Tepat di hari raya Idul Fitri, Minggu (24/5/2020) dini hari, Yamin Indas (70) berpulang. Hingga akhir hayatnya, wartawan harian ”Kompas” (1982-2008) ini tak henti menulis dan menyalurkan gagasan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·3 menit baca
Tepat di hari raya Idul Fitri, Minggu (24/5/2020) dini hari, Yamin Indas (70) berpulang. Hingga akhir hayatnya, wartawan harian Kompas (1980-2008) ini tak henti menulis, menyalurkan sumbangsih pikiran, hingga sentilan segar bagi semua pihak.
Bagi kalangan jurnalis di Sulawesi Tenggara, nama Yamin Indas adalah sosok senior, pendidik, dan orang yang tidak henti menulis. Ia menjadi contoh konkret jika wartawan adalah tetap seseorang yang menulis meski usia telah sepuh dan badan sudah menua.
”Wartawan tidak mengenal pensiun. Kapan berhenti menulis, maka pikiran kita menjadi tumpul dan tidak peka melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita,” tulis Yamin di laman blog pribadinya.
Apa yang dilakukan Yamin sejalan dengan pesan yang berulang kali disampaikan Jakob Oetama, salah satu pendiri Kompas. Jakob selalu berpesan bahwa wartawan itu bukanlah pekerjaan yang mengejar karier. Menjadi wartawan adalah sebuah panggilan (vocatio).
Maka, meski telah belasan tahun pensiun, tidak sulit menemukan tulisan Yamin di berbagai kanal. Tulisannya dengan mudah ditemukan di blog, website, dan laman Facebook-nya. Artikel terakhirnya ia unggah beberapa jam sebelum ia mengembuskan napas terakhir. Artikel sepanjang 12 paragraf itu berisi tentang siasat menghadapi pandemi Covid-19, dalam situasi normal baru.
Wartawan tidak mengenal pensiun. Kapan berhenti menulis, maka pikiran kita menjadi tumpul dan tidak peka melihat fenomena yang terjadi di sekitar kita.
Laman media sosial, blog, dan website-nya itu seakan taman bermain, media sendiri, sekaligus ajang menuangkan ide dan gagasannya. Isi artikelnya sebagian besar terkait situasi di Sultra, baik itu terkait sosial politik, ekonomi, budaya, maupun pariwisata. Tidak jarang ia mengomentari isu nasional, menandakan ia terus mengikuti arus informasi.
Artikel panjang terkait politik, pemerintahan, transportasi, dan berbagai isu lain dilahapnya. Ia menulis dengan ciri khas bertutur yang tidak meninggalkan sisi kewartawanannya. Tulisannya selalu dilengkapi dengan wawancara, data, dan analisis komprehensif.
”Bahkan, sampai kemarin malam, dia masih menulis. Ia masih rapikan tulisannya di ponselnya. Padahal, habis buka puasa, ia sudah mengeluh dadanya sakit,” kata Reni Siska (43), istri keduanya. Di akhir hayat, Yamin meninggalkan dua istri dan seorang putra.
Reni bercerita, pukul 02.00, sakit dadanya menghebat. Keluarga lalu membawa ke rumah sakit terdekat. Akan tetapi, baru di depan Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Dr R Ismoyo, ia tidak tertolong.
Yamin Indas memiliki riwayat penyakit jantung sejak lama. Ia telah berulang kali bolak-balik rumah sakit untuk berobat. Dokter menemukan pembengkakan di bagian jantungnya.
Wartawan lengkap
Pada 7 Maret 1950, Yamin Indas lahir di Pulau Kabaena, Bombana, sekitar 200 kilometer dari Kendari. Di Desa Tangkeno, yang tepat terletak di kaki Bukit Sabampolulu, Yamin kecil lahir sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara.
Yamin mulai memasuki dunia kewartawanan sejak usia belia. Ia mengikuti jejak sang kakak, Idrus Indas, yang telah lebih dulu berkiprah sebagai jurnalis.
Pada 1982, ia adalah orang Sulawesi Tenggara pertama yang diterima sebagai wartawan harian Kompas. Belasan tahun menjadi wartawan, ia pernah ditugaskan ikut mengelola harian Serambi Indonesia di Banda Aceh, juga harian Surya di Surabaya. Selepas itu, ia kembali bertugas di Sultra, hingga pensiun pada 2008.
”Ia orang sangat suka membaca. Tiap hari masih membaca. Kalau dulu sampai bawa buku ke toilet, sekarang tinggal bawa ponsel,” ucap Maliha, istri pertamanya.
Ia orang sangat suka membaca. Tiap hari masih membaca.
Dunia kewartawanan membawa Yamin ke berbagai dunia baru. Selain menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra (1992-1996), ia juga pernah menjadi anggota DPRD Sultra melalui utusan golongan pada 1997. Darah jurnalis membuatnya kembali memilih sebagai wartawan di harian Kompas.
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari Zainal Ishak menyampaikan, sosok Yamin Indas adalah inspirator bagi jurnalis muda di Sulawesi Tenggara. Ketekunan dan tekad untuk terus berkarya hingga menjelang akhir hayat patut dicontoh siapa pun mereka yang menyebut diri sebagai jurnalis.