Tak sedikit guru yang menulis buku demi menambah poin kredit sehingga mengabaikan kualitas dan proses yang benar. Untuk memajukan literasi baca, memotivasi guru membaca jauh lebih penting dan mendesak daripada menulis.
Oleh
SIDIK NUGROHO
·4 menit baca
”Sahabatku Max yang baik,” tulis pria sekarat itu. ”Permohonanku yang terakhir ialah supaya semua karyaku, begitu juga buku catatan, naskah-naskah, serta surat-surat ... bakar sajalah supaya jangan terbaca lagi. Yang ada pada orang lain minta saja supaya mereka bakar sendiri.”
Itu adalah kata-kata Franz Kafka, seperti dikisahkan oleh Wilson Nadeak (1984:11). Kafka selalu merasa karyanya tidak pernah ditulis dengan baik. Oleh beberapa orang dia dianggap kritikus yang kejam atas karya-karyanya sendiri. Untungnya, Max Brod, sahabat yang disebutnya itu, tidak melaksanakan apa yang diminta Kafka. Kalau semua karya itu dibakar, maka publik secara luas tidak bisa menikmati apa yang ditulis Kafka.
Semasa hidupnya, Kafka telah membuat karya-karya yang dianggap banyak kalangan melampaui daya pikir orang sezamannya. Kafka ingin karya-karyanya dibakar karena ketidakpuasan yang terus menghinggapi benaknya. Sosok Kafka yang perfeksionis begitu kontras dengan orang yang berlomba-lomba ingin menjadi penulis atau menerbitkan buku pada masa kini.
Bahkan, keinginan menjadi penulis atau menerbitkan buku merambah ke dunia pendidikan. Mengatasnamakan kemajuan literasi, guru-guru di banyak sekolah dimotivasi untuk menulis buku. Di sejumlah kota di Tanah Air muncul berbagai gerakan guru menulis buku.
Namun, apakah gerakan literasi itu membawa dampak signifikan bagi dunia pendidikan secara lebih luas? Atau sekadar proyek berkedok gerakan agar guru-guru lebih mudah naik pangkat atau menambah poin kredit?
Yang lebih esensial
Sudah barang tentu, kenaikan pangkat adalah idaman—bahkan hak—semua guru atau pegawai pada umumnya. Menulis buku pun bagus, asalkan memperhatikan beberapa standar kelayakan. Namun, sejauh ini, gerakan literasi yang mengusung program penulisan buku tidak sedikit yang melahirkan buku-buku asal terbit, mutunya memprihatinkan.
Selain itu, tidak sedikit juga guru yang melakukan kecurangan demi naik pangkat. Beberapa tahun lalu, Muhadjir Effendy yang saat itu menjabat sebagai Mendikbud berkata akan menghapus penulisan karya ilmiah untuk guru karena banyak kecurangan di dalamnya (Kompas.com, 22/3/2017).
Sejauh ini, gerakan literasi yang mengusung program penulisan buku tidak sedikit yang melahirkan buku-buku asal terbit, mutunya memprihatinkan.
Guru yang tidak suka menulis, jarang membaca buku, tidak hidup dalam alam kreativitas merajut kata, akan kelimpungan ketika ”dipaksa” menulis. Plagiarisme merebak, jasa ”tukang jahit” karya tulis guru pun bermunculan. Kalaupun tidak menjiplak karya yang sudah ada, karya yang dibuat asal-asalan—asal terbit dan asal menjadi buku, yang penting dapat poin kredit. Muhadjir Effendy, di berita yang sama di atas menyebutkan bahwa menulis action research lebih pas untuk guru daripada karya ilmiah.
Belakangan, ISBN (International Standard Book Number) menjadi persoalan yang penting dicermati. Perpustakaan Nasional menyatakan adanya krisis ISBN. Bambang Trim, praktisi perbukuan senior, di Kompasiana (22/4/2022), menuliskan bahwa pada tahun 2020, saat pandemi mulai melanda, buku yang diberi ISBN mencapai 144.793 judul, sedangkan tahun 2021 mencapai 63.398 judul. Lonjakan ini dianggap tidak wajar oleh International ISBN Agency karena sangat banyak.
Jatah satu juta ISBN untuk Indonesia diberikan pada tahun 2018 dan hingga 2022—baru empat tahun berselang—sudah ada sekitar 623.000 buku yang diberi ISBN. Itu berarti, ISBN yang tersedia tinggal 377.000. Kalau terus-terusan seperti ini, dalam beberapa tahun lagi jatah ISBN itu akan habis. Padahal, di negara-negara lain, jatah satu juta ISBN itu dihabiskan 15-20 tahun.
Hal ini terjadi karena selama ini, buku yang dianggap ”sah” adalah buku yang diberi ISBN. ISBN dianggap menjadi ”jaminan mutu”, padahal ia hanyalah 13 angka untuk mengidentifikasi buku. Gerakan literasi yang berhubungan dengan tulis-menulis, kalau pada akhirnya hanya melahirkan buku-buku dengan mutu yang tidak jelas tetapi yang penting ber-ISBN, apa gunanya?
Daripada membuat buku asal-asalan, guru perlu merenungi lagi, apakah yang lebih esensial dalam memajukan literasi di dunia pendidikan? Jawabannya bukan menulis, tetapi membaca. Memotivasi guru untuk membaca jauh lebih penting dan mendesak daripada menulis. Membaca mendorong seseorang untuk lebih berpikir kritis, analitis, dan mendalam—hal-hal itulah yang dibutuhkan pada sosok guru.
Dalam sebuah esai yang ditulis J Sumardianta di buku Guru Gokil Murid Unyu (2013), ada kisah wartawan senior yang menjadi fasilitator program pelatihan jurnalistik. Para peserta pelatihan itu adalah guru Bahasa Indonesia dan tidak sedikit yang berasal dari sekolah-sekolah unggulan.
Wartawan itu menemukan, tidak sampai 0,5 persen dari ribuan guru yang mengikuti pelatihan itu yang pernah membaca tetralogi Pramoedya Ananta Toer. Mereka juga tidak mengenali pemikiran Ki Hajar Dewantara atau Paulo Freire (hlm 223-224). Padahal, buku-buku itu penting dalam mengembangkan wacana kesusastraan dan pedagogi.
Mungkin ada yang berkilah bahwa untuk menjadi seorang guru ideal pada zaman sekarang, guru tidak wajib membaca karya-karya legendaris zaman dulu. Boleh-boleh saja berpikir demikian. Namun, gencarnya gerakan guru menulis buku dengan demikian menjadi dilematis: untuk apa guru membuat buku untuk dibaca orang lain, padahal dirinya sendiri tak suka membaca?
Sidik Nugroho, Guru SD Pembangunan Jaya 2, Sidoarjo, Jawa Timur