Selama ini kota direncanakan dan dirancang oleh laki-laki, mereka tak memahami pergerakan dan kebutuhan perempuan di kota. Kota yang mengakomodasi perempuan akan berdampak kepada anak-anak, orangtua, dan juga laki-laki.
Oleh
SAFITRI AHMAD
·4 menit baca
Sudah jamak bahwa laki-laki yang mencari nafkah dan mereka yang menghabiskan waktu lebih banyak di luar rumah, berbeda dengan perempuan yang lebih banyak mengurus keluarga dan tentu saja lebih sering berada di rumah. Akan tetapi, seperjalanan waktu, perempuan juga lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Mereka keluar rumah untuk bekerja atau kegiatan sebagai ibu rumah tangga. Akan tetapi, apakah kota sudah mengakomodasi perempuan?
Sebagian aktivis di beberapa kota; antara lain Barcelona menuntut agar kota lebih memihak kepada perempuan. Para aktivis menganggap bahwa kota terlalu didominasi oleh laki-laki dan tidak mengindahkan kebutuhan perempuan berupa keamanan dan kenyamanan berkegiatan di ruang publik.
Namun, sebagian perempuan di kota lain, kita ambil contoh, Jakarta, menyesuaikan diri dengan sarana dan fasilitas yang ada. Perempuan yang membawa anak (di Jakarta) tahu diri bahwa jika mereka menggunakan kendaraan umum untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dia harus menggendong bayi/anak balita (tidak menggunakan kereta dorong karena mengetahui banyak tangga yang akan dilalui). Kalau ke toilet harus berbaris antre karena mereka juga tidak mengetahui/tidak peduli, apakah antrean toilet laki-laki juga sepanjang mereka.
Kasus yang sering muncul pelecehan di kendaraan umum yang diselesaikan dengan menyediakan ruang/gerbong khusus perempuan. Setiap kantor disarankan menyediakan ruang laktasi (ruang menyusui) walaupun tidak semua kantor dapat menyediakan ruangan tersebut.
Jika dilihat dari siklus kehidupan; bayi, anak balita, remaja, dewasa, menikah, hamil, ibu dari bayi, ibu dari anak balita, dan lanjut usia, maka keberadaan mereka di kota pada setiap masa, mempunyai masalah tersendiri. Saat menjadi ibu dari anak balita, ia harus mempertimbangkan lokasi yang akan didatangi, apakah jalur yang dilalui dapat akses kereta dorong bayi? Atau apakah di area tersebut orang-orangnya dapat menolerir jika bayinya tiba-tiba tantrum?
Saat menjadi perempuan pekerja dan mendapatkan tugas shift malam, mereka harus melalui area yang pencahayaannya terbatas, rawan kejahatan, dan harus menunggu transportasi umum cukup lama (pada malam hari, jumlah kendaraan umum yang beroperasi terbatas) dan tidak ada petugas keamanan. Alternatif lain mengunakan taksi yang berarti pengeluarannya menjadi lebih besar. Biaya ”merasa” aman sangat mahal.
Kebutuhan perempuan
Secara fisiologis perempuan berbeda dengan laki-laki, misal kebutuhan untuk menggunakan toilet, waktu yang digunakan perempuan lebih lama tiga kali dibandingkan dengan laki-laki. Jadi, logikanya jumlah toilet untuk perempuan tiga kali lebih banyak. Nyatanya, jumlah toilet perempuan dan laki-laki di ruang publik sama. Jadi, wajar, rancangan fasilitas dan sarana prasarana kota tidak dapat disamakan dengan laki-laki karena mereka berbeda dalam mengakses dan menggunakannya.
Selain itu, pergerakan perempuan di kota lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki karena peran mereka sebagai ibu pekerja dan ibu rumah tangga; mengantar anak ke sekolah, atau tempat penitipan anak (daycare), pergi ke kantor, berbelanja kebutuhan sehari-hari ke pasar atau supermarket, dan tentu saja tidak ketinggalan bersosialisasi dengan teman-temannya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain, dan kendala apa yang akan mereka hadapi selama di perjalanan (macet, waktu tunggu untuk mendapatkan kendaraan umum dsb).
Selama ini, kota direncanakan dan dirancang oleh laki-laki, mereka tidak memahami pergerakan dan kebutuhan perempuan di kota.
Selama ini, kota direncanakan dan dirancang oleh laki-laki, mereka tidak memahami pergerakan dan kebutuhan perempuan di kota. Dalam skala kecil, rumah (pada masa lalu), selalu ada pemisahan antara ruang laki-laki dan perempuan. Perempuan menguasai ruang inti; kamar dan dapur, sedangkan laki-laki berada di ruang tamu/ruang keluarga dan ruang luar.
Akan tetapi, berbeda jika kita bicara ruang kota, banyak hal yang perlu dipertimbangkan oleh seorang perempuan ketika ia mengakses kota. Apakah wilayah tersebut aman untuk bermukim, bekerja, atau berkegiatan, bagi dia dan keluarganya (terutama anak-anak dan orangtua lanjut usia). Apakah ada kendaraan umum dengan pilihan yang beragam, aman, dan selalu tersedia, setiap waktu. Area atau lokasi itu mudah diakses jika menggunakan kereta dorong bayi, dan masih banyak lagi. Tidak hanya kenyamanan secara fisik, tetapi juga kenyamanan secara sosial.
Di sisi yang lain, perempuan merupakan pangsa pasar bagi restoran dan pusat perbelanjaan. Pengusaha akan menghadirkan ruang yang nyaman sehingga perempuan dapat menghabiskan waktu dan tentu saja uang di sana, dengan membawa semua anggota keluarga dan teman.
Pada sebagian kota, pemahaman bahwa pemerintah kota seyogyanya mengakomodasi kebutuhan perempuan dalam menggunakan ruang kota belum terlalu kuat karena selama ini belum/tidak ada tekanan dari aktivis agar pemerintah kota mengakomodasi kepentingan mereka. Sisi lain, perempuan lebih sering menyelesaikan masalah dengan menyesuaikan dengan kondisi sarana dan prasarana kota yang ada.
Di lain pihak, perencana kota juga belum melakukan studi yang intens terhadap kesulitan perempuan dalam berkegiatan di ruang kota dan tidak melibatkan perempuan secara signifikan dalam merencanakan/merancang/membuat keputusan terhadap kota. Padahal, kota yang mengakomodasi perempuan akan berdampak kepada anak-anak, orangtua, dan juga laki-laki.