Ilmuwan dan Taman Manipulatif
Kekhawatiran masa depan ilmu pengetahuan kini bertambah. Bukan semata politik antisains dengan paradoks kebijakan-kebijakannya, melainkan dibiarkan tumbuh dalam transformasi digital di Indonesia yang masih banal.
Dua tulisan kolega, Sulistyowati Irianto, ”Matinya Universitas” (Kompas, 23/5/2017) dan ”Matinya Masyarakat Ilmiah” (Kompas, 7/1/2022), menampar bukan saja pemerintah, otoritas pengelola lembaga riset dan universitas, melainkan juga ilmuwan itu sendiri.
”Kematian” itu ditandai dengan maraknya gerakan politik praktis sektarian di universitas akhir-akhir ini, mengatasnamakan dan membawa panji universitas.
Sementara, di sisi lain, terjadi tindakan mencabut roh kebebasan akademik, mematikan budaya, habitus akademik, dan kesejarahan yang menghidupi para ilmuwan. Ilmuwan sudah dikooptasi birokrasi; sains dan teknologi, tertinggal, dan menjadikan Indonesia hanya pasar berbagai produk sains dan teknologi bangsa lain.
Pemaknaan ”kematian” itu tentu sarkastis sifatnya. Kampus, universitas, lembaga riset yang kini tersentralisasi ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) nyatanya masih hidup, beraktivitas, dan pula tetap melahirkan ilmuwan sekaligus memproduksi pengetahuan. Forum-forum ilmiah tetap berlangsung, inovasi kebijakan melalui ”kampus merdeka” terus digaungkan.
Baca juga Matinya Masyarakat Ilmiah
Begitu juga program-program diguyurkan untuk menunjukkan kebebasan-kebebasan yang bisa diperoleh nan diakses para peneliti dan dosen-dosen di kampus. Riset dasar diperkuat, strategi hilirisasi ditopang dengan kanal penghubung industri-industri yang diwadahi dengan kebijakan ramah pasar (market friendly research policies).
Mengesankan secara umum, dunia ilmu pengetahuan berikut institusionalisasinya mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Antitesisnya adalah ”kematian” itu sesungguhnya tak ada, atau setidaknya tak begitu tampak dalam politik sains hari ini.
Lantas, bagaimana memaknai paradoksal dunia ilmu pengetahuan dan ilmuwan, yang dirasakan kian absurd apabila mengatakan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan masyarakat ilmiahnya?
Antitesisnya adalah ”kematian” itu sesungguhnya tak ada, atau setidaknya tak begitu tampak dalam politik sains hari ini.
Paradoks
Seorang guru besar sosiologi hukum dari Universitas Airlangga, almarhum Soetandyo Wignyosoebroto (1932-2013), pernah mengemukakan, ”Bagiku, pendidikan itu ’educating the heart’, tetapi di negeriku, pendidikan itu ’educating the brain’, hasilnya, ’a flock of new barbarian’, yang cakap, cerdas, dan berpengetahuan tinggi untuk siap bekerja dan dipekerjakan sebagai ahli bayaran.”
Refleksi beliau sesungguhnya berangkat dari kritik tajam terhadap kaum terpelajar republik ini yang begitu mudahnya menggadaikan keilmuwanannya bagi kepentingan kekuasaan, baik secara ekonomi maupun politik.
Entah, apakah ketidakjujurannya untuk pemenuhan kebutuhan pribadi dan keluarganya, hingga menghamba pada kepentingan jabatan, kedudukan politik kekuasaan, hingga melayani perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan atau bahkan menyingkirkan hak-hak masyarakat. Membela koruptor ataupun terlibat dalam praktik suap, brokerisme, dan kejahatan ekonomi. Celakanya, itu dilakukan tanpa ragu, apalagi malu.
Praktik demikian, sayangnya, kian tumbuh subur dalam iklim pendidikan tinggi yang mengawetkan struktur sosial feodalisme dan hegemoni kekuasaan. Siapa pun dengan mudah masuk perangkap imperium kampus yang rela mematikan saraf nurani dan kepekaannya terhadap realitas problem sosial kemasyarakatannya.
Alih-alih membela rakyat ditindas, yang diburu justru hubungan-hubungan baik kampus dengan kuasa penindasnya. Kampus dan ilmuwannya tak lagi bisa berdiri tegak nan tegas membentengi tujuan ilmu untuk peradaban kemanusiaan.
Kini yang terjadi sebaliknya. Kian jamak, ilmuwan terlibat proyek amdal, proyek legislasi dan perizinan, yang membenarkan penghancuran ekologi lingkungan. Tak mengherankan, deforestasi di Sumatera dan Kalimantan, begitu juga Papua, masif hancur terjadi akibat tambang-tambang dan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Sama sekali tak mengejutkan, tak terkendalinya keserakahan kebijakan pembangunan ekonomi dengan watak kapitalistis, koruptif, dan manipulatif justru memperlihatkan betapa sains absen digunakan. ”Sains” dimanfaatkan untuk yang sejalan menopang kepentingan serakah itu.
Bagi mereka ilmuwan yang bersuara kritis, jelas akan berhadapan dengan represi. Kasus gugatan hukum yang menimpa Bambang Hero Saharjo dan Basuki Wasis dari Fakultas Kehutanan IPB adalah contoh represi tersebut (2018).
Taman itu
Tantangan dunia sains dan ilmuwan hari ini adalah peradaban teknologi digital. Teknologi digital kian menjadi keseharian. Kuasa digital bertransformasi menjadi kekuatan yang mengubah bukan semata kebijakan, melainkan pula keyakinan dan kesadaran publik. Di titik tertentu, tak terhindarkan berbenturan dengan sains.
Kini yang terjadi sebaliknya. Kian jamak, ilmuwan terlibat proyek amdal, proyek legislasi dan perizinan, yang membenarkan penghancuran ekologi lingkungan.
Pemikir hukum tata negara dan hukum administrasi dari Universitas Harvard, Cass R Sustein, dalam buku terbarunya, Liars: Falsehoods and Free Speech in an Age of Deception (2021), menegaskan strategi pembohongan menjadi lazim terjadi di era sekarang. Riset panjang ilmuwan yang dihasilkan dari proses uji laboratorium akan dengan mudah tunduk dan kalah dengan kepalsuan informasi yang dikendalikan kuasa informasi digital. Itu sebabnya, bisa membahayakan kesehatan masyarakat.
Serangan-serangan sistematis terhadap ilmuwan juga terjadi melalui peretasan, doxing, persekusi, dan intimidasi-intimidasi. Serangan digital terhadap para akademisi yang mengkritisi penanganan pandemi Covid-19, revisi UU KPK dan omnibus law Cipta Kerja, adalah sederet contoh yang pernah marak terjadi (Kompas, 14/4/2021).
Dalam riset yang dikerjakan Wijayanto dan Ward (2021), di tengah kemunduran demokrasi, ada realitas ”pasukan bayaran” yang terlatih dan pragmatis, sebagai pasukan siber. Pasukan ini berkembang dari jaringan ”tim sukses” yang sama-sama tidak terorganisasi dan serba guna dalam kampanye pemilu di Indonesia.
Misalnya, demi ”menjual” legislasi pro-pebisnis sebagai berkah menyejahterakan rakyat, pasukan siber digunakan mendelegitimasi dan membungkam pengkritik omnibus law lewat taktik ”kampanye negatif”, untuk mempermalukan para pengkritik dan mementahkan pendapat ilmiah akademisi ataupun ekspresi kritik publik.
Beranjak dari realitas itu semua, dunia ilmuwan, kampus, dan lembaga riset memang tak sedang dimatikan. Pun, rasanya tak masuk akal dalam klaim demokratis rezim saat ini membunuh dunia akademik, riset, dan pengembangan pendidikan tinggi.
Yang terjadi, iklim kebebasan akademik ”yang terbonsai”. Tetap harus terlihat indah, bersemai, tumbuh berkembang, tetapi dengan pendisiplinan dan sentralisme yang sejalan dengan kepentingan kekuasaan.
Artinya, kekhawatiran masa depan ilmu pengetahuan kini bertambah palang pintunya. Bukan semata politik antisains yang menampilkan segala paradoksal kebijakan-kebijakannya, melainkan dibiarkan tumbuh dalam taman transformasi digital di Indonesia yang masih banal dan dipenuhi kekerasan siber, tanpa pertanggungjawaban.
Represi atas kritik kebenaran bisa jadi tidak lagi dilakukan dengan membungkam ilmuwan, atau mengooptasi kampus, tetapi dengan mendangkalkan informasi dan memanipulasikannya dalam perangkap politik kepentingan kekuasaan. Hal yang kiranya perlu menjadi refleksi bersama ilmuwan di tengah meluasnya ketidakadilan sosial dan kemunduran demokrasi.
Herlambang P Wiratraman,Dosen Fakultas Hukum UGM dan Wakil Ketua Pokja Sains dan Masyarakat ALMI