Flexing alias pamer kekayaan menjadi fenomena baru sejak era sosial media. Perilaku flexing tidak sekadar pamer kekayaan dan kemewahan tetapi pamer eksistensi diri.
Oleh
UMAR SHOLAHUDIN
·5 menit baca
Globalisasi dan modernisasi yang membawa ideologi kapitalisme dalam perkembangannya telah melahirkan masyarakat baru yang elitis dan eksklusif. Salah satunya adalah muncul orang kaya baru atau dalam pemikir postmodern, Baudrillard ((1970) sebagai masyarakat konsumsi.
Bagi Baudrillard, konsumsi bukan sekadar nafsu untuk mengonsumsi atau membeli begitu banyak komoditas, barang atau jasa, suatu fungsi kenikmatan materi, satu fungsi untuk memuaskan hasrat individual, pembebasan kebutuhan, pemuasaan diri, kekayaan atau konsumsi suatu obyek. Tetapi, konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan pada satu “panoply” obyek atau sistem, atau kode, tanda, “satu tatananan manipulasi tanda”; manipulasi obyek sebagai suatu tanda; satu sistem komunikasi (seperti bahasa), satu sistem pertukaran, satu moralitas, yakni satu sistem pertukaran idiologis; produksi perbedaan; menciptakan isolasi dan mengindividu (Ritzer, dalam Baurdrillard, 2013: :xxxiv).
Tak sekadar orang kaya baru, tetapi orang kaya yang suka pamer kekayaannya atau yang sering disebut sebagai flexing. Perilaku flexing yang semakin menjamur dan over di kalangan crazy rich Indonesia, ketika didukung dengan instrumen teknologi. Para crazy rich memanfaatkan kanal-kanal virtual agar semakin viral dan heboh. Secara psikologs, mungkin ada kepuasaan tersendiri bagi mereka yang suka pamer (kekayaan) di depan publik dan untuk menunjukkan eksistensi dan citra dirinya bahwa dirinya adalah orang kaya.
Dalam konteks ini, penulis ingin menyorot perilaku flexing dari para crazy rich tersebut. Beberapa deratan nama crazy rich usia muda yang menghebohkan jagad dunia maya dan nyata. Ada nama Raffi Ahmad yang terkena dengan “Sultan Andara”. Ada Andre Taulany dengan sebutan “Sultan bintaro“. Ada youtuber Atta Halilitar. Nama-nama yang belakangan viral, antara lain Gilang Widya Pramana (Juragan 99), sukses membangun gurita bisnis di berbagai sektor dan konon memiliki jet pribadi; Maharani Kemala dengan bisnis MS Glownya; Rudi Salim Rudi Salim, pengusaha muda yang sukses diberbagai bidang, yang bermitra dengan Raffi Ahmad; Ahmad Sahroni, pengusaha dan sekaligus anggota DPR; Indra Kesuma atau yang dikenal sebagai Indra kenz, sosok pria tampan, muda, dan kaya raya.
Meski baru berusia 25 tahun, Indra Kentz telah meraih kesuksesan dan kekayaan berkat profesinya sebagai pengusaha sekaligus youtuber. Pada akun media sosialnya, Indra kerap membagikan potretnya dengan deretan mobil mewahnya. Hal itulah, yang membuat namanya populer sebagai crazy rich asal Medan, dan Doni Salmanan sebagai crazy rich asal Bandung yang kini memiliki penghasilan hingga miliaran rupiah.
Perilaku "flexing"
Flexing alias pamer kekayaan di antara crazy rich tengah menjadi fenomena baru sejak era sosial media. Mulai dari pamer rumah mewah, mobil sport, hingga menghamburkan segepok dollar, konten seputar pamer kekayaan hampir selalu menyedot perhatian banyak warganet.
Tahun-tahun sebelumnya kita pernah dipertontonkan para selebriti papan atas Indonesia pamer kekayaannya yang disiarkakan acara infrotainment, mulai dari saling pamer isi ATM di beberapa bank yang mencapai ratusan hingga milyaran, rumah super mewah dengan berbagai aksesorisnya, liburannya ke LN yang membawa rombongan dengan menghabiskan puluhan milyar dalam waktu yang relatif singkat, koleksi barang-barang mewah, termasuk motor dan mobil super car.
Belanja bulanan para crazy rich dapat ditaksir ratusan hingga milyaran rupiah. Semua aktivitas mereka dipamerkan lewat dunia maya dan nyata. Perilaku flexing para crazy rich di atas mengundang kehebohan jagat modernitas Indonesia. Kehebohan tersebut mewujud dalam hipperealitas masyarakat modern. Perilaku flexing, tidak sekadar pamer kekayaan dan kemewahan tetapi pamer eksistensi diri; gaya hidup untuk mendapatkan nilai gensi sosial dan pencitraan.
Perilaku flexing para crazy rich di atas mengundang kehebohan jagat modernitas Indonesia. Kehebohan tersebut mewujud dalam hipperealitas masyarakat modern.
Kegilaan atas modernitas
Dalam konteks modernitas, flexing kaum crazy rich dengan berbagai aksesoris (komoditas) kultural dan kebendaannya sebagai wujud dan produk modernitas, yang menurut pemikir sosiologi klasik (Karl Marx, Max Weber, Emile Durkheim, dan G Simmel) memang telah membawa "keberkahan", tetapi keberkahan semu. Dalam pandangan teori kritis (J Habermus dan A Gidden), manusia modern yang rasional tepenjera oleh hegemoni dan proyek kultural yang (sebenarnya) menjerumuskan manusia pada titik nadir kemanusiaannya (baca: nalar kritisnya menjadi tumpul).
Paradoksnya; kegilaan atas modernitas yang sedang ditunjukkan secara ekspresif oleh para crazy rich Indonesia dilakukan di tengah problem sosial-ekonomi masyarakat yang terus mendera. Kita menyaksikan puluhan juta rakyat hidup dengan penjara kemiskinan, jutaan anak-anak dipaksa mengais sesuap nasi di tengah jalan yang sarat ancaman fisik dan psikis, jutaan orang busung lapar (ketika mereka serakah menjajakan makanan dan barang hanya sekadar pajangan kemewahan), ada ribuan orang antre di berbagai daerah hanya untuk mendapatkan minyak goreng, bahkan ada dari mereka yang pingsan dan memakan korban dan problem sosial-ekonomi lainnya. Ini adalah satu fenomena yang paradoks sekaligus ironi.
Modernisme telah menghancurkan hakikat kemanusiaan. Semua itu tersemangat oleh prinsip dan semangat kapitalisme; The greed is good. Nilai manusia tereduksi oleh aksesoris kebendaaan dan tak lebih dari "komoditas" para cukong kapitalis. Inilah cara membunuh kaum kapitalis; pelan tapi langsung menusuk jantung rasionalitas manusia, sehingga manusia "tak sadar", dan justru mereka hidup dalam penjara kesadaran palsu yang meninabobokan.
Dalam pandangan kaum modernisme, globalisasi dan modernisasi akan melahirkan homogenisasi kultural (penyeragaman budaya). Masyarakat modern lebih “menghamba” pada rasionalitas, karena penghambaannya itu, menjadi manusia tersandera dengan rasionalitas tersebut sehingga mereka gagal untuk memahami “praktik rasionaliasi” yang menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan (dehumanisasi).
Masyarakat modern lebih “menghamba” pada rasionalitas, karena penghambaannya itu, menjadi manusia tersandera dengan rasionalitas tersebut.
Dalam pandangan Gidden (2009), modernitas disebutnya sebagai Juggernaut, sebuah “pancer raksasa” yang menggilas masyarakat modern yang mengalami ultrarasionalitas. Sehingga menjadikan rasionalitas manusia modern semakin tidak terkendali, dunia modern semakin tak terkendali (runway of the world).
Masyarakat modern dikendalikan oleh industri budaya yang melenakan. Nilai barang dan jasa tidak dilihat dari fungsionalitasnya, tetapi dilihat dari nilai gensinya dan citra. Orang-orang modern ramai-ramai memborong barang dan jasa hanya untuk menunjukkan “status dirinya” adalah dirinya orang kaya, high class, dan prestice. Nilai-nilai fungsi dari barang dan jasa tersebut berubah menjadi nilai-nilai yang bersifat artifisial dan semu. Gilanya lagi, mereka sangat menikmati “kegilaan” tersebut. Mereka begitu ekspresif ketika menceritakan “kegilaan akan modernitas” kepada khalayak umum yang diviralkan melalui kanal-kanal virtual.
Karena itu, wajar jika Gidden menyatakan modernitas telah melahirkan masyarakat berisiko; kehidupan yang penuh risiko. Formasi-formasi sosial yang mapan, telah tergantikan dengan formasi-formasi virtual individual yang sempit. Dan formasi-formasi sosial individualistik tersebut dapat dijalankan dengan cara-cara yang paling efisien melalui penggunaan alat teknologi. Pendek kata, modernitas yang ditandai dengan lahirnya industri kultural yang telah “mengalienasi” individu dari kehidupan sosialnya yang riil.
Umar Sholahudin, Dosen dan Doktor Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya