Infrastruktur sebagai Fondasi dan Investasi Peradaban
Pembangunan infrastruktur merupakan fondasi peradaban yang mungkin tidak dirasakan langsung oleh generasi saat ini. Anak-anak muda dan generasi mendatang yang kelak akan mewarisi dan menikmati manfaatnya.
Ungkapan nyinyir setiap kali Presiden Jokowi meresmikan infrastruktur seperti jalan tol, bandara, atau bendungan kerap kita dengar. Seperti ungkapan rakyat butuh makan malah diberi jalan tol, memangnya rakyat bisa makan aspal, bisa makan beton, bisa makan semen?
Baiklah, mari kita flashback sejenak. Begitu terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, Jokowi merealisasikan janjinya untuk membangun mass rapid transit (MRT) Jakarta. Proyek yang direncanakan sejak masa Orde Baru itu sebelumnya gagal dilakukan akibat terjangan krisis moneter pada 1997-1998.
Setelah perekonomian membaik, ide MRT Jakarta dihidupkan kembali. Meskipun pemerintahan berganti-ganti, rencana itu hanya sebatas kajian dan desain. Saat debat calon gubernur, Jokowi menyindir bahwa bertahun-tahun lamanya MRT berhenti sebatas terpampang pada baliho.
Baca juga: Sistem Transportasi untuk Jakarta
Tak ingin berlama-lama, Jokowi memutuskan pembangunan fisik MRT dimulai. Akhirnya kini masyarakat Ibu Kota bisa menikmati transportasi metro kelas dunia, menyejajarkan Jakarta dengan kota-kota besar di negara maju. Untuk pertama kalinya kereta bawah tanah hadir di Indonesia.
Pembangunan MRT fase 1 (Blok M-Bundaran HI) memerlukan waktu hingga enam tahun. Menyadari bahwa kemacetan Ibu Kota harus diatasi dalam jangka pendek, Jokowi mengambil jurus pembenahan moda transportasi publik yang sudah ada, yaitu bus rapid transit (BRT) Transjakarta.
Warisan dari masa Sutiyoso itu telah menjadikan Indonesia sebagai pengelola BRT pertama di sebagian wilayah Asia. Namun, macet masih menghantui Jakarta mengingat masyarakat banyak yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi, baik mobil maupun sepeda motor.
Warisan dari masa Sutiyoso itu telah menjadikan Indonesia sebagai pengelola BRT pertama di sebagian wilayah Asia.
Jokowi menyiasati masalah itu dengan memperbanyak jumlah armada bus Transjakarta. Gebrakan yang memastikan wajah modern Jakarta ketika bus-bus Kopaja dan metromini diintegrasikan ke dalam Transjakarta. Dari sebelumnya bobrok dan ugal-ugalan, diubah menjadi bus AC yang nyaman.
Hasilnya, layanan transportasi publik di Jakarta makin membaik. Masyarakat makin banyak yang beralih dari kendaraan pribadi, ditandai dengan meningkatnya jumlah penumpang Transjakarta. Dengan dukungan subsidi yang besar, Jakarta memiliki BRT yang paling baik dibandingkan kota-kota lain.
Selain kemacetan, masalah lain yang membelit Jakarta adalah banjir yang kerap melanda. Bahkan, dalam 100 hari pertama menjabat gubernur, terjadi banjir besar akibat jebolnya tanggul kali di pusat Jakarta. Tidak hanya menggenangi jalan dan permukiman, Istana Negara bahkan sempat terendam.
Jokowi mendesak pemerintah pusat melakukan normalisasi sungai-sungai yang membelah Ibu Kota. Jokowi juga mengusulkan pembangunan waduk di daerah hulu, yaitu Ciawi dan Cimanggis. Pemerintah pusat memutuskan membuat sodetan dari Kali Ciliwung menuju kanal banjir timur (BKT).
Pusat dan daerah berbagi tugas, di mana DKI Jakarta harus membebaskan lahan yang banyak dikuasai warga. Dengan pengalaman saat menjabat Wali Kota Solo, Jokowi memilih jalan dialog agar masyarakat mau pindah. Pemerintah menyiapkan rumah susun sebagai tempat penggantinya.
Keberhasilan lain Jokowi adalah menata kawasan Waduk Pluit untuk pengendalian banjir. Tidak hanya mengeruk sedimen, Jokowi juga menata taman yang bisa menjadi tempat rekreasi warga. Korban penggusuran sempat protes, tetapi Jokowi kembali berdialog, difasilitasi Komnas HAM.
Baca juga: Hujan, Banjir, dan Distorsi Teologi
Menjadi presiden
Ketika maju dalam Pilpres 2014, Jokowi berkelakar bahwa macet dan banjir di Jakarta akan lebih mudah diatasi apabila dirinya terpilih sebagai presiden. Bukan sekadar guyonan, karena dengan itu Jokowi memiliki kewenangan yang lebih besar, mengingat Jakarta terkait erat dengan daerah penyangga.
Setelah memulai pembangunan MRT, Jokowi melanjutkan dengan transportasi berbasis rel lainnya, yaitu ligt rail train (LRT). Tidak hanya di Jabodetabek, tetapi juga dibangun di Palembang. Sementara LRT Palembang sudah beroperasi, di Jakarta baru akan mulai pada Agustus 2022.
Konektivitas antar-wilayah
Di tangan pemerintahan Jokowi pula pembangunan Jalan Tol Trans-Jawa sepanjang 1.167 kilometer tuntas dikerjakan. Dimulai sejak 1978, kemajuannya berjalan sangat lambat. Kini dari Merak hingga Surabaya telah sepenuhnya tersambung, bahkan terus dilanjutkan dengan ruas-ruas yang lain.
Tidak hanya di Pulau Jawa, jalan tol juga dibangun di Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pembangunan memang tidak boleh hanya terpusat di Jawa, tetapi harus dinikmati oleh rakyat di semua daerah. Gagasan Indonesia-sentris yang dicanangkan Jokowi menemukan momentumnya.
Di Sulawesi Selatan, misalnya, dibangun rel kereta api yang menghubungkan Makassar dengan Parepare. Jokowi juga mereaktivasi rel-rel kereta api yang sudah lama tidak beroperasi, seperti di Aceh dan Jawa Barat (Cibatu-Garut).
Pembangunan memang tidak boleh hanya terpusat di Jawa, tetapi harus dinikmati oleh rakyat di semua daerah.
Pulau Jawa sebagai urat nadi perekonomian juga digencarkan pembangunannya. Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menuntaskan jalur ganda pantura, Jokowi melanjutkan pengerjaan double-double track (DDT) untuk lalu lintas kereta api dari Cirebon hingga Surabaya melalui jalur selatan.
Termasuk di Jakarta, pengembangan Manggarai sebagai stasiun sentral terus dikerjakan. Selain menjadi tujuan kereta api jarak jauh, Stasiun Manggarai juga melayani kereta api komuter dan kereta bandara. Stasiun-stasiun kereta api dibenahi dan dibangun dengan gaya yang lebih modern.
Jokowi mendukung penuh transformasi kereta api yang diinisiasi Ignasius Jonan. Kini perjalanan naik kereta api terasa begitu nyaman, tidak kalah dengan di luar negeri. Masa lalu kereta yang berjubel, gerbong yang kotor, dan asap rokok sudah tinggal sejarah.
Baca juga: Ikhtiar Perkokoh Persatuan dengan Konektivitas
Tak hanya transportasi darat, Jokowi juga membenahi pelabuhan dan bandara. Jaringan ”tol laut” berhasil menurunkan harga barang dan meningkatkan distribusi antar-pulau. Untuk memperlancar ekspor-impor, kini waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan bisa ditekan sesingkat mungkin.
Bandara-bandara baru dibangun untuk meningkatkan konektivitas antar-wilayah. Masyarakat kini mendapatkan banyak opsi untuk mobilitas, apakah mau lewat jalan tol, kereta api, pesawat terbang, ataupun kapal laut dan penyeberangan.
Karena rakyat tidak hanya perlu ”makan aspal”, pembangunan di sektor pertanian juga digenjot dengan infrastruktur pendukung. Bendungan dan embung dibangun di daerah-daerah, selain untuk irigasi pertanian juga menjadi sumber air minum, pembangkit listrik, dan pengendali banjir.
Pada pidato hari ulang tahun ketujuh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Jokowi memamerkan capaian pembangunan infrastruktur. Bukan hanya yang besar-besar, pemerintah juga membangun infrastruktur yang kecil-kecil untuk menopang aktivitas ekonomi hingga ke tingkat perdesaan
Total 227.000 km jalan desa yang dibangun, 4.500 unit embung, 71.000 unit irigasi, 1,3 juta jembatan, 10.300 pasar desa, 57.200 BUMDES, 6.100 tambat perahu, dan 62.500 penahan tanah. Selain itu 1,2 juta km saluran air, 59.200 sumur, 38 juta meter drainase, dan 339.000 sarana MCK.
Berbagai infrastruktur untuk peningkatan kualitas hidup (pendidikan dan kesehatan) juga dikerjakan, seperti 38.600 unit posyandu, 12.000 unit polindes, 56.200 unit PAUD, dan 22.700 unit fasilitas olahraga. Jokowi mengakui masih kurang, mengingat ada lebih dari 70.000 desa di Indonesia.
Bagi Jokowi, infrastruktur merupakan upaya membangun peradaban dan kesejahteraan.
Bagi Jokowi, infrastruktur merupakan upaya membangun peradaban dan kesejahteraan. Tanpa jalan, barang-barang tidak dapat didistribusikan. Selain itu, infrastruktur dapat meningkatkan pertumbuhan baru, menyiapkan daya saing, dan yang terpenting membuka lapangan kerja seluas-luasnya.
Hasilnya, indeks kinerja logistik (LPI) Indonesia meningkat dari 3,01 (2007) menjadi 3,15 (2018), di tengah turunnya LPI negara-negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina. Indeks daya saing Indonesia bertahan pada peringkat ke-34-38 setelah 54-55 pada 2007-20010.
Tentu saja, tidak berarti semua masalah infrastruktur berhasil diselesaikan. Banjir masih terus terjadi, tetapi titiknya semakin berkurang dan makin cepat surut. Ancaman lain membayangi, yakni tenggelamnya kota-kota pesisir karena penurunan muka tanah dan kenaikan air laut.
Baca juga: Rekalibrasi Pembangunan Infrastruktur di Masa Pandemi
Sejumlah proyek transportasi masih mengalami kendala, seperti kereta cepat Jakarta-Bandung yang terus menjadi sorotan. Namun, pemerintah telah memastikan bahwa proyek kereta cepat ini akan selesai dan beroperasi pada Juni 2023. Begitu pula dengan sejumlah bandara yang sepi, terutama Kertajati, mengingat belum selesainya pembangunan Tol Cisumdawu sebagai jalur konektivitas.
Namun, seperti ditegaskan Jokowi, membangun infrastruktur merupakan fondasi peradaban yang mungkin tidak dirasakan langsung oleh generasi saat ini. Anak-anak muda dan generasi mendatang yang kelak akan mewarisi dan menikmati manfaatnya.
Endang Tirtana, Peneliti Senior Maarif Institute Jakarta