Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural tak hanya menanamkan nilai-nilai toleransi dan kebinekaan, juga mereformasi sekolah atau lembaga pendidikan agar siswa dari beragam latar belakang bisa mengakses kualitas pendidikan yang sama.
Iwan Pranoto, dalam ”Arah Baru Pendidikan” (Kompas, 23/4/2022), menyebutkan empat usikan yang dihadapi dunia secara global dan perlu ditanggapi lembaga pendidikan, yaitu (1) kerapuhan Planet Bumi, (2) kemunduran demokrasi dan meningkatnya pengutuban, (3) teknologi digital yang menghubungkan dan memecah belah, serta (4) ketakmenentuan masa depan dunia kerja.
Gagasan yang ditawarkan Pranoto sebagai nyawa sistem pendidikan nasional Indonesia untuk merespons empat usikan itu adalah gagasan kesalingterhubungan (interconnectedness). Gagasan itu bagus, tetapi terlalu general sehingga perlu upaya spesifikasi lagi ketika dihadapkan pada konteks tertentu.
Untuk mengatasi problem pengutuban dan keterpecahbelahan sosial, misalnya, gagasan kesalingterhubungan perlu dispesifikasi dalam apa yang disebut sebagai ”pendidikan multikultural”. Ia adalah satu pendekatan untuk mereformasi lembaga pendidikan menjadi tempat yang memungkinkan siswa tumbuh sebagai pribadi yang akrab dan nyaman dengan segala bentuk keberagaman, mulai dari agama, etnik, budaya, jender, hingga bahasa.
Keberagaman ini adalah berkah jika dan hanya jika dikelola secara baik dan benar.
Selain karena tuntutan empat usikan di atas, pendidikan multikultural ini penting sekali diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional mengingat fakta sosiologis masyarakat Indonesia yang secara etnik, budaya, agama, dan bahasa sangat beragam. Keberagaman ini adalah berkah jika dan hanya jika dikelola secara baik dan benar. Namun, jika tidak, ia justru hanya akan menjadi sumber konflik yang tak berkesudahan.
Memastikan keadilan
Prasyarat utama untuk mengelola keberagaman menjadi sebuah berkah adalah pelaksanaan sila kelima Pancasila, yaitu ”Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Tanpa memastikan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, apa pun agama, suku, dan budayanya, kampanye toleransi dan narasi kebinekaan hanya akan menjadi omong kosong belaka—bahkan, lebih buruk lagi, jadi selubung ideologis yang mengelabui rakyat dari melihat fakta ketidakadilan dan ketimpangan sosial-ekonomi yang nyata.
Oleh karena itu, tujuan utama pendidikan multikultural sebenarnya tidak hanya menanamkan nilai-nilai toleransi dan kebinekaan, tetapi juga mereformasi sekolah atau lembaga pendidikan sehingga siswa dari beragam latar belakang sosial-ekonomi bisa mengakses kualitas pendidikan yang sama. Dengan cara demikian, kebinekaan tak hanya indah dilihat sebagai tontonan, tetapi juga memberikan kenyamanan bagi setiap individu yang secara langsung terlibat dan merasakan.
Baca juga: Arah Baru Pendidikan
Merujuk Banks dalam Multicultural Education: Historical Development, Dimensions, and Practice (1993), apa yang disebut ”pendidikan multikultural” itu memiliki lima dimensi: (1) integrasi konten; (2) konstruksi pengetahuan; (3) penghilangan prasangka; (4) pedagogi keadilan; dan (5) pemberdayaan.
Integrasi konten terkait dengan reformasi kurikulum. Dalam pendidikan multikultural, guru perlu mencoba menggunakan contoh, data, atau informasi yang berasal dari beragam kelompok sosial, ekonomi, dan budaya untuk menjelaskan dan menggambarkan beberapa konsep dalam mata pelajaran terkait. Ini akan membantu siswa mengenali cara berpikir dan cara hidup kelompok lain.
Konstruksi pengetahuan menggambarkan bagaimana para ilmuwan dari bidang apa pun selalu terpengaruh asumsi-asumsi sosiokultural yang melatarbelakanginya dalam memproduksi pengetahuan.
Seperti dicontohkan Sabhrina Gita Aninta (2021), sikap para ilmuwan Barat terheran-heran dengan keanekaragaman hayati di wilayah ekuator seperti Indonesia. Keheranan semacam itu hanya mungkin muncul dari orang yang selama hidupnya tak pernah menemui beragam jenis flora dan fauna hanya dalam radius 10 kilometer dari tempat tinggalnya.
Penghilangan prasangka merupakan upaya untuk membongkar prasangka rasial siswa terhadap kelompok lain. Semisal, prasangka rasial beberapa orang terhadap orang Papua yang dianggap keras dan tak tahu aturan atau prasangka rasial beberapa orang yang lain terhadap orang Jawa yang dianggap feodal dan hipokrit. Penghilangan prasangka ini dapat dilakukan dengan mempertemukan siswa dari berbagai latar belakang etnik dalam satu lingkungan pendidikan tempat mereka bisa belajar saling memahami.
Pedagogi keadilan adalah teknik dan metode pembelajaran yang sensitif terhadap keberagaman latar belakang siswa. Artinya, mengingat siswa di satu sekolah itu beragam latar belakangnya, sehingga juga beragam kemampuan kognitifnya, pihak sekolah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang dapat mengakomodasi keberagaman itu. Hal ini untuk memastikan bahwa siswa dengan beragam latar belakang sosial-ekonomi tersebut dapat memperoleh capaian akademik yang tidak timpang.
Pemberdayaan adalah proses reformasi sekolah secara kultural dan institusional agar memungkinkan siswa dari beragam kelompok budaya, kelas sosial-ekonomi, dan jender dapat menikmati proses belajar dengan kualitas yang sama dan setara. Dalam konteks ini, peran negara sangat dibutuhkan.
Penghilangan prasangka merupakan upaya untuk membongkar prasangka rasial siswa terhadap kelompok lain.
Pendidikan jangan sampai diliberalisasi dengan diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta sehingga melahirkan sekolah-sekolah berkualitas unggulan, tetapi hanya bisa diakses siswa dari keluarga kaya. Negara harus memastikan pendidikan yang berkualitas unggulan itu juga dapat diakses oleh siswa kelas menengah ke bawah.
Pendidikan multikultural dengan lima dimensi tersebut sebenarnya merupakan upaya untuk mengombinasikan dua hal yang sering dipertentangkan, yaitu politik rekognisi dan politik redistribusi.
Artinya, jika kelima dimensi pendidikan multikultural itu dapat diintegrasikan ke dalam sistem pendidikan nasional, maka kelompok-kelompok minoritas dan marjinal tak hanya diakui keberadaannya (rekognisi), tetapi juga diberdayakan lewat pendidikan agar bisa setara (redistribusi). Dengan demikian, keberagaman dan keadilan bisa bersatu padu.
Baca juga: Rekonstruksi Pendidikan
Tantangan
Upaya untuk menerapkan pendidikan multikultural itu tentu tak mudah. Dalam konteks Indonesia, setidaknya ada tiga tantangan yang perlu dihadapi. Pertama, pemerataan kualitas sekolah. Sejauh ini, sekolah-sekolah berkualitas terpusat di kota-kota besar.
Mengingat wilayah geografis Indonesia yang sangat luas, upaya untuk memastikan sekolah-sekolah berkualitas juga ada di pelosok desa tentu bukan perkara gampang.
Kedua, keberagaman karakter demografi wilayah. Tak semua wilayah di Indonesia bersifat heterogen. Ada beberapa wilayah yang penduduknya relatif homogen sehingga untuk menerapkan pendidikan multikultural di wilayah tersebut menjadi tantangan tersendiri. Siswa-siswa yang berasal dari wilayah yang homogen itu akan kesulitan memperoleh informasi dan pengalaman langsung tentang siswa dari kelompok suku dan budaya lain.
Berkat perkembangan teknologi komunikasi digital, tantangan kedua itu mungkin dapat diatasi oleh sekolah yang menerapkan pembelajaran virtual secara penuh. Namun, pembelajaran virtual juga memiliki tantangan tersendiri, terutama soal fasilitas dan aksesibilitas. Tak semua wilayah di Indonesia sudah terjangkau koneksi internet yang bagus, juga tak semua orang mampu mengakses perangkat komunikasi digital seperti smartphone yang harganya terbilang mahal.
Lagi-lagi, ini membutuhkan peran pemerintah untuk memastikan ketersediaan fasilitas dan akses terhadap perangkat teknologi komunikasi digital yang dapat mendukung pembelajaran virtual.
Ketiga, ketersediaan guru. Pendidikan multikultural mensyaratkan guru-guru yang memiliki wawasan multikultural. Ini tidak hanya berlaku untuk guru pengajar Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi juga untuk semua pengajar mata pelajaran yang lain.
Negara harus memastikan pendidikan yang berkualitas unggulan itu juga dapat diakses oleh siswa kelas menengah ke bawah.
Sebab, dimensi integrasi konten dalam pendidikan multikultural ini menganjurkan guru agar dapat menjelaskan mata pelajarannya dengan menggunakan contoh yang diperoleh dari beragam kelompok sosial-budaya. Tantangan ini perlu ditangani sejak pada tahap pendidikan untuk (calon) guru.
Konsep pendidikan multikultural beserta tantangan penerapannya di Indonesia itu perlu menjadi bahan pertimbangan bersama guna merawat Indonesia sejak dari tunasnya. Sebab, anak-anak yang kita didik itu merupakan cerminan masa depan Indonesia.
Siti Murtiningsih,Dekan Fakultas Filsafat UGM dan Ahli Filsafat Pendidikan