Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa para aktivis dan mahasiswa menjelang 1998, harus diajarkan di kelas-kelas sekolah kita. Hal ini bagian penting pendidikan hak kewarganegaraan.
Oleh
SUCI MAYANG SARI
·4 menit baca
Mei ini, kita memperingati 24 tahun reformasi. Gerakan yang dipelopori anak-anak muda yang menumbangkan kekuasaan otoriter Orde Baru.
Pada saat bersamaan, awal Mei ini, Filipina menggelar pilpres yang hasilnya mengejutkan. Anak mantan diktator, Bongbong Marcos, terpilih jadi Presiden Filipina dan mendapat dukungan suara signifikan dari para pemilih muda yang lupa akan sejarah, tentang apa yang dilakukan ayah Bongbong, Ferdinand Marcos, yang menjadi diktator puluhan tahun, berkuasa secara sewenang-wenang dan korup.
Hanya 36 tahun setelah Marcos tumbang, anaknya terpilih jadi presiden baru. Bongbong menang dengan jumlah suara dua kali lipat lawannya, Leni Robredo. Bongbong anak mantan diktator pelanggar HAM, sementara Robredo mantan pengacara HAM.
Fenomena lain terlihat dari pilpres Perancis, April. Marine Le Pen, kandidat partai sayap kanan, berhasil meraih 43 persen suara. Padahal, sepuluh tahun lalu, Partai Nasional hanya meraih 18 persen dukungan. Lewat kampanye France First, Le Pen menawarkan ilusi tentang front persatuan dengan warna nasionalistik. Hasilnya, ia berhasil meraih dukungan dari kaum muda. Hampir separuh pendukung Le Pen adalah pemilih muda yang terpesona ide persatuan nasional.
Di banyak negara demokrasi saat ini bermunculan para penantang populis yang mengabaikan prinsip demokrasi.
Muncul pertanyaan: ada apa dengan anak muda dunia? Menurut laporan Global State of Democracy 2019, erosi demokrasi sedang terjadi. Baik di negara demokrasi lebih tua maupun negara demokrasi muda. Di banyak negara demokrasi saat ini bermunculan para penantang populis yang mengabaikan prinsip demokrasi. Mereka memanfaatkan ketidakpuasan warga negara akibat meningkatnya korupsi, migrasi massal, pengangguran, dan rasa ketidakamanan akibat meningkatnya radikalisme Islam.
”Kemunduran demokrasi terjadi bersamaan dengan bangkitnya politisi dan gerakan populis yang membuat lebih banyak pemilih merasa tertarik, terutama di Eropa, begitu juga di Amerika serta Asia dan Pasifik, kendati bentuknya berbeda sesuai dengan konteks budaya dan regional,” demikian pernyataan Global State of Democracy 2019.
Penelitian lain sebelumnya pada 2016 memperlihatkan fakta menurunnya dukungan pada ide-ide demokrasi dan HAM di kalangan anak muda dunia. Anak muda tak lagi menganggap demokrasi penting dan tak mempersoalkan otoritarianisme.
Penelitian Yascha Mounk dan Roberto Stefan Foa dalam ”The Danger of Deconsolidation: The Democratic Disconnect” menemukan bahwa kaum muda tak masalah dengan bentuk pemerintahan otoriter dan bahkan mereka akan baik-baik saja jika terjadi kudeta militer di negaranya. Mereka tak begitu mendukung ide kebebasan berbicara dan sebaliknya dukungan atas radikalisme politik meningkat.
Penjelasannya, para anak muda ini dibesarkan dalam kehidupan demokrasi dan ekonomi yang stabil. Mereka tak pernah merasakan susahnya berjuang mendapatkan kebebasan dan demokrasi. Tak pernah mengalami kehidupan di bawah rezim otoritarianisme.
Harapan dan kecemasan
Sejumlah survei memperlihatkan beberapa hal kontradiktif terkait pandangan anak muda Indonesia. Ada harapan, tetapi juga ada tantangan di depan mata. Survei Indikator Politik Indonesia mencatat munculnya intoleransi politik di kalangan anak muda Indonesia.
Sebanyak 38,6 persen anak muda menyatakan keberatan jika Indonesia dipimpin presiden berbeda agama dan sekitar 29 persen keberatan orang yang berbeda agama jadi kepala daerah, baik gubernur maupun wali kota/bupati. Sikap eksklusif juga terpotret di kalangan anak muda. Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menyebut 52,9 persen anak muda setuju Indonesia diatur dengan syariat Islam dan 48,7 persen setuju etnik Tionghoa seharusnya punya hak lebih sedikit dibandingkan Muslim.
Dari survei itu juga terlihat 59,7 persen anak muda tak setuju Indonesia kembali ke sistem Orde Baru.
Namun, survei yang dipublikasikan Maret 2021 ini juga memperlihatkan 76 persen anak muda percaya bahwa demokrasi, meski tak sempurna, adalah sistem pemerintahan terbaik. Dari survei itu juga terlihat 59,7 persen anak muda tak setuju Indonesia kembali ke sistem Orde Baru.
Sementara di sisi lain ada optimisme di kalangan anak muda. Jajak pendapat Gallup-Unicef berjudul ”Changing Childhood” memperlihatkan anak muda Indonesia berusia 15-24 percaya kehidupan mereka hari ini lebih baik dibandingkan masa muda orangtua mereka, terutama dalam hal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Mereka mengakui adanya kemajuan dalam kesejahteraan rakyat dibandingkan orangtua mereka yang hidup pada masa Orde Baru.
Penelitian-penelitian terpisah ini memperlihatkan mayoritas anak muda mendukung demokrasi dan kemajuan yang dibawa oleh sistem demokrasi dan tak ingin kembali ke era otoritarianisme Orde Baru.
Berbagai temuan tadi mengisyaratkan satu hal: pentingnya memperkuat institusi formal pendidikan dalam aspek sejarah dan hak kewarganegaraan. Hingga kini, Reformasi ’98 tak diajarkan di bangku sekolah secara resmi.
Anak-anak muda tidak mendapat pengetahuan yang memadai tentang apa yang terjadi di masa otoritarianisme Orde Baru, ketika kekuasaan yang otoriter tanpa kontrol membawa Indonesia ke jurang krisis ekonomi dan kemanusiaan. Peristiwa penembakan mahasiswa Trisakti, penculikan dan penghilangan paksa para aktivis dan mahasiswa menjelang 1998, harus diajarkan di kelas-kelas sekolah kita. Temuan mengenai sikap intoleran di kalangan anak muda adalah peringatan bagi kita semua tentang pentingnya memperkuat pendidikan mengenai hak kewarganegaraan.
Bahwa Indonesia adalah hasil jerih payah semua kelompok masyarakat. Bahwa hak seorang warga negara setara, apa pun latar agama dan sukunya. Itulah cara yang bisa kita tempuh untuk menjaga anak muda. Merawat masa depan Indonesia.
Suci Mayang Sari,Aktivis ’98 Trisakti dan Bendahara Umum DPP PSI