkan kembali. Mereka yang tidak mampu mengikuti perubahan, tentunya menanggung sendiri risikonya,” katanya.