Tenaga kesehatan, terutama dokter dan perawat, berada di garis terdepan dalam menangani Covid-19. Namun, saat bekerja untuk menyelamatkan nyawa orang lain, nyawa mereka malah terancam. Mereka berisiko tertular virus korona baru. Bahkan, saat meninggal pun, ada kasus kelompok masyarakat tidak menerima pemakaman jenazah mereka.
Kisah dari Rumah Sakit Umum Pusat Dr Kariadi, Semarang, Jawa Tengah, bisa diungkap. Sudah dua perawat meninggal, termasuk NK, perawat perempuan di bagian geriatri. Ia meninggal di ruang perawatan intensif (ICU) pada 9 April 2020. ”Beberapa pasien kuat hingga sembuh dan kembali ke rumah. Tetapi, kenapa teman kami tidak kuat? Saat itu, kami down,” kata Nur Cahyo Sasongko (33), perawat di ICU RSUP Dr Kariadi, Sabtu (18/4/2020).
Sebelumnya, Kamis (9/4) sore, Koko, panggilan Nur Cahyo, dan rekan-rekannya melepas ambulans yang membawa jenazah NK untuk dimakamkan di TPU Sewakul, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang. Belum mengering sisa air mata, pukulan telak kembali diterima. Mereka dapat kabar sekelompok warga menolak jenazah NK.
Ambulans terpaksa balik arah. Almarhumah akhirnya dikebumikan di pemakaman keluarga RSUP Dr Kariadi di Bergota, Kota Semarang. Saat pemakaman, berkisar pukul 19.00-20.00, hampir separuh dari seluruh perawat di RS Kariadi hadir. Mereka memberi penghormatan terakhir. ”Bahkan, yang menggali makam teman-teman forensik dan administrasi,” ujar Koko.
Pada Jumat (17/4), satu lagi perawat, RI, perempuan, meninggal. NK terkonfirmasi positif Covid-19, sedangkan RI masih ditunggu hasil pemeriksaannya. Tenaga kesehatan di RSUP Dr Kariadi yang terkonfirmasi Covid-19 dengan jumlah terbanyak adalah dokter. Lonjakan kasus terjadi pada hasil pemeriksaan pada Selasa (14/4). Sebanyak 34 tenaga kesehatan dinyatakan positif.
Jumlah itu mencakup 6 dokter spesialis, 24 dokter program pendidikan dokter spesialis, 2 fisioterapis, 1 perawat, dan 1 tenaga administrasi. Secara akumulatif, kini total 57 pegawai rumah sakit itu yang terkonfirmasi positif Covid-19.
Ada dugaan sebagian tertular dari pasien bedah saraf yang terlambat teridentifikasi. Dugaan lain terkait dengan pasien positif Covid-19 yang melahirkan melalui operasi.
Banyak pasien ke rumah sakit dengan menyembunyikan gejala dan riwayat. ”Kami lakukan pemetaan,” kata Direktur Utama RSUP Dr Kariadi Agus Suryanto. Kisah ini menggambarkan betapa sebagian para perawat, dokter, dan tenaga medis telah menerima risiko saat menangani pasien Covid-19. Mereka kehilangan nyawa ataupun terancam nyawanya saat menyelamatkan nyawa orang lain.
Kisah serupa di daerah lain juga terjadi dengan beragam situasi yang sama-sama memprihatinkan. Ada juga cerita soal tenaga medis yang nyaris tertular. Situasi itu dialami Cynthia Eka Putri (28), perawat di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta Barat.
Setelah dinyatakan positif Covid-19 dari hasil tes cepat (rapid test), dia dijemput dan diisolasi di rumah sakit itu, lantas dibawa ke Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta. Sambil menunggu hasil tes swab (ulas tenggorokan), dia tidak mengabari orangtuanya di Aceh agar tak khawatir.
”Saya tidak mau bikin resah. Apalagi, tes cepat belum akurat,” katanya. Benar saja, dari hasil tes swab, dia negatif Covid-19. Kini, Putri menjalani isolasi mandiri di indekos. Akhir April, ia akan kembali bertugas di rumah sakit.
Banyak berkorban
Meski tidak tertular virus korona baru, sejatinya para tenaga kesehatan banyak berkorban demi memenuhi tugas kemanusiaan. Salah satunya, mereka kehilangan momen berkumpul keluarga. Tati Sudiarti, dokter spesialis paru di Rumah Sakit Paru Sidawangi, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, contohnya. Dua pekan lebih dia berpisah dengan anak bayinya yang berusia sebulan.
Dia harus tinggal di mes kompleks rumah sakit. Asupan air susu ibu terhenti untuk sang buah hati. Saat bekerja, dia mesti mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap seperti masker N95, penutup kepala, kacamata, sarung tangan sekali pakai, baju coverall, hingga sepatu khusus.
Mengenakan semua itu selama lebih dari dua jam saja rasanya seperti mandi sauna. Pakaiannya basah kuyup. Kacamata pelindung pun berembun. ”Penglihatan terganggu. Saya jalan kayak meraba-raba,” kata Tati. Menurut Direktur RS Paru Sidawangi Lucya Agung Susilawati, menangani kasus Covid-19 bagaikan berperang. Para tenaga medis harus dilengkapi senjata seperti APD, vitamin, dan asupan gizi.
Bangunan poliklinik umum di sana kini dijadikan tempat istirahat para perawat. Mereka tidur di tempat tidur yang biasa ditempati pasien, tanpa dipan. Jarak kasur diatur untuk menerapkan jaga jarak fisik. Di sana, mereka mencuci dan menjemur pakaian.
Sukarelawan
Meski penuh risiko, para tenaga medis berusaha mendedikasikan dirinya untuk penanganan pandemi Covid-19. Salah satunya Tri Maharani (48 tahun), dokter spesialis kegawatdaruratan asal Kediri, Jawa Timur, yang menjadi sukarelawan tambahan di RSPI Sulianti Saroso, Jakarta.
Di rumah sakit ini, ia semakin terbuka terhadap daya rusak virus korona baru. Dari 20 hasil rontgen pasien positif, dia lihat paru-parunya sarat warna putih, pertanda minim udara masuk. Terbayang sesak luar biasa yang diderita para pasien, dan bukan tidak mungkin hal itu menimpa Tri. ”Sebelum berangkat, saya sudah sampaikan kepada kakak-kakak saya.
Saya tidak tahu balik atau tidak,” ucapnya. Untuk menjaga keselamatan diri, dia memenuhi prosedur mengenakan APD lengkap. Dia bersama sejawat mendapat jatah menginap di Hotel Ibis Styles Sunter, Jakarta Utara. Kebutuhan makan dengan nutrisi yang lengkap pun terjamin. Namun, para tenaga medis juga terbelenggu kesepian.
Di hotel, mereka tidak boleh saling bertegur sapa. Sesama tenaga medis juga tak boleh saling berkunjung ke kamar. Karyawan hotel melayani tanpa tatap muka. Perjumpaan dimungkinkan melalui alat komunikasi semata. Maka, panggilan video yang menayangkan anak makan bakso saja sudah menjadi obat rindu yang mujarab. ”Kami bertanya-tanya kapan ini akan berakhir,” katanya. (JOG/FAI/IKI/GER/DRI)