Pawang Hujan, Keadilan Epistemik, dan Dekolonisasi
Praktik sosial menahan hujan adalah bagian dari upaya saudara-saudara kita melawan penjajahan (dekolonisasi) pengetahuan yang selama ini kerap menyingkirkan kearifan lokal sebagaimana disampaikan sejarawan Kuntowijoyo.
-
Hingga saat ini, masih saja ramai diperbincangkan di media sosial fenomena pawang hujan di Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Fenomena ini bahkan telah sedikit banyak menjadi perbincangan internasional. Hal ini pun menimbulkan polemik di masyarakat kita, mulai dari agamawan, ilmuwan, hingga masyarakat awam.
Ada yang mencaci, mengatakan praktik sosial semacam itu menunjukkan irasionalitas bangsa Indonesia yang tak pernah bisa maju karena masih berkutat dengan mistisisme. Tak sedikit pula yang memaklumi bahwa praktik itu merupakan ajang unjuk budaya, kearifan lokal, yang tidak ada kaitannya dengan maju mundurnya peradaban suatu bangsa.
Keadilan epistemik
Saya mengajak kita semua melihat persoalan ini dari sisi keadilan epistemik (epistemic justice) sehingga kita bisa memahami secara mendalam fenomena pawang hujan ini. Menurut Miranda Fricker, pencetus teori keadilan epistemik, pengetahuan sering kali dianggap tidak memiliki kredibilitas karena pengetahuan itu disampaikan oleh pihak yang dianggap tidak kredibel. Ketidakkredibelan ini dibentuk oleh prasangka (prejudice) sosial.
Saya mengajak kita semua melihat persoalan ini dari sisi keadilan epistemik ( epistemic justice) sehingga kita bisa memahami secara mendalam fenomena pawang hujan ini.
Di Amerika Serikat, sebagai contoh, informasi yang disampaikan oleh orang kulit hitam sering kali dianggap tidak kredibel oleh polisi. Bukan karena informasi itu benar atau salah, melainkan karena prasangka sosial yang selama ini terbangun di masyarakat Amerika bahwa orang kulit hitam sering kali berbohong. Tentu saja kenyataannya tidak demikian.
Ada banyak sekali orang kulit hitam yang jujur dan ada pula orang kulit putih yang suka berbohong. Namun, karena prasangka sosial yang digaungkan oleh mayoritas masyarakat Amerika yang kebanyakan kulit putih, mayoritas inilah yang memenangi wacana sosial sehingga berkembangbiaklah ketidakadilan epistemik yang memandang bahwa informasi yang disampaikan orang kulit hitam tidak kredibel.
Hal serupa terjadi di Indonesia. Praktik sosial menghentikan hujan yang diperagakan oleh pawang sering kali dianggap tidak ilmiah karena ada prasangka sosial bahwa mereka ini menggunakan pendekatan non-saintifik, tidak ilmiah, alias irasional. Oleh kalangan mayoritas yang melabeli dirinya modern dan rasional, praktik sosial ini dianggap primitif dan terbelakang, sehingga berkembanglah anggapan bahwa pawang tidak memiliki kemampuan menghentikan hujan.
Kenyataannya, praktik sains, melalui Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), misalnya, atau Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), juga tidak selalu berhasil menangkal hujan, sebagaimana diakui oleh BMKG beberapa waktu lalu selepas acara balapan Mandalika.
Peristiwa semacam ini tentu saja menggelitik kita. Di era keberagaman dan keterbukaan sekarang ini, seharusnya kita bisa lebih arif melihat beragam cara saudara-saudara kita merayakan praktik sosialnya, termasuk menangkal hujan.
Dekolonisasi
Praktik sosial menahan hujan, secara khusus, merupakan ekspresi budaya yang sudah turun-temurun ada di masyarakat kita. Jika ada saudara kita yang melakukan praktik demikian, seyogianya diapresiasi ketimbang dimaki-maki.
Lebih jauh, saya melihat praktik sosial ini adalah bagian dari upaya saudara-saudara kita melawan penjajahan (dekolonisasi) pengetahuan yang selama ini kerap menyingkirkan kearifan lokal, sebagaimana pernah disampaikan sejarawan Kuntowijoyo.
Proses dekolonisasi semacam ini sudah terjadi di banyak tempat dan negara.
Proses dekolonisasi semacam ini sudah terjadi di banyak tempat dan negara. Di Brasil, misalnya, para intelektual dan aktivis akar rumput mulai menggemakan perlunya menghidupkan kembali perangkat pengetahuan lokal dalam mengantisipasi persoalan-persoalan sosial dan lingkungan kontemporer di mana Francisco Chico Xavier bertindak sebagai salah satu auktor intelektualisnya. Mistisisme dan spiritualisme lokal telah diajarkan dan didiskusikan di ruang-ruang publik di sana dan menarik banyak pendukung.
Di Amerika Serikat, kaum intelektual dan aktivis akar rumput yang progresif mulai mengapresiasi dan mengajarkan spiritualitas lokal di kelas-kelas kampus, baik yang sekuler maupun agama. Di Universitas Washington, Seattle, misalnya, saya menyaksikan sesi kuliah yang mengajarkan mahasiswa spiritualitas lokal ini.
Di Universitas Gonzaga, tempat saya menempuh program postdoctoral, spiritualitas lokal ini digunakan untuk memahami perubahan sosial lingkungan yang ada di sekeliling kita. Bahkan spiritualitas lokal ini dijadikan rujukan penting untuk mengatasi efek perubahan sosial dan lingkungan yang ada, seperti perubahan iklim.
Mereka dengan penuh semangat menjelaskan bagaimana dunia sosial kita ini selalu berjalin berkelindan dengan dunia spiritual yang tak tampak oleh mata kita.
Saya sendiri sering mengundang sarjana pribumi Amerika (indigenous scholar) untuk mengisi sesi kuliah spiritualitas ekologi (eco-spirituality) di kelas saya. Mereka dengan penuh semangat menjelaskan bagaimana dunia sosial kita ini selalu berjalin berkelindan dengan dunia spiritual yang tak tampak oleh mata kita. Dan, pandangan ini sudah diterima baik oleh kalangan ilmuwan terpelajar di kampus-kampus Amerika. Buku-buku sarjana pribumi Amerika ini bahkan dijadikan bahan ajar di banyak kampus itu.
Bahkan spiritualitas lokal ini dijadikan rujukan penting untuk mengatasi efek perubahan sosial dan lingkungan yang ada, seperti perubahan iklim.
Saya melihat dekolonisasi ini adalah pintu masuk menuju keadilan epistemik, bukan karena ia ingin menghancurkan bangunan sains—kita tentu saja perlu berterima kasih pada sains yang telah memandu kehidupan kita selama ini melalui perkembangan ilmu dan teknologi yang memudahkan dan memperbaiki taraf kehidupan kita—melainkan untuk memberikan ruang-ruang sosial-akademik agar pengetahuan lokal ataupun spiritualitas lokal ini juga bisa eksis di samping sains dalam mewarnai peradaban umat manusia saat ini.
Sebagai penutup, mari kita melihat fenomena pawang hujan ini tanpa prasangka sosial, sebagaimana disarankan oleh Fricker. Baik sains maupun mistisisme akan terus ada, terus menjalankan praktik-praktik sosialnya dan sering kali berjalan beriringan.
-
Dua perspektif tersebut sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan, tergantung dari mana kita melihatnya. Oleh karena itu, peristiwa hadirnya pawang hujan dan BRIN dan TMC-nya perlu dilihat sebagai upaya kolaborasi permulaan dalam rangka mewujudkan keadilan epistemik.
Menariknya, upaya ini telah dimulai di Indonesia.
Ulil Amri Tamu Pengajar Postdoctoral dan Pengampu Mata Kuliah Eco-spirituality dan Environmental Justice di Gonzaga University, AS