Membangun kembali kerja sama desa dibutuhkan saat ini mengingat desa memiliki posisi dan peran strategis dalam meningkatkan standar kemajuan daerah. Untuk ini, dibutuhkan ”political will” birokrasi pemerintahan desa.
Oleh
TRISNO YULIANTO
·5 menit baca
Kerja sama desa sangat penting untuk mendorong kemajuan sosial ekonomi kawasan antardesa. Kerja sama desa diniscayakan untuk melaksanakan kegiatan pemberdayaan masyarakat, pembangunan desa, pelayanan pemerintahan, dan pembinaan lembaga kemasyarakatan. Kerja sama desa merupakan proses partisipasi dari bawah (bottom up participation) untuk merealisasikan program-program strategis antardesa dalam satu kecamatan, satu kabupaten, ataupun lintas daerah .
Kerja sama desa dalam terminologi tata kelola pemerintahan dibedakan menjadi dua platform kerja sama. Keduanya meliputi kerja sama antara desa dan desa yang dilaksanakan oleh Badan Kerja Sama Antar-Desa (BKAD) yang dibentuk melalui musyawarah antardesa serta kerja sama desa dengan pihak ketiga. Kerja sama desa dengan pihak ketiga bisa bersifat usaha (bisnis) yang pelaksana operasionalnya adalah badan usaha milik desa (BUMDes) ataupun kerja sama non-usaha yang lebih bersifat kerelawanan sosial (social voluntarism).
Prosedur, tata cara, mekanisme, dan manajemen kelola kerja sama desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 96 Tahun 2017 yang memberikan kewenangan bagi desa (pemerintah desa) untuk memprakarsai kerja sama desa ataupun sebagai pihak kedua yang diajak kerja sama melalui proposal program yang saling menguntungkan. Legalitas kerja sama desa adalah peraturan bersama kepala desa (permakades) jika subyek yang bekerja sama adalah desa. Sementara perjanjian kerja sama jika yang bekerja sama adalah pemerintah desa dengan pihak ketiga.
Banyak obyek yang bisa dikerjasamakan antardesa, seperti eksplorasi dan pemanfaatan nilai guna sumber daya air yang berada di wilayah geografis kawasan antardesa dan juga pendirian BUM desa bersama (BUMDesma) untuk mengelola destinasi wisata antardesa ataupun pendirian perusahaan air minum desa (PAM desa).
Kerja sama desa direncanakan dari bawah. Setiap desa yang memiliki prakarsa untuk bekerja sama menyelenggarakan musyawarah desa untuk membahas tawaran dan merumuskan program terarah kerja sama desa.
Musyawarah desa juga membuat perencanaan program yang nanti akan dituangkan dalam dokumen rencana pembangunan jangka menengah desa (RPJM desa). Sementara desain perencanaan program kerja sama setiap tahun diadministrasikan dalam rencana kegiatan pemerintah desa (RKP desa). Biaya kerja sama desa yang implementasi oleh BKAD bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) setiap desa yang berpartisipasi dalam menyusun permakades kerja sama desa.
Meskipun regulasi kerja sama desa telah terbit dan desa memiliki pos pendapatan yang signifikan setelah dana desa disalurkan sejak tahun 2015, tidak banyak desa yang memiliki itikad baik (goodwill) untuk menginisiasi kerja sama desa. Demikian pula dengan era keterbukaan yang memberi peluang masuknya investasi ke desa oleh pihak ketiga tidak jeli ditangkap peluangnya oleh pemerintah desa.
Padahal, harus diakui, desa adalah ruang ”ekonomi” yang menjanjikan bagi arus investasi dan perluasan bisnis ritel mengingat 62 persen populasi demografis negara ini berada di desa. Desa tidak akan mungkin berkembang maju dalam definisi ekonomi jika tidak ditopang oleh menguatnya kelembagaan ekonomi desa dan kerja sama desa dengan pihak ketiga.
Mengalirnya investasi perusahaan besar ke desa baik dalam rangka perluasan pasar, pengembangan pabrik usaha, maupun eksplorasi sumber daya alam adalah keiscayaan. Hal ini mengingat sumber daya alam ada di desa dan populasi penduduk desa usia produktif terbesar ada di desa. Dalam catatan Badan Pusat Statistik tahun 2020, sebesar 63,2 persen penduduk usia produktif yang masuk dalam kategori angkatan kerja berasal dari desa.
Desa adalah ruang ”ekonomi ” yang menjanjikan bagi arus investasi dan perluasan bisnis ritel mengingat 62 persen populasi demografis negara ini berada di desa.
Volume Investasi perusahaan besar ke ruang perdesaan, seperti yang direkap oleh Kementerian Desa PDTT akhir tahun 2021, mencapai Rp 63 triliun. Hal ini yang idealnya ditindaklanjuti oleh desa (pemerintah desa) untuk menjalankan program kemitraan berkelanjutan. Tentu saja yang melaksanakan kerja sama adalah BUMDes yang saat ini telah memiliki status badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM.
BUMDes bisa bekerja sama dengan perusahaan sebagai mitra (partner) dengan berposisi sebagai holding company, dalam arti BUMDes yang melaksanakan serangkaian program kerja sama ataupun unit usaha BUMDes berbadan hukum yang menjadi organisasi pelaksana program kerja sama.
Kerja sama desa dengan pihak ketiga juga bisa dilaksanakan dalam kerangka program sosial, seperti meningkatkan ketahanan ekologi desa, memperkuat mitigasi bencana alam, dan mengeliminasi angka kemiskinan ekstrem. Kerja sama desa dengan pihak ketiga mencakup substansi yang memberikan manfaat meluas bagi masyarakat desa. Menjadikan desa setara dengan pihak ketiga yang secara langsung menggambarkan otoritas dan aktualisasi otonomi desa.
Pengembangan kawasan
Sementara kerja sama desa dengan desa juga perlu ditingkatkan aktivitas programnya dalam kerangka pengembangan kawasan antardesa. Aktivitas program yang idealnya dilaksanakan terkait dengan kebutuhan masyarakat antara lain pembangunan pasar kawasan antardesa, branding kolektif produk unggulan desa, pembukaan jejaring desa wisata, dan juga pendirian BUMDesma. Kerja sama desa yang terkait dengan program tata kelola pemerintahan desa antara lain peningkatan kapasitas aparatur desa, perintisan aplikasi layanan administrasi desa, dan peningkatan kualitas tata kelola keuangan desa.
Selama ini kendala klasik kerja sama desa ada berbagai hal. Pertama, keterbatasan anggaran untuk mendukung program kerja sama desa. Apalagi di masa pandemi Covid-19 saat hampir dua tahun alokasi dana desa habis dicurahkan untuk program bantuan langsung tunai (BLT) bagi masyarakat miskin terdampak Covid-19.
Kerja sama desa dengan desa juga perlu ditingkatkan aktivitas programnya dalam kerangka pengembangan kawasan antardesa.
Kedua, belum ada kesadaran kolektif (collective consciousness) untuk melaksanakan program-program kerja sama desa. Yang menguat justru ego sektoral antar-pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan di setiap desa.
Ketiga, belum pahamnya model, substansi, dan platform kerja sama desa. Kerja sama desa yang memiliki kaidah legalitas dan program kerja yang berkelanjutan. Yang dipahami sekadar kerja sama desa untuk kegiatan insidental yang hanya memberikan manfaat temporal bagi masyarakat desa.
Membangun kembali (rebuilding) kerja sama desa dibutuhkan saat ini mengingat desa memiliki posisi dan peran strategis dalam meningkatkan standar kemajuan daerah. Karena itu, tidak mengherankan, pemerintah mendorong peningkatan status desa menuju desa mandiri.
Meningkatnya status desa mandiri tidak serta-merta hanya bisa dicapai dengan memenuhi indikator yang ditetapkan Kementerian Desa PDTT, tetapi melalui serangkaian kerja sama desa di berbagai bidang. Tidak mungkin desa menjadi kategori desa mandiri, sedangkan di sekitarnya masih banyak desa yang berstatus desa swadaya atau desa miskin. Kawasan antardesa yang progresif dalam kemajuan ekonomi dan layanan publik akan menjadi ”tuas pengungkit” kemajuan desa yang lain.
Membangun kerja sama desa butuh political will dari birokrasi pemerintahan desa, dalam hal penyediaan alokasi anggaran dengan landasan perencanaan pembangunan jangka menengah desa. Pemerintah desa yang kreatif dan sadar pentingnya kerja sama desa akan turut andil dalam mendirikan lembaga kerja sama desa di tingkat desa dan juga memfasilitasi berdirinya badan kerja sama antardesa yang aktif serta memiliki program kerja sistematis dan bermanfaat.