Memartabatkan Bahasa di ASEAN
Apakah Indonesia pernah mengupayakan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pada tingkat ASEAN? Malaysia sudah mengupayakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN sejak belasan tahun silam.
Sejak zaman Soekarno hingga masa Joko Widodo, Indonesia dan Malaysia selalu ribut. Kadang bergaduh soal klaim seni budaya, terkadang ribut soal tapal batas, ada kala cekcok karena perkara bahasa.
Gaduh karena klaim tapal batas dan seni budaya antara Indonesia dan Malaysia sudah mulai berkurang, bahkan nyaris tidak terdengar lagi beberapa tahun terakhir. Namun, kedua bangsa ini mulai ”cekcok” lagi karena bahasa. Betapa pun itu, bahasa memang identitas dan lambang kebanggaan suatu bangsa.
Heboh kali ini berawal dari Perdana Menteri Malaysia yang meminta dukungan Indonesia untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi kedua di ASEAN. Permintaan tersebut ditolak secara tegas oleh Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim.
Baca juga: Arah Baru Internasionalisasi Bahasa Indonesia
Seperti diberitakan banyak media, Nadiem menolak usulan PM Malaysia Dato Sri Ismail Sabri Yaakob. Kata Nadiem, bahasa Indonesia jauh lebih layak dijadikan sebagai bahasa resmi ASEAN.
Nadiem berpandangan bahwa kelayakan bahasa Indonesia sebagai bahasa ASEAN karena bahasa Indonesia sudah diajarkan di banyak negara. Nadiem menyebutkan, bahasa Indonesia sudah tersebar hampir di 47 negara. Penyebarannya dilakukan melalui program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau dikenal dengan BIPA. Masalahnya, apakah bahasa yang tersebar di berbagai negara tersebut memang diberi nama bahasa Indonesia atau bahasa Melayu/Indonesia?
Sudah menjadi karakter orang Indonesia, terlalu cepat bangga, lalu tenggelam dalam nostalgia kebanggaan tersebut. Indonesia boleh berbangga bahasa Indonesia tersebar di puluhan negara melalui program BIPA. Namun, apakah Indonesia pernah mengupayakan bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi pada tingkat ASEAN? Bukankah Mendikbudristek baru sekarang menyatakan hasratnya untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ASEAN?
Harus diketahui, Malaysia sudah mengupayakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN sejak belasan tahun silam. Mereka melakukan sosialisasi melalui seminar-seminar ilmiah antarbangsa. Kegiatan ini seperti gayung bersambut dari negara Thailand. Sejak tahun 2012, Thailand menjadi tuan rumah untuk seminar internasional dengan tema Memartabatkan Bahasa Melayu di ASEAN.
Kegiatan yang dilaksanakan per dua tahun itu digagas oleh Fatoni University Thailand (UFT) yang didukung penuh oleh Pemerintah Malaysia dan kampus-kampus di sana. Narasumber yang dihadirkan sudah tentu dari negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia.
Dalam seminar internasional Memartabatkan Bahasa Melayu/Indonesia di ASEAN yang keempat (2018), salah seorang pembicara kuncinya seorang rektor dari salah satu perguruan tinggi di Indonesia. Kegiatan tersebut dibuka oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Malaysia.
Malaysia sudah mengupayakan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN sejak belasan tahun silam.
Hal tersebut memperlihatkan Malaysia sangat serius membawa bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN. Hanya saja, untuk memuluskan misi bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN, seminar antarbangsa tersebut dikemas pakai garis miring sehingga menjadi memartabatkan bahasa Melayu/Indonesia. Malaysia sangat sadar bahwa tanpa dukungan Indonesia, cita-cita bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN tidak akan terwujud.
Sejauh ini, Thailand, Brunei Darussalam, Singapura, dan Malaysia sudah satu misi menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi tingkat ASEAN meski belum ada dokumen hitam di atas putih. Keyakinan itu terlihat dari kegigihan Malaysia mengampanyekan bahasa Melayu sebagai bahasa ASEAN.
Dalam banyak kasus, muncul istilah bahasa Melayu Malaysia, bahasa Melayu Brunei (Darussalam), bahasa Melayu Singapura. Nyaris tidak pernah terdengar bahasa Indonesia Thailand, bahasa Indonesia Brunei, ataupun bahasa Indonesia Singapura.
Sampai pada penyebutan istilah ini, Indonesia sepertinya kalah selangkah dari Malaysia. Namun, sebagaimana Malaysia yang sangat sadar butuh dukungan Indonesia, bangsa Indonesia juga sangat yakin bahwa tanpa Indonesia, bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN tidak akan pernah wujud.
Sejarah lama
Cekcok perkara bahasa ini sebenarnya mengulang sejarah lama. Tahun 1959, Malaysia dan Indonesia pernah merencanakan pembentukan ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Melayu Indonesia). Namun, ejaan ini gagal diresmikan karena gaduh di antara kedua negara.
Presiden Soekarno mengeluarkan statement fenomenal ’Ganyang Malaysia’ dalam konfrontasi terhadap Malaysia yang terjadi kala itu. Konfrontasi dalam bidang politik ini berimbas pada pembatalan ejaan (bahasa) bersama.
Setelah gagal membuat ejaan bersama, Indonesia akhirnya membentuk Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), sedangkan Malaysia membentuk ejaan sendiri. Namun, heboh masalah bahasa kedua bangsa ini tidak padam begitu saja. Para ahli bahasa dari kedua negara saling klaim bahwa bahasa merekalah yang paling benar, paling tepat.
Tahun 1959, Malaysia dan Indonesia pernah merencanakan pembentukan ejaan bersama yang diberi nama Ejaan Melindo (Melayu Indonesia).
Setelah Orde Lama tumbang dan digantikan dengan Orde Baru, upaya mempersatukan bahasa Melayu Malaysia dengan bahasa Indonesia kembali dilakukan. Tahun 1972 sempat terbentuk Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia (MBIM). Lembaga yang bertujuan memantau perkembangan bahasa di kedua negara ini berubah menjadi MABBIM (Majelis Bahasa Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia). Perubahan nama karena bergabungnya Brunei Darussalam sebagai anggota majelis (4 November 1985).
Sebenarnya, majelis ini sudah sangat kokoh karena anggotanya adalah Dewan Bahasa dan Pustaka Brunei Darussalam, Pusat Bahasa (sekarang Badan Bahasa) Indonesia, serta Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia. Lembaga-lembaga pengurus kebahasaan di setiap negara ini sudah komitmen untuk memantau dan memajukan bahasa, tetapi lagi-lagi terbentur istilah. Apakah menggunakan istilah bahasa Melayu atau bahasa Indonesia atau Melayu/Indonesia?
Istilah bahasa Melayu garis miring Indonesia terus digunakan. Namun, Malaysia mulai mempertanyakan kamus yang digagas oleh Brunei Darussalam yang isinya terlalu dekat dengan bahasa Indonesia. Hanya saja, Brunei tetap memakai istilah bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia. Malaysia pun tetap menyatakan bahwa bahasa di Brunei Darussalam adalah bahasa Melayu.
Dalam perjalanannya, upaya memartabatkan bahasa Melayu di ASEAN semakin giat dilakukan oleh Malaysia dengan mencari dukungan Brunei, Thailand, dan Singapura. Sekali lagi, dukungan tersebut tidak akan ada arti manakala Indonesia tidak turut serta.
Baca juga: Saatnya ”Merakyatkan” ASEAN
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara besar yang menjadi penentu. Negara-negara anggota ASEAN lainnya cenderung mengikuti apa saja jika Indonesia dan Malaysia sudah seia-sekata. Akan tetapi, untuk persoalan bahasa, dua negara ini tidak pernah sekata. Karena terjebak dengan istilah (Melayu/Indonesia), penyatuan bahasa kedua negara ini sering tidak menemukan titik temu. Andai saja Malaysia dan Indonesia dapat bersatu, bersama memajukan rumpun ini dengan mencari istilah yang lebih baik—selain Melayu/Indonesia—tentu bukan hanya di tingkat ASEAN ’bahasa kita‘ dapat bermartabat, boleh jadi akan digunakan sebagai bahasa resmi di tingkat Asia.
Percaya atau tidak, bangsa-bangsa di Asia selalu gemetar jika Indonesia dan Malaysia bersatu. Hanya saja, kedua negara perlu memikirkan istilah yang dapat diterima oleh kedua negara, semisal bahasa Nusantara, budaya Nusantara, dan seterusnya. Barangkali, dengan tidak menggunakan istilah Melayu/Indonesia, kedua bangsa ini dapat bersatu dalam satu bingkai yang disebut Nusantara atau istilah lain.
Herman RN, Dosen Universitas Syiah Kuala; Ketua Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (Adobsi) Provinsi Aceh