Tak banyak monumen bertema bahari yang mampu membawa jiwa mengingat kehebatan nenek moyang kita mengarungi samudra. Jika Jakarta membuat monumen kapal pinisi di JPO, harapannya ada monumen kapal tradisional lainnya.
Oleh
AGUS DERMAWAN T
·6 menit baca
Jakarta yang dilintasi berbagai jalan besar mengharuskan memiliki banyak JPO (jembatan penyeberangan orang). Lalu, berbagai JPO dibangun. Namun, sejauh-jauh JPO dibangun, tidak banyak yang diberangkatkan dari semangat olah rupa. Lantaran dari yang terlihat, umumnya JPO itu bertolak dari aspek fungsionalnya saja. Meskipun tentu ada satu-dua yang berusaha berindah-indah dengan rias cahaya lampu-lampu, yang hanya molek apabila malam sudah tiba.
Oleh karena itu saya terperangah ketika pada minggu-minggu ini Jakarta menuntaskan pembangunan JPO yang di semua sisinya membuhul aspek desain, dengan sepenuhnya berkonsep estetik monumental. JPO itu membentang di wilayah Karet dan Jalan Sudirman. Jembatan menjadi semakin berbobot nilainya ketika dipahami adanya tema kuat yang diangkat di situ. Tema bahari, yang merujuk kepada raut kapal pinisi.
Mengapa pendesain jembatan merujuk kapal pinisi? Menurut Hari Nugroho, Kepala Dinas Bina Marga Jakarta, diangkatnya kapal pinisi sebagai pola desain adalah untuk mengingatkan warga Jakarta ihwal Pelabuhan Sunda Kelapa, asal mula Jayakarta atau Kota Jakarta.
Pada zaman dulu, di Pelabuhan Sunda Kelapa, kapal-kapal pinisi sangat banyak yang berlabuh. Kala itu kapal pinisi memang datang dari jauh membawa barang untuk Jayakarta, kemudian pergi sangat jauh demi mengangkut barang dari Jayakarta.
Kapal pinisi adalah ikon dunia kelautan Nusantara. Pencipta pertama kapal ini adalah suku Bugis di Tana Baru, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Bentuknya sederhana, tetapi khas. sehingga ketika bentuk kapal ditransformasi sebagai jembatan, warga Jakarta akan gampang faham. Apalagi kalau sedikit diingatkan tentang eksistensi perahu para moyang itu. Meskipun kemudian warga (yang cerewet dan gemar ke luar negeri) akan bilang: ”Jakarta telat amat. Singapura sejak 2010 sudah bikin monumen pinisi di atas julangan Hotel Marina Bay Sands!”
Kejayaan lautan
Indonesia, atau Jakarta, memang biasa telat alias terlambat. Bahkan, atas penyadaran soal kebaharian, bagai yang disiratkan oleh Kepala Dinas Bina Marga Jakarta. Sehingga kita akhirnya lupa, betapa sesungguhnya masyarakat Indonesia selama ini terlampau memuja dunia daratan, dan pelan-pelan melupakan kejayaan lautan.
Semboyan nenek moyang ”Jalesveva jayamahe” (justru di laut kita jaya) hanya tertera dalam tulisan. Dan lagu kanak-kanak legendaris: ”Nenek moyangku orang pelaut... Gemar mengarung luas samudera... Menerjang ombak tiada takut... Menempuh badai sudah biasa”, hanyalah nada sisa di tepian telinga.
Pendewaan jagat daratan dan melupai gelora lautan itu lantas berlanjut ke banyak jurusan di ranah sosial. Yang semua itu kemudian tertandai dengan jelas lewat patung publik atau patung monumen yang dibangun sebagai bentuk dari pengingatan atas hal-hal besar. (Setidaknya apabila kita percaya bahwa patung publik adalah refleksi paling nyata dari suara hati dan pikiran masyarakat). Sehingga, apabila orang membicarakan patung monumen yang sudah terbangun, yang dominan terbaca adalah tanda-tanda kehebatan kehidupan daratan belaka.
Pendewaan jagat daratan dan melupai gelora lautan itu lantas berlanjut ke banyak jurusan di ranah sosial.
Untuk Jakarta, simak patung Monumen Selamat Datang, Monumen Pembebasan Irian Barat, Monumen Pemuda, Monumen Arjuna Wijaya. Di Semarang, lihat Monumen Pangeran Diponegoro dan Tugu Muda. Di Yogyakarta, perhatikan Monumen Jogya Kembali atau Monjali. Di Bandung perhatikan Monumen Perjuangan Rakyat dan Bandung Lautan Api. Di Banjarmasin, negeri yang dikelilingi dan bahkan digenangi air, yang terbangun adalah Monumen Bekantan dan Tugu PKK.
Meskipun tentu tak berarti seni rupa publik yang memonumenkan sejarah kelautan nihil sama sekali. Ada, sih. Namun kebanyakan semua berpusat pada kepahlawanan seseorang dalam peperangan di samudra sehingga kehadirannya lebih sebagai visualisasi jasa dan memorabilia di lingkup terbatas.
Dan, sebagian besar dari semua itu tidak terekspos di wilayah protokol karena cenderung nyingkir di pinggir kota. Simak Monumen Perwira Jalesveva Jayamahe di Pos Angkatan Laut Pelabuhan Ikan Muncar, Banyuwangi. Monumen Yos Sudarso di Jalan Hang Tuah, serta Monumen Sang Penyelam di Markas Komando Armada, yang semua di Surabaya.
Juga Monumen Perjuangan Angkatan Laut di Pariaman, Sumatera Barat, untuk mengingat jasa pertahanan maritim kala Indonesia memasuki era Pemerintahan Darurat di Bukit Tinggi, 1945-1949. Termasuk Monumen Dharma Samudera di Jalan Gunung Sahari, Jakarta. Patung aksi ini menggambarkan kegagahan seorang perajurit sedang memegang jangkar besar di sebuah fondasi tinggi berprasasti. Mata perajurit tampak memandang jauh cakrawala.
Sayangnya, hampir semua patung yang dibangun Angkatan Laut Republik Indonesia itu bersifat seremoni penghormatan kepada pahlawan dari ranah lokal. Dan lantaran patung tersebut hanya dipajang di pelataran institusi kelautan (markas atau kantor), ukurannya relatif tidak besar.
Akibatnya, sebagai patung monumen ia tidak monumental. Tersebab tidak monumental, patung-patung itu tidak mampu menggerakkan jiwa masyarakat umum. Dan terasa berjarak dengan imaji kehebatan dunia kelautan Nusantara yang dipersepsikan digdaya berabad-abad lamanya. Patung-patung itu pun akhirnya memerankan fungsi sebagai penanda sepotong sejarah saja.
Meskipun di antara yang ”kecil-kecil” itu tentulah ada dua-tiga monumen publik yang berupaya monumental dan berusaha mengusik perhatian khalayak luas. Monumen ”Operasi Lintas Laut Jawa-Bali” di Pantai Cekik, Kelurahan Gilimanuk, Jembrana, Bali, misalnya. Monumen yang berdiri di area lumayan luas ini berbentuk tugu artistik khas seni rupa Bali. Tugu utamanya bermahkota stilisasi jangkar. Pada beberapa tahun kemudian monumen yang sama didirikan di Pantai Boom, Banyuwangi.
Monumen simbolik itu adalah bentuk penghormatan kepada Laskar Markadi. Tetapi, ukuran monumen tidak terlampau besar, kalah jauh apabila dibandingkan dengan monumen keagamaan Bajra Sandhi di Lapangan Niti Mandala, Renon, Denpasar, yang sejak didirikan menjadi pusat perhatian masyarakat luas. Bahkan Kabarnusa.com edisi 11 November 2015 mengabarkan bahwa monumen ini kurang dipelihara. Di sekitar tugu pernah dijadikan tempat penimbunan besi-besi tua!
Nasib monumen ”Operasi” berbeda dengan Monumen ”Jalesveva Jayamahe” di Tanjung Perak, Surabaya, garapan Nyoman Nuarta. Meskipun monumen berobyek Komodor Yos Sudarso ini berada di tepian laut sehingga aura besarnya tidak bisa menghentak dominasi kekuasaan darat.
Sementara sebelum itu masyarakat Jakarta diperkenalkan pada Monumen Tonggak Samudera yang dikerjakan oleh Gregorius Sidharta. Patung ini merupakan stilisasi dari beberapa jangkar yang diposisikan berdiri sehingga runcing-runcing patung tercitra menunjuk langit, tempat bintang-bintang penunjuk arah berada.
Patung setengah abstrak ini semula dipajang di pelataran peti kemas Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Namun, kemudian patung dipindahkan ke tempat tak jauh dari situ. Sebuah wilayah dekat jalan layang sehingga si monumen hanya bisa ditonton selintasan lewat kendaraan.
Namun, sebaik apa pun patung monumen itu, tetap tak bisa merepresentasikan kekuatan para pelaut dan kejayaan armada laut Nusantara, seperti yang ditunjukkan oleh Kerajaan Sriwijaya dan Mataram Kuno 1.200 tahun lalu. Dengan demikian, yang kita harapkan akhirnya adalah lahirnya monumen yang mampu membawa jiwa untuk kembali ingat kehebatan nenek moyang kita dalam berseluncur di tengah gelombang samudra. Yaitu, kepada kapal kora-kora khas Ternate Maluku, kapal sandeq khas Mandar, kapal golekan lete khas Madura, kapal pecalang khas Sumatera Barat, kapal slerek khas Muncar, dan sebagainya. Pendirian monumen kapal-kapal ini tidak harus berada di pantai, tetapi juga sah untuk ”berlayar” di tengah lapangan dan plaza berbagai kota. Monumen Bahtera Nusantara, begitu saya menyebut, sah untuk melaju di jalanan besar, di sela-sela gelombang lautan kendaraan beroda.
Dari pembangunan monumen-monumen sosok kapal Nusantara itu, bolehlah kita mengkhayal: pada suatu kali si cucu mak jegagik (tiba-tiba) melihat sebuah kapal raksasa unjuk rupa di tengah kota. Si cucu bertanya, mengapa ada kapal di situ. Kita pun dengan bangga mengatakan kepadanya bahwa, ”Itulah Bahtera Nusantara, energi hidup dan kekuatan budaya bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Itulah satu di antara ribuan kapal yang menyatukan belasan ribu pulau yang kita punya!”
Ahai, khayalan itu sedikit menjadi nyata setelah melihat JPO kapal pinisi di Jakarta. Meskipun sang kapal di situ lebih hadir sebagai citra saja, belum terwujud lebih nyata.
Akhirnya, sekali lagi nenek moyang kita berseru ”Jalesveva Jayamahe!”. Artinya: ”justru di lautlah kita berjaya!”, bukan di gunung, di hutan, di ladang, di sawah, di danau, di udara, apalagi di gedung-gedung tinggi dengan kemilau kaca.
Agus Dermawan T, Pengamat Seni; Narasumber Ahli Koleksi Benda Seni Istana Presiden