Uni Eropa meminta China tidak hanya mendukung kedaulatan Ukraina dan perlunya gencatan senjata, tetapi juga menggunakan pengaruhnya terhadap Rusia untuk mengubah sikapnya serta menolak dukungan militer aktif apa pun.
Oleh
JOSEP BORELL
·5 menit baca
Agresi Rusia terhadap Ukraina mengharuskan semua pihak mengambil sikap. Pada KTT Uni Eropa-China beberapa waktu lalu, kami membahas apa yang dipertaruhkan dan harapan pada China untuk jadi bagian dari solusi. Kesenjangan dalam cara kita melihat konflik ini dan dunia lebih luas adalah nyata, jadi harapan tak terlalu tinggi.
Beberapa tahun terakhir, hubungan Uni Eropa (UE)-China telah melalui masa sulit, dengan pertentangan terkait HAM (Xinjiang, Hong Kong); perilaku China di kawasan (Laut China Timur dan Selatan, perbatasan India, Selat Taiwan); masalah yang dihadapi perusahaan UE dalam mengakses pasar China; penggunaan sanksi yang meningkat terhadap pejabat dan badan UE; dan meluasnya kegiatan disinformasi dan upaya pemaksaan ekonomi secara terbuka terhadap Lituania dan pasar tunggal UE.
Semua ini memberi kesan jalan buntu dan perbedaan. Kemudian timbul invasi brutal Rusia ke Ukraina. Bagi warga Eropa, ini jelas kasus agresi: Rusia melanggar kedaulatan dan integritas teritorial tetangganya yang lebih kecil. Ini prinsip-prinsip yang dianggap sakral dalam diplomasi China.
Namun, dalam praktiknya, Beijing memilih sikap netral pro-Rusia.
Namun, dalam praktiknya, Beijing memilih sikap netral pro-Rusia. China tak mendukung perilaku Rusia. China memilih abstain di Majelis Umum PBB, tetapi mendukung pembenaran Rusia atas perang itu, yaitu klaim bahwa akar penyebabnya terletak pada ”pemikiran Perang Dingin” dan terutama perluasan NATO.
China tak menggunakan istilah perang, lebih memilih eufimisme, seperti isu, krisis, atau konflik. China menolak penggunaan sanksi. China menganggap kedua pihak sama-sama punya kesalahan, daripada menyerukan bahwa ini agresi dan memohon ”semua pihak” mengakhiri pertumpahan darah.
Melalui pernyataan dan tindakan mereka, Rusia dan China telah memperjelas bahwa mereka percaya kekuatan besar berhak atas zona pengaruh di lingkungan masing-masing.
Kami justru percaya Piagam PBB dan Akta Terakhir Helsinki mengabadikan hak negara-negara untuk membuat pilihan berdaulat mereka sendiri. Pernyataan bersama Rusia-China, 4 Februari, pada intinya, manifesto revisionis seperti saya katakan di Konferensi Keamanan Muenchen, 20 Februari 2022.
Kami melihat perang Ukraina sebagai momen kebenaran, di mana negara-negara harus menunjukkan warna mereka, tetapi China merasa dirinya bisa menghindari pilihan yang menentukan. China percaya ia mendapatkan pihak Barat terfokus pada Ukraina dan Rusia yang lemah yang menjadikan China lebih sebagai mitra senior yang bisa menawarkan migas murah, karena Eropa mengurangi impor energi dari Rusia.
KTT sulit, tetapi perlu
Ini latar belakang dari KTT UE-China. Fakta bahwa tak ada pernyataan bersama atau daftar ”hasil” merupakan indikasi jelas ini bukan ”bisnis seperti biasa”.
Dalam hal taktik, China ingin kita mengotak-ngotakkan: mengesampingkan perbedaan kita yang kontras dalam hal HAM, Ukraina, dan masalah lain dan alih-alih ”fokus pada hal-hal positif”. Pihak UE secara jelas menyatakan tak bisa: beberapa nilai bersifat universal dan inti dari cara kita mendekati dunia.
Hal sama berlaku untuk Ukraina. Ini bukan pertengkaran lokal dua negara yang sama-sama harus disalahkan. Juga bukan kembalinya ke Perang Dingin dengan dua blok ideologis dan ekonomi yang berlawanan. Tidak, ini adalah momen menentukan apakah kita hidup di dunia yang berdasar peraturan atau pemaksaan.
Ini membuktikan faktor politik dan ideologis menaungi faktor ekonomi.
Inti pertanyaan: apakah kita menormalkan penggunaan kekuatan secara ilegal atau tidak. Bolehkah seseorang memerintahkan pasukannya berbaris menuju negara tetangga dan mencoba mengambil apa yang dia yakini sebagai miliknya?
Kami tak ingin hidup di dunia di mana penggunaan kekuatan dideregulasi seperti halnya ekonomi telah dideregulasi, seperti dikatakan Ghassan Salame, akademisi dan diplomat Lebanon, di Le Monde.
UE meminta China tak hanya mendukung kedaulatan Ukraina dan perlunya gencatan senjata, tetapi juga menggunakan pengaruhnya terhadap Rusia untuk mengubah sikapnya serta menolak dukungan militer aktif apa pun ke Rusia. China tetap berpegang pada pernyataan umum yang ingin melihat perdamaian dan de-eskalasi, tetapi menghindari komitmen khusus, untuk tercapainya gencatan senjata. Penting juga bagi China menegaskan kembali sikapnya menentang penggunaan senjata pemusnah massal dalam konflik ini.
Dalam semua ini, ada paradoks besar. Hubungan ekonomi bilateral kami sangat dalam—perdagangan UE-China 2 miliar euro setiap hari dibandingkan hanya 330 juta dollar AS per hari antara China dan Rusia—tetapi pandangan politik kami makin jauh. Ini membuktikan faktor politik dan ideologis menaungi faktor ekonomi.
Salah satu kesimpulan KTT ini: China untuk saat ini tak akan terlibat secara aktif untuk mengakhiri perang di Ukraina. Hal terbaik yang secara realistis bisa diharapkan adalah China tak bergerak ke sikap pro-Rusia yang lebih aktif. Namun, sejak KTT, kami melihat lebih lanjut bukti kekejaman Rusia, termasuk di Bucha, yang membuat solusi politik lebih sulit.
China harus terlibat dalam setiap komisi penyelidikan yang diluncurkan PBB dan harus jelas menyatakan di mana keberpihakannya. Kita juga harus melihat apakah Presiden Xi akhirnya akan berbicara dengan Presiden Zelenskyy, suatu hal yang pihak UE ajukan di KTT.
UE harus terus melakukan semua yang kami bisa untuk menekan Rusia (kami sudah mengusulkan sanksi keras putaran kelima), memperluas dukungan ke Ukraina, dan menangani dampak global yang lebih luas dari perang, termasuk meningkatnya risiko kerawanan pangan akibat kenaikan harga energi dan komoditas. Kami berbicara dengan negara-negara Afrika dan Asia untuk memperjelas, konflik ini bukanlah konflik Timur dan Barat, melainkan konflik yang membahayakan prinsip kedaulatan nasional dan integritas teritorial.
Dalam hubungan UE-China, mungkin hal terpenting bagi kami adalah terus melakukan ”pekerjaan rumah” dan memperkuat ketahanan internal UE. Beberapa tahun terakhir, kami telah mengambil langkah signifikan di sisi defensif buku besar (penyaringan investasi, kotak peralatan 5G, antisubsidi, instrumen pengadaan dengan lebih banyak lagi yang akan datang melalui penerapan instrumen anti-pemaksaan).
Kami juga telah meningkatkan kerja sama dengan mitra yang berpikiran sama tentang cara mengatasi tantangan yang dibawa China, tetapi juga untuk menggapai peluang, ketika muncul. Kita harus selalu membuka pintu untuk terlibat dengan China. KTT adalah saluran komunikasi penting untuk menyampaikan pesan ke tingkat tertinggi di Beijing.
Terlepas dari semua kesulitan, penting bagi kita menyadari bahwa kita memiliki kepentingan bersama dalam mengelola hubungan ini dengan cara yang bertanggung jawab. Perubahan iklim, keanekaragaman hayati, meningkatnya ancaman kerawanan pangan di Afrika, atau krisis regional seperti Afghanistan, ini semua topik yang perlu kita coba untuk bekerja sama dengan China.
Tujuan kebijakan luar negeri adalah membentuk pilihan para pemain internasional. Ini juga berlaku untuk China. Bagi UE, cara terbaik untuk melakukannya adalah bersikap realistis, tegas, dan bersatu. Diplomasi menyiratkan berbicara dengan semua orang, termasuk mereka yang berselisih dengan kita. Dalam dialognya dengan China, saya pikir UE benar-benar telah menunjukkan kekuatannya.
Josep Borrell, Perwakilan Tinggi Uni Eropa; Wakil Presiden Komisi Eropa