Liputan Perang Irak (2): Berkawan Rompi Bismillah
Pada suatu sore, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara ledakan bom di dekat hotel. Kami berencana mendekat. Namun, semua segera tersadar, tidak ada satu pun yang membawa rompi antipeluru.
Pada tulisan sebelumnya, wartawan Kompas Mohammad Bakir berkisah tentang pengalamannya ditugaskan ke Irak. Negara itu baru saja diserang oleh pasukan koalisi pimpinan AS yang menandai dimulainya perang di ”Negeri 1.001 Malam” tersebut. Berikut, kelanjutan kisahnya:
Tak pernah terbayangkan, di Baghdad setiap hari kami akan mendengar suara dentuman dan tembakan silih berganti dalam waktu sekejap.
Meski demikian, setiap hari masing-masing dari kami harus bergerak mencari liputan berbeda, sesuai ”arahan” dari redaksi di Indonesia.
Bagi warga Irak, kondisi ini tidak lantas membuat mereka sangat ketakutan dan hanya bersembunyi di dalam rumah.
Saya sempat mengunjungi beberapa pasar tradisional untuk sekadar mencari tahu bagaimana suasana pasar di Baghdad. Pasar tetap ramai seperti biasa.
Namun, ada yang tidak biasa bagi saya. Di tiga pasar yang saya kunjungi, saya selalu melihat senjata diperdagangkan secara bebas. Siapa pun dapat membeli dan mencoba di tempat.
Iseng-iseng saya bertanya berapa harga senapan buatan Rusia berikut 10 pelurunya. Si penjual, entah karena tidak yakin saya akan membelinya atau harganya memang mahal, mematok harga 200 dollar AS.
Saya kaget karena itu harga yang sangat tinggi. Bayangkan, satu ekor ayam dengan berat sekitar 1 kg, dijual hanya 1.500 dinar Irak atau sekitar Rp 6.000 saat itu. Betapa banyak yang bisa dibeli dengan uang sejumlah itu.
Baca juga: Liputan Perang Irak (1): Disambut Ledakan Bom Saat Menembus Irak
Setelah dua hari tinggal di Baghdad, kami mulai mengenal peta wilayah meskipun masih belum jelas benar di mana pasukan loyalis Saddam Hussein berada atau bersembunyi.
Kami pun tiap hari mengunjungi hotel markas pasukan koalisi yang berada di depan Hotel Palestine untuk mencari informasi apa yang akan mereka lakukan hari itu.
Di sisi lain, beberapa sopir taksi tiap pagi selalu nongkrong di depan hotel menunggu tamu. Namun, hampir semua wartawan yang tinggal di Hotel Palestine sudah memakai mobil sewaan, terutama yang dari negara Barat.
Kami yang dari Indonesia inilah yang setiap hari masih menggunakan taksi yang mangkal di luar hotel. Namun, ternyata ongkos taksi itu cukup mahal, tidak seperti pada masa normal.
Baca juga: Menjadi Manusia yang Tidak Berdaya Saat Berada di Episentrum Korona
Di hari ketiga, saya berbincang dengan beberapa sopir taksi yang biasa nongkrong di depan hotel. Mereka yang rata-rata berpaham Syiah lalu bercerita soal kekejaman Saddam.
Meski demikian, mereka tidak setuju dengan cara AS menggulingkan Saddam. ”Kalau AS menggulingkan Saddam tanpa menyiapkan pengganti yang lebih baik lagi, rakyat Irak bisa memberontak,” kata Said Ali, salah seorang sopir.
Warga Irak bisa dibilang melek informasi. Setiap hari, warga selalu memegang koran yang saat itu masih terbit harian, termasuk yang di pasar dan para sopir taksi.
Mereka tertarik mengikuti persoalan politik negaranya dan selalu membicarakan persoalan itu di kedai teh, kopi, atau warung nasi. Singkatnya, hampir semua warga Irak ”melek” politik.
Baca juga: Sulitnya Menemui Penyintas Covid-19 yang Menjadi Korban Hoaks Pemberitaan Media
Dari perkenalan itu, saya pun dekat dengan Said Ali. Ujung-ujungnya, hampir setiap hari saya bikin janji untuk menaiki taksinya. Setiap pagi pukul 09.00-10.00, saya bersama Said Ali berkeliling di sekitar Baghdad.
Said Ali menunjukkan tempat-tempat menarik untuk dikunjungi yang sesuai dengan keinginan redaksi di Jakarta. Topik politik kemudian menjadi perbincangan rutin kami saat berkeliling Baghdad.
Dari perjalanan bersama Said Ali inilah, saya tahu bahwa penggulingan Saddam akan merepotkan AS nantinya, mengingat hampir 70 persen warga Irak penganut Syiah.
”Tanpa menyiapkan pengganti Saddam yang lebih baik, perang ini akan terus berkelanjutan. Kalau AS mau menerapkan demokrasi di Irak, bagaimana mungkin AS mengelola dua negara Syiah,” ujar Said.
Baca juga: Jangan Ada Dusta di Antara Kita
Suatu hari, saya diajak Said Ali menuju tempat pemimpin Syiah yang saat itu masih muda, Imam Muqtada al-Sadr. Saya dibawa masuk ke sebuah lokasi yang di situ terdapat masjid, tempat penginapan, dan toko. Menurut Said Ali, setiap malam Jumat, tempat itu selalu ramai dikunjungi orang untuk beribadah.
Saya tidak sempat mengunjungi kompleks ini di malam Jumat karena ada larangan dari pasukan koalisi untuk keluar malam di Baghdad.
Namun, dari wawancara dengan sebagian warga Syiah di situ, saya tahu bahwa mereka tidak senang dengan cara AS menggulingkan Saddam, meski mereka juga tidak suka terhadap kepemimpinan Saddam.
”Tapi di sini aman. Mereka memang benci AS atau Inggris, tetapi mereka juga tahu tidak harus benci kepada semua warga AS dan Inggris. Mereka tahu sebagian besar warga AS dan Inggris sebenarnya antiperang. Jadi, mengapa harus kita benci,” kata salah seorang di antara mereka.
Rompi bismillah
Biasanya, menjelang sore kami berkumpul di dekat hotel untuk kemudian mulai mengetik laporan ke Jakarta. Pada suatu sore, tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara ledakan bom di dekat hotel.
Beberapa teman melongok melalui jendela kamar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Dari jendela hotel, kami melihat kepulan asap muncul di dekat hotel, tepatnya di markas pasukan koalisi. Kepulan asap juga terlihat di seberang Sungai Tigris, yang berasal dari tembakan senjata berat dari arah kami.
Kami berencana untuk mendekat. Namun, seorang teman nyeletuk, ”Pakai rompi, nanti kalau terkena serpihan senjata bisa kacau.”
Semua yang ada di kamar segera tersadar bahwa tidak satu pun dari kami yang membawa rompi antipeluru. Damanhuri Zuhri dari Republika kemudian berkata lantang, ”Udah, pakai rompi bismillah saja,” sambil dia bergerak turun menuju hotel markas.
Baca juga: Kisah Fotografer ”Kompas” Meliput Pandemi Covid-19
Mendengar celetukan Kang Daman, kami pun tertawa sambil bergerak membuntutinya menuruni tangga. Di jalan pemisah antara Hotel Palestine dan markas pasukan koalisi, kami bisa mendengar lebih jelas lagi arah sumber dentuman.
Kami hanya tahan tak lebih dari 10-15 menit saat di bawah, karena suara bising dentuman yang saling berbalasan tak pernah berhenti.
Kang Daman pun akhirnya naik kembali ke kamar. Sebagian teman kemudian mengerjakan laporan ke Jakarta. Sebagian lainnya melanjutkan melihat dari jendela, jalannya perang dengan pemisah sungai Tigris. Sekitar 40 menit suara dentuman terus menggelegar, dan baru berhenti menjelang azan Maghrib.
Setelah suara mereda, tiba-tiba Kang Daman berkata, ”Saya akan menulis dengan judul Rompi Bismillah buat laporan besok,” yang disambut gelak tawa kami semua.
Saking asyiknya bercanda, tanpa sadar malam telah menjelang dan terdengar azan Isya. Kami pun bergegas bergerak ke hotel markas pasukan koalisi untuk menumpang internet gratis dari para reporter Barat yang kami tahu membawa peralatan lengkap.
Sebagian dari kami ada yang membawa telepon satelit, tetapi karena sinyalnya sering diacak oleh pasukan koalisi, sambungan telepon satelit pun putus-nyambung.
Di markas koalisi, kami berbincang dengan sebagian tentara mereka. Kami pun akhirnya kenal dengan seorang tentara AS, yang ayah ibunya asli Indonesia. Dari dialah kami tahu bahwa sebagian pasukan AS yang diterjunkan ke Irak, adalah mereka yang sedang menjalani wajib militer.
Irak tetap menjadi lahan perang bagi AS, yang hingga sekarang memiliki sekitar 8.000 pasukan di Irak. Rakyat Irak tetap merana di tengah perang tanpa henti ini. Akankah virus korona baru mampu menghentikan perang di Irak?
Kita hanya bisa berharap perang segera berhenti di sana. Sekali lagi terbukti, perang hanyalah menghancurkan. Sebaiknya hindari dan jadikan pilihan terakhir dalam penyelesaian masalah. (Bersambung)