Umat Katolik kiranya mengenang Buya Syafii sebagai karib dialog, rekan, dan saudara dalam membangun hidup keagamaan yang beradab dan berkeadilan dalam kerangka Pancasila. Buya figur yang bisa menjaga kejernihan hati.
Oleh
A BAGUS LAKSANA SJ
·5 menit baca
Sebagai bangsa, kita sedang berduka karena kepergian Buya Syafii Maarif, seorang guru beriman dan guru bangsa. Kepergiannya menjadi momen duka karena kita sungguh merasa kehilangan. Namun, kepergian Buya juga momen untuk merenung secara mendalam mengenai hidup yang telah dijalaninya dan situasi kebangsaan kita.
Buya Syafii adalah pemikir paripurna, menggabungkan kesalehan dan pemikiran agama dengan arus-arus pemikiran yang terbuka, mendalam, dan luas; yang mengintegrasikan komitmen agama yang kuat dengan komitmen kebangsaan dan kemanusiaan universal. Melintasi batas-batas agama.
Pemikirannya selalu membumi, terbuka pada kenyataan yang sedang terjadi dalam konteks sosial dan historis. Buya Syafii diakui sebagai guru bangsa karena berhasil merajut sintesis pemikiran agama, politik, dan budaya yang kita butuhkan sebagai bangsa dalam pergulatan masa kini. Pergulatan yang ditandai oleh tiga tantangan dalam bidang agama.
Di tengah arus pendangkalan hidup keagamaan, Buya Syafii adalah seorang tokoh yang memiliki kedalaman spiritual, intelektual, dan sosial.
Pertama, politisasi agama yang menyempitkan agama dalam kerangka politik identitas. Kedua, komodifikasi agama oleh kekuatan kapital, yang menjadikan agama sebagai produk yang memuaskan konsumen dan menguntungkan produsen dalam sistem yang eksploitatif. Ketiga, privatisasi agama di mana agama cenderung dihidupi dalam ruang privat individualistis dan dilucuti dari kekuatan dan panggilannya untuk terlibat dalam kepentingan umum (bonum commune).
Di tengah arus pendangkalan hidup keagamaan, Buya Syafii adalah seorang tokoh yang memiliki kedalaman spiritual, intelektual, dan sosial. Ia menunjukkan kematangan dan kemerdekaan spiritual dengan kepiawaian dalam menolak godaan- godaan untuk mementingkan kelompok sendiri dan berpikir sempit.
Kedalaman spiritualnya sangat tampak dalam kejernihan nuraninya dalam menyikapi segala persoalan, dengan mengedepankan pendekatan dialog. Sikap dan keutamaan ini kemudian dipadu dengan kedalaman intelektual, selalu bergairah memberikan terobosan pembaruan pemikiran dalam bidang agama, sosial, dan budaya untuk melawan distorsi dan segala penyempitan.
Mentalitas sumbu pendek
Saya masih ingat betul, dalam suatu seminar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma beberapa tahun lalu, bersama Kardinal Julius Darmaatmadja—salah satu sahabatnya—Buya mengungkapkan kegusarannya terhadap berkembangnya ideologi kematian dan mentalitas ”sumbu pendek”. Suatu sikap ideologis sempit yang sering dibungkus dengan kerangka religius dan mengarah pada kekerasan sebagai solusi.
Dari cara bicaranya, tampak sekali ia sangat gusar dan prihatin. Fenomena mentalitas sumbu pendek ini telah mengusik jiwanya sebagai figur yang peduli terhadap kesatuan bangsa dan kemajuan kemanusiaan. Dalam peristiwa penyerangan Gereja St Lidwina di Yogyakarta (Februari 2018), Buya Syafii menunjukkan jiwanya sebagai pemersatu. Ia berdialog dengan pelaku yang ternyata adalah korban dari mentalitas ini.
Mentalitas sumbu pendek memang telah merusak sendi-sendi keterhubungan bangsa dan juga dunia global. Perang Rusia dan Ukraina pun bisa ditempatkan dalam merebaknya mentalitas sumbu pendek yang serba terburu-buru menanggapi situasi sulit dengan kekuasaan brutal.
Mentalitas sumbu pendek memang telah merusak sendi-sendi keterhubungan bangsa dan juga dunia global.
Bagi Buya Syafii, obatnya adalah berpikir panjang, bernapas maraton, dan membuka mata dan hati seluas-luasnya. Umat Katolik dan Gereja Katolik Indonesia kiranya mengenang Buya Syafii sebagai karib dialog, rekan, dan saudara dalam membangun hidup keagamaan yang beradab dan berkeadilan dalam kerangka Pancasila.
Menurut Buya Syafii, Pancasila menjamin penghormatan pada martabat kemanusiaan, kesejahteraan manusia, keadilan, dan demokrasi. Apa yang diperjuangkan Buya dalam rentang waktu panjang adalah perjumpaan yang kaya, kreatif, dan memberdayakan antara iman, agama dan kemanusiaan, baik dalam kerangka kebangsaan maupun kemanusiaan global.
Dalam hal ini, perjuangan Buya Syafii sangat sesuai dengan semangat yang mendorong Imam Besar Al-Azhar dan Paus Fransiskus merumuskan Dokumen Abu Dhabi mengenai persaudaraan kemanusiaan (2018). Dokumen ini dipicu oleh kesadaran bahwa situasi sekarang itu genting, dan kita harus bertindak, sebuah kesadaran yang sering terungkap dari Buya Syafii.
Bersama Fratelli Tutti, Dokumen Abu Dhabi hendak membangun bahasa yang sama untuk hidup beragama antara umat Muslim dan Kristiani, yaitu bahasa tindakan dan persaudaraan demi kemanusiaan. Selama puluhan tahun, bahasa ini dibangun dan dirawat oleh Buya Syafii bersama banyak tokoh dan pihak, termasuk kalangan Kristiani.
Buya bagaikan cermin di atas pintu masuk ke makam Jalaluddin Rumi di kota Konya, Turki. Keberadaan cermin ini bisa ditafsirkan beraneka cara. Misalnya, supaya setiap peziarah bertemu dengan diri dan melihat diri lebih dalam. Atau, menurut saya, cermin itu merupakan ajakan agar kita menjadi cermin atau kaca yang memendarkan banyak cahaya.
Memancarkan kebaikan
Ketika jiwa kita jernih seperti cermin, kita bisa memancarkan kembali banyak kebaikan yang kita terima. Buya Syafii adalah kaca jernih ini, seorang figur yang bisa menjaga kejernihan hati dan jiwanya sampai di akhir perjalanan hidupnya.
Buya memancarkan pantulan kebaikan agama yang sejati, keluhuran hidup berbangsa, dan kemuliaan kemanusiaan. Rumi menulis syair, ”Bila engkau mengunjungi makamku, nisanku akan mengundangmu menari. Saudaraku, jangan datang tanpa memainkan tambur, karena orang yang bermuram durja tidak bisa bergabung dalam perayaan Ilahi” (Rumi, Mathnavi).
Buya Syafii pernah mengatakan bahwa pada akhirnya agama adalah soal ketulusan.
Kita memang berduka dengan kepergian Buya Syafii, tetapi hidup Buya adalah hidup yang pantas dirayakan dan diteruskan, bukan dengan kesedihan, melainkan dengan ”tarian sukacita”, bergerak bersama sebagai anak-anak bangsa, sebagai warga umat manusia.
Buya Syafii pernah mengatakan bahwa pada akhirnya agama adalah soal ketulusan. Bahwa hubungan hati ke hati dengan umat beriman lain menjadi sangat intim apabila ada ketulusan dan kejujuran (bdk Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah, 2015).
Kiranya ketulusan yang lahir dari hati yang jernih ini menjadi syarat agar kita semua bisa memupuk sukacita bersama sebagai bangsa. Bangsa yang sedang bergeliat menuju endemi dan sedang bersiap menghadapi perhelatan politik besar 2024.
Salah satu pembelajaran selama pandemi adalah tuntutan agar terjalin dialog erat antara agama, spiritualitas, ilmu pengetahuan, rasionalitas publik, dan kebaikan umum. Kesatuan bangsa yang sudah terjalin solid selama pandemi akan sungguh diuji dalam Pemilu 2024. Untuk itu, kita harus meneruskan dan merawat warisan nilai dan keutamaan Buya Syafii Maarif.
A Bagus Laksana, SJ, Rektor Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta