Pelajaran dari Filipina dan Perancis
Pemilu arena memilih orang yang memiliki kapabilitas, rekam jejak, dan komitmen untuk membuat transformasi. Indonesia bisa belajar dari dua pemilihan presiden dengan warna dan konteks berbeda, Filipina dan Perancis.
Indonesia bisa belajar dari dua pemilihan presiden dengan warna dan konteks berbeda, Filipina dan Perancis, April-Mei ini.
Filipina, tempat yang sering disebut sebagai awal mula gelombang demokratisasi di Asia, melangsungkan pemilihan presiden (pilpres) pada 9 Mei 2022. Hiruk- pikuk kampanye tiga bulan terakhir mewarnai pelosok barangay di negara tetangga kita.
Ribuan kilometer di belahan dunia utara, Perancis, tempat revolusi menumbangkan monarki berpengaruh di Eropa, telah melangsungkan pilpres putaran kedua 24 April, yang dengan telak dimenangi petahana Emmanuel Macron. Seperti sebelumnya, pilpres ini berlangsung ketat dan sengit, menampilkan duel ulang Macron dan Marine Le Pen.
”Ramalan” hasil survei pilpres Filipina menunjukkan Marcos junior dalam posisi aman, meninggalkan pesaingnya. Tentu dua minggu mendatang jadi terasa panjang dan penuh cemas, terutama bagi para ”veteran” EDSA Revolution 1986 yang menggulingkan Marcos senior dari kepemimpinan.
Kali ini, Marcos junior, akrab dipanggil Bongbong, jadi kandidat terkuat menempati Istana Malacanang.
Kembalinya Marcos
Domino demokratisasi di Asia sering merujuk Filipina sebagai titik awal di mana people power bergemuruh dan menyapu rezim diktator. Gelombang domino berlanjut di Korsel dan Burma tahun 1988, Tiannamen, China, 1989, Thailand 1992, Indonesia 1998. Anak-anak muda di Asia, berbekal iringan lagu ”Wind of Change”, menuntut pergantian rezim diktator dan korup.
Namun, 36 tahun setelah Edsa Revolution yang memaksa Ferdinand Marcos dan Imelda sang Ibu Negara meninggalkan istana beserta sembilan ribu pasang sepatu bermereknya, kekuasaan politik Filipina kemungkinan akan kembali dikendalikan Marcos. Kali ini, Marcos junior, akrab dipanggil Bongbong, jadi kandidat terkuat menempati Istana Malacanang. Apa yang menyebabkan sejarah berulang di 1972 saat Marcos dilantik jadi presiden?
Pertama, generasi muda Filipina tak mengalami junta Marshal Law era Marcos senior. Kaum muda ini fokus pada kondisi ekonomi mereka yang tak juga kunjung membaik dibandingkan tiga dekade silam. Ketimpangan ekonomi, kesulitan meraih kehidupan layak dan pekerjaan, disertai pandemi Covid-19 menghadirkan ilusi ”kejayaan” masa Marcos senior.
Celakanya, kaum muda berusia 18-41 tahun, mereka yang belum lahir atau balita saat Marcos senior berkuasa, jumlahnya 55 persen total pemilih.
Baca juga Macron Menyambut Periode Kedua Pimpin Perancis
Ilusi ini terbangun karena faktor kedua, kampanye dan propaganda gencar dan sistematis melalui medsos oleh kubu Bongbong. Narasi sejarah tentang rezim Marcos yang brutal dan korup mampu dikemas jadi cerita pengantar tidur (fairy tale) yang menyihir.
Kampanye masif bisa dilangsungkan karena faktor ketiga, dukungan finansial berlimpah. Klan Marcos tak pernah ”dimiskinkan” atas kejahatan perampasan dan korupsi uang negara selama 14 tahun berkuasa.
Ketiga faktor ini berkelindan dengan kepentingan elite politik level nasional dan lokal. Marcos junior berkolaborasi dengan cawapres Sara Duterte, Wali Kota Davao, anak Presiden Rodrigo Duterte. Walau skema pilpres Filipina capres dan cawapres tidak dalam satu tiket, mereka bisa melakukan koalisi taktis. Klan Duterte sendiri berupaya tetap berada di dalam pemerintahan sebagai wapres dan senator sebagai garansi politik menjaga balas dendam dari musuh-musuh politiknya.
Tripolarisasi
Kampanye pilpres Perancis tak kalah sengit dari desingan peluru, dentuman bom, dan kehancuran bangunan di Ukraina akibat agresi Rusia. Pilpres ini mengkristal pada tiga kutub dengan ideologi, agenda politik, dan program yang berbeda secara kontras. Tripolarisasi politik pada kubu kelompok Kiri-Tengah-Kanan terlihat jelas dari komposisi suara. Ketiga kutub memiliki pendukung masing-masing sepertiga pemilih.
Pada putaran pertama 2017, Macron mendapatkan 24 persen, Le Pen 21,3 persen, dan Malenchon (urutan ke-4) 19,6 persen. Putaran pertama 2022 ini, komposisi tak banyak berubah: Macron 27,8 persen, Le Pen 23,1 persen, dan Melenchon 22 persen, sedangkan golput 24 persen. Pada putaran kedua 2017, Macron memperoleh 66,1 persen, jauh meninggalkan Le Pen, 33,9 persen.
Semula pengamat politik memprediksi, kali ini Le Pen tak dapat dengan mudah ditaklukkan. Kesalahan fatal saat debat kandidat lima tahun lalu jadi pelajaran berharga kubu kanan. Juga sebaran basis pendukung politik kanan berkembang meliputi bagian utara, tengah, dan selatan Perancis. Sentimen primordial (politik identitas) yang dikawinkan dengan retorika populisme kanan jadi mantra Le Pen untuk memikat pemilih, terutama kalangan ”penduduk asli” kulit putih. Embusan akan ancaman imigran, skema Uni Eropa yang merugikan (pekerja) Perancis dikemas dalam jargon kampanye. Le Pen dan kubunya abai jika narasi itu bisa mengoyak tenun kebangsaan.
Pemilu adalah arena memilih orang yang memiliki kapabilitas, rekam jejak, dan komitmen untuk membuat transformasi.
Dari sisi demografi, seperti juga di Filipina, mayoritas pendukung Le Pen (juga Melenchon) adalah kaum muda. Mereka merasa belum memiliki tempat dan kepastian dalam strata sosial ekonomi Perancis. Perasaan terpinggirkan, tidak berdaya, dan dinaungi ketidakpastian membuat kaum muda mudah terayu dengan jargon- jargon kampanye populis.
Politik transformatif
Di Tanah Air, kurang dari dua tahun mendatang kita juga akan kembali bertemu pilpres. Pilpres 2024 dipastikan tak akan menghadirkan duel atau partai ulang Jokowi-Prabowo untuk ketiga kalinya. Namun, kita bisa mengambil pelajaran dari Filipina dan Perancis.
Pemilu adalah arena memilih orang yang memiliki kapabilitas, rekam jejak, dan komitmen untuk membuat transformasi. Di negeri berpenduduk lebih dari 270 juta jiwa, tidaklah kurang wajah baru dan bertalenta untuk membawa lokomotif perubahan. Indonesia tak seperti Filipina, di mana arena politik diisi klan yang sama dari generasi ke generasi. Kita tak harus bergantung pada calon yang ”anak dari”, atau ”keluarga dari” pemimpin masa lalu.
Kita juga tak mudah tergiur oleh isu politik identitas, sektarian, suatu langgam politik purbakala. Politik gagasan, politik transformatif adalah bahasa kampanye pada Pemilu 2024. Isu asing-aseng, sukuisme, dan jargon primordial lain bahkan sudah ditinggalkan para penggagas republik saat Sumpah Pemuda, organisasi kedaerahan dirajut dalam semangat ke-Indonesia-an, apa pun latar belakang suku dan agama.
Satu hal yang penting terus dilakukan ialah mengabadikan cerita kelam masa lalu: pemerintah yang sewenang-wenang, korupsi merajalela, dan hukum dianaktirikan, agar kita tak melakukan kesalahan yang sama. Pilpres Filipina dan Perancis menjadi bahan refleksi.
Luky DjaniDosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta, Peneliti Institute for Strategic Initiatives