Ekowisata menjadi tren model perjalanan liburan yang diminati. Indonesia menempati posisi kedua terkaya di dunia sebagai pemilik biodiversitas. Pengembangannya perlu menjadi skala prioritas nasional hingga lokal.
Oleh
JANIANTON DAMANIK
·5 menit baca
Ekowisata seakan jadi jawaban atas krisis pandemi dan iklim global. Ekowisata dirancang sebagai bentuk perjalanan spesial untuk menikmati alam yang asli, unik, ramah lingkungan. Pembatasan pergerakan secara spasial dan naiknya temperatur Bumi tak menyurutkan animo dan kebutuhan orang untuk terus bersua dan dekat dengan alam; sebaliknya justru meningkat.
Data dari berbagai sumber resmi menjadi bukti nyata. Perjalanan warga AS ke surga destinasi ekowisata Puerto Riko naik 234 persen per tahun. Jumlah ekowisatawan Eropa yang berburu destinasi karbon netral, Eslandia, naik 11 persen per tahun. Semester I-2021 rerata jumlah pengunjung destinasi ekowisata Amazon, Brasil, mencapai 2,5 juta per bulan. Ekowisata Galapagos, Ekuador, mencatat kunjungan 250.000-275.000 wisatawan per tahun selama kurun 2017-2018.
Destinasi ekowisata kita, Taman Nasional (TN) Komodo, menerima 221.000 wisatawan pada 2019 meski lalu anjlok menjadi hanya 51.000 tahun 2020 akibat pandemi Covid-19.
Tahun 2019 industri ekowisata di seluruh dunia diperkirakan menghasilkan devisa setara 181 miliar dollar AS. Angka ini ekuivalen dengan 11,3 persen dari total devisa semua sektor pariwisata tahun 2020. Dengan pertumbuhan sebesar 14,3 persen per tahun, devisa tersebut akan mencapai 333,8 miliar dollar AS pada 2027.
Di sinilah peluang besar terbuka bagi Indonesia.
Modal dasar
Fakta itu menegaskan ekowisata menjadi tren model perjalanan liburan yang diminati. Di sinilah peluang besar terbuka bagi Indonesia. Mengapa? Karakter pristin melekat pada sumber daya alam kita. Negeri ini menempati posisi kedua terkaya di dunia sebagai pemilik biodiversitas.
Tak kurang dari 60 persen terumbu karang di dunia ditemukan di sini. Bahkan 10 persen jenis tumbuhan, 12 persen spesies mamalia, 16 persen spesies reptil, dan 17 persen spesies unggas di planet Bumi ini memusat di wilayah Nusantara. Ribuan spesies ikan air tawar ikut menghiasi kekayaan alam negeri.
Keunikan, orisinalitas, dan sifat naturalnya menyatu menjadi atraksi yang sulit diabaikan wisatawan. Dalam jarak setiap 100 kilometer saja keunikan alam mudah ditemukan dan berjejer seakan mata rantai yang tak pernah putus. Lelah dari aktivitas di pegunungan, pantai dan marina siap menyambut dengan pemandangan bawah laut mengagumkan.
Semua aktivitas ekowisata favorit tersedia. Nias, Mentawai, dan Bali memiliki lokasi selancar terbaik di dunia. Predikat terbaik juga disematkan ke Sumba, Raja Ampat, dan TN Komodo sebagai lokasi snorkeling. Danau Beratan dan Kelimutu masih masuk dalam daftar favorit dalam situs-situs perjalanan daring ternama. Hutan kita bukan hanya luas, melainkan kaya akan jenis flora dan fauna yang bisa dikemas jadi ajang berbagai aktivitas ekowisata.
Mayoritas penikmat atraksi alam itu pemilik kantong tebal (high end-user) dari sejumlah negara. Bukan hanya dengan tarif mahal per hari, masa tinggal mereka juga lebih panjang daripada wisatawan biasa. Pengunjung Kepulauan Galapagos menghabiskan minimal lima hari untuk merasakan nikmat alam asli destinasi ekowisata itu. Tarif snorkeling di Raja Ampat dipatok oleh sebuah bisnis perjalanan daring tak kurang dari 1.890 dollar AS per orang selama tujuh hari.
Selera pasar
Pangsa pasar kalangan milenial dalam ekowisata semakin besar, menyalip generasi baby boomer. Karakter dan selera mereka unik, misalnya menikmati hal-hal baru atau berbeda untuk meraih pengalaman bermutu. Karena itu, mereka lebih suka bepergian ke destinasi alternatif dan masih ”asli”.
Alih-alih mengunjungi tempat-tempat wisata mapan, mereka lebih suka menemukan permata tersembunyi. Budaya lokal dan peluang untuk membuka persahabatan dengan warga setempat menjadi dambaan. Daripada resor mewah gemerlapan, lokasi yang masih alami dan menawarkan pengalaman baru dan berkualitas lebih menarik mereka.
Kalangan milenial global lebih memilih destinasi yang ramah lingkungan, terutama berbasis pantai. Majalah Fortune merilis data akhir tahun silam, 70 persen milenial lebih menyukai destinasi berlabel taman nasional pantai daripada gunung. Efeknya, industri akomodasi yang berada di destinasi seperti itu menjadi pilihan utama mereka.
Label ramah lingkungan dan konsumsi energi baru terbarukan dijadikan preferensi penting memilih destinasi.
Bagi ekowisatawan nonmilenial, kualitas lingkungan dan ketersediaan produk-produk hijau di destinasi menjadi idaman. Survei Amadeus, organisasi perjalanan raksasa global, menunjukkan kebutuhan ekowisatawan pada produk green economy ini. Label ramah lingkungan dan konsumsi energi baru terbarukan dijadikan preferensi penting memilih destinasi.
Akomodasi yang hemat energi dan sensitif terhadap pencemaran lingkungan menjadi favorit. Moda transportasi hijau, baik kereta api, mobil listrik, maupun sepeda, sangat diminati. Bukan itu saja. Mereka juga berburu aktivitas yang memberikan pengalaman di alam bebas. Naik gunung, penjelajahan hutan, selancar, selam, hingga kegiatan volunter adalah beberapa di antara aktivitas ekowisata yang masuk dalam agenda utama.
Target jangka pendek adalah membangun proyek destinasi ekowisata yang berdaya saing kelas wahid. Mungkin tidak perlu di setiap pulau. Ambil saja empat atau lima dari 50 taman nasional kita sebagai lokus proyek. Pastikan semuanya wajib memenuhi standar internasional, bahkan ditargetkan menjadi kampiun ekowisata global dalam jangka waktu yang pasti.
Target itu bukan sekadar ilusi, karena faktanya atraksi ekowisata memang unik. Animo pasar global pada destinasi yang unik terus meningkat. Peluang menjadi destinasi ekowisata kelas atas lebih logis daripada berjibaku mengejar posisi sebagai destinasi wisata massal.
Kita tak perlu mengekor pada kisah sukses destinasi mapan di negara maju. Ekosistem pariwisata mereka sudah mapan sejak setengah abad silam. Jauh lebih penting adalah mendongkrak daya saing Indonesia lewat ekowisata karena potensi keunggulannya memang di sana.
Agar lebih realistis, tentu upaya pembenahan sejumlah hal perlu segera dilakukan. Fokusnya perbaikan kualitas lingkungan di semua bidang. Terlepas dari pengakuan jujur atas aset besar tadi, citra Indonesia sebagai destinasi ekowisata belum kuat. Persepsi pasar masih buram oleh gambaran deforestasi akut, pencemaran lingkungan, infrastruktur ala kadarnya. Citra ini harus dipulihkan melalui proyek ekowisata.
Sejalan dengan itu, reduksi pencemaran lingkungan menjadi mutlak. Ini tidak hanya berlaku di destinasi ekowisata, tetapi juga di seluruh negeri. Neraca lingkungan yang sehat dan hijau harus menjadi identitas setiap kabupaten/kota. Taman kota atau ruang terbuka hijau diperluas. Jadikan perluasan areal itu salah satu parameter kemajuan kota, bukan dengan penggandaan mal-mal.
Dengan ekowisata kita merawat alam, menyehatkan rasa dan raga, pun memastikan penghidupan berdurasi panjang.
Selain itu, fungsi hutan juga diperluas sebagai wahana kesehatan. Wisata kebugaran (wellness tourism) berbasis hutan dapat dikembangkan. Para ahli sudah lama memberikan sinyal tentang kandungan zat penyembuh penyakit tertentu pada hutan tropis. Segambar dengan itu, saat ini terapi kesehatan melalui aktivitas forest bathing makin populer di kalangan ekowisatawan.
Dengan ekowisata kita merawat alam, menyehatkan rasa dan raga, pun memastikan penghidupan berdurasi panjang. Karena itu, pengembangannya perlu ditempatkan dalam skala prioritas nasional hingga lokal. Jika tidak, kita membiarkan peluang terbuang sia-sia.
Janianton Damanik,Guru Besar Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dan Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM