Yesus memang memertanyakan keberadaan dan kehadiran Allah di tengah penderitaan ketika disalib. Namun, teriakan ini bukan teriakan anti-iman, melainkan malah adalah bukti dari iman, tepatnya iman yang tidak egosentris.
Oleh
DANIEL K LISTIJABUDI
·5 menit baca
Karena pertimbangan geopolitik dan ekonomi, Rusia menyerang Ukraina. Banyak korban berjatuhan. Di antara para korban, ada banyak penduduk sipil. Juga ibu-ibu bersalin, bayi-bayi, dan orang-orang yang dirawat di rumah sakit.
Sungguh pedih melihat bagaimana perang dan kejahatan manusia kepada sesamanya (di mana-mana) bisa sedemikian mengerikan dan menciptakan penderitaan dahsyat. Dalam konteks itu, salah satu pertanyaan yang mengemuka, mau tak mau, adalah pertanyaan teologis: ”Di mana Allah?”
”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Demikianlah pertanyaan Yesus di pengujung nyeri salib. Dalam teologi Kristen, pertanyaan di atas menghadirkan misteri yang besar. Mengapa Yesus bisa merasa ditinggalkan? Mengapa Allah meninggalkan anak-Nya dalam penderitaan?
Pergulatan eksistensial untuk memberi jawab terhadap pertanyaan semacam ini membawa kita masuk ke kompleksitas ranah Theodice. Itu berarti bergumul dengan misteri, seperti yang dikatakan oleh Vengal Chakkarai, dalam buku The Cross and Indian Thought (1932), ”Jeritan misterius ini tak dapat dijelaskan, tetapi satu hal pasti, Yesus menghadapi penderitaan dan kematian-Nya secara sungguh-sungguh.”
Konteks ucapan terakhir Yesus ini adalah narasi kisah sengsara yang disebabkan oleh persoalan ideologis politis-teologis sebagaimana diusung oleh para imam kepala, tua-tua Yahudi dalam persidangan yang digelar Gubernur Romawi, Pontius Pilatus. Isu ideologis politis tampak dalam pertanyaan Pilatus: ”Engkaulah Raja orang Yahudi?”
Soal teologis mengemuka dalam wicara tentang ke-Anak-Allah-an Yesus terkait dengan tuduhan menghujat Allah. Atas kedua hal ini, para lawan Yesus mencapai kata sepakat: ”Ia harus dihukum mati”. Rene Girard (1986), membingkai model konspirasi kumulatif semacam ini sebagai all against one, semua melawan satu. Hasil konspitasi ini: Yesus di salib. Di situlah Ia bertanya dalam jerit.
Pendapat teolog Asia
CS Song (Taiwan) sebagaimana dikutip oleh AA Yewangoe (1989), melihat pertanyaan Yesus ini sebagai ”pernyataan keputusan Allah terhadap tradisi-tradisi politik keagamaan dari pengharapan Mesianis di Israel.... Salib secara tragis namun dramatis membuktikan bahwa Allah tidak mau berurusan dengan mesianisme yang berkembang dalam nasionalisme. Salib menjelaskan dengan pedih bahwa mesias nasional, kalaupun memang ada, harus dicari di tempat lain....”
Dengan meninggalkan Yesus di kayu salib, Allah menegaskan bahwa Yesus tidaklah diutus menjadi seorang Mesias menurut keturunan Daud. Allah memberikan pukulan mematikan terhadap ilusi apa pun yang tertinggal mengenai Yesus sebagai seorang calon pemimpin bangsa.”
Berbeda dengan Song yang meletakkan pertanyaan religius Yesus dalam konteks politik, teolog Jepang, Kosuke Koyama (1984) lebih menempatkan pertanyaan ini dalam scopa spiritualitas mistik, yakni adanya pergulatan kontradiktif dalam keimanan Yesus di mana Allah yang dinyatakan melalui kata-kata-Nya pada salib itu adalah Allah yang tersembunyi (deus absconditus).
Mestinya akan cukup banyak orang yang menafsirkan ucapan Yesus ini sebagai ungkapan protes.
Mestinya akan cukup banyak orang yang menafsirkan ucapan Yesus ini sebagai ungkapan protes. Hal ini dianggap tidak pantas sehingga ada upaya membela Yesus, misalnya oleh seorang bernama Fairbairn yang mengusulkan untuk memahami ucapan di atas salib itu bukan sebagai perasaan Yesus sebagai yang ditinggalkan oleh Allah. Perasaan Yesus tidak sama dengan fakta, sanggahnya.
Pandangan Fairbairn ini ditolak oleh Chakkarai. Bagi Chakkarai, asumsi adanya pemisahan perasaan dengan fakta, dalam diri Yesus, adalah sesuatu yang aneh dan oleh karena itu tidak bisa diterapkan kepada-Nya. Perasaan Yesus (yang merasa ditinggalkan oleh Allah) adalah suatu fakta, fakta dari realitas yang paling dalam. Yesus, bagi Chakkarai yang menggunakan perspektif tradisi India, hidup di dalam Allah dan sebaliknya Allah bagi Yesus bukanlah hanya sebagai realitas yang tertinggi (Supreme Reality), tetapi juga selalu adalah satu-satunya Allah, tidak ada yang lain.
Ketika kesadaran ini diluluhlantakkan, Yesus turun ke dalam kedalaman yang paling bawah yang tak ada tandingnya lagi. Yesus tiba di titik no being (yang dalam tradisi Hindu tidak sama dengan angka nol/zero yang biasa kita kenali). Inilah titik pelepasan ego paling optimum. Titik inilah yang dicapai oleh Yesus. Rasul Paulus, dalam surat Filipi 2, menyebutnya sebagai realitas pengosongan diri (kenosis). Justru dari titik kenosis inilah, Yesus historis menjadi manusia Ilahi, menjadi pengejawantahan Kristus/indwelling Christ (Chakkarai dalam Sugirtharajah 1993: 81).
Hal yang juga menarik adalah jika kita memperhatikan bentukan subyek kepada siapa pertanyaan ini tertuju. Pemazmur, yang dikutip Yesus dalam Injil, menggunakan frase possesive pronoun (kata ganti milik) yang berulang: ”Eli... Eli/ Eloi... Eloi ” yang berarti ”Allahku... Allahku.”
Agaknya, di satu pihak, aktivitas memertanyakan keberadaan dan kehadiran Allah di tengah penderitaan memang dilakukan oleh Yesus. Namun, di lain pihak, kompas batin kepada siapa pertanyaan atau gugatan itu tertuju tidak pernah terlepaskan dari Allah yang disapa-Nya sebagai Allah(ku). Dengan demikian, kita bisa memahami jika bagi Chakkarai, teriakan ini bukan teriakan anti iman, melainkan malah adalah bukti dari iman, tepatnya iman yang tidak egosentris (egoless).
”Sursum Corda”
Kekerasan oleh manusia kepada yang lain di dunia ini tak urung membuat manusia bisa merasa merasa ditinggalkan oleh Allah dan mempertanyakan kemalangan kita kepada Allah. Pertanyaan semacam ini juga bisa dihayati dan dipahami sebagai bentuk dari hidup beriman, yakni bahwa Yang Ilahi, sebagaimana dalam peristiwa salib, boleh menjadi rujukan seruan tanya dalam lembah hitam penderitaan. Iman dengan demikian adalah keberanian bertanya dan mencari jawab di dalam misteri Ilahi.
Beriman berarti berani memasuki tanda tanya sembari terus mengelola kehidupan dengan hati teguh dan melakukan pemberdayaan dan pembelaan bagi para korban kekerasan manusia sehingga mereka beroleh harapan dan tegak kembali. Sebab, bukankah setelah salib ada kebangkitan? Semoga kisah Paskah meneguhkan praksis cinta kasih kita dalam segala tanda tanya. Sursum Corda, angkatlah hatimu!
Daniel K Listijabudi, Pendeta dan Dosen di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta dan di ICRS-Jogja