Pawang hujan merupakan realitas sosial yang tidak bisa kita nilai sebagai kelompok primitif. Dunia pawang hujan adalah dunia subyektif, yang juga memiliki aturan dan perhitungan.
Oleh
ABDUS SAIR
·5 menit baca
Penyelenggaraan balap motor kelas dunia atau yang dikenal dengan Grand Prix Sepeda Motor, MotoGP, di Sirkuit Internasional Jalan Raya Pertamina Mandalika, Lombok, Nusa Tenggara Barat, pada 18-20 Maret 2022 sukses diselenggarakan. Event tersebut selain berhasil menggaungkan kembali nama Indonesia di panggung global, juga sebuah pembuktian bahwa Indonesia adalah tuan rumah yang baik.
Selain itu, pergelaran MotoGP juga telah sukses menghadirkan banyak orang. Penonton MotoGP dilaporkan tembus 102.801 orang, hari pertama 9.857 orang, hari kedua 30.021 orang, dan hari ketiga 62.923 orang. Belum lagi penduduk lokal yang turut membanjiri perhelatan MotoGP tersebut. Meski tak memiliki tiket, mereka tetap antusias menonton dari beberapa bukit, salah satunya adalah bukit rangkap, yang berada di sebelah utara Sirkuit Mandalika.
Para elite pemerintahan juga tidak kalah antusiasnya, mereka berbondong-bondong nonton, mulai Presiden Jowo Widodo, para menteri, hingga para gubernur, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Ditambah lagi media nasional dan asing yang meliput gelaran ini, seperti kantor berita Reuters, Agence France-Presse (AFP), dan Associated Press (AP). Mereka menulis headline yang kurang lebih sama, ”Grand Prix Kembali ke Indonesia Setelah 25 Tahun Absen”.
Namun, dari sekian banyak antusiasme itu, yang paling banyak menyita perhatian adalah kehadiran pawang hujan. Adalah Rara Isti Wulandari, seorang pawang hujan populis yang sengaja dilibatkan dalam gelaran tersebut dengan bayaran hingga ratusan juta rupiah. Kehadiran pawang hujan tersebut menambah semarak perbincangan MotoGP. Mulai masyarakat umum, media nasional, hingga media internasional. Ada yang memujinya, ada pula yang mencibirnya.
Mereka yang memuji menilai pawang hujan adalah kearifan lokal yang harus dihormati. Sementara mereka yang mencibir menyebut itu cara paling primitif yang bertolak belakang dengan event MotoGP sebagai ajang internasional yang aspek-aspeknya modern, rasional, bahkan super rasional. Pandangan ini kemudian menyebut pawang hujan adalah pertunjukan primitivisme sekaligus penumpang gelap dalam masyarakat modern MotoGP.
Realitas pawang hujan
Lepas dari pandangan di atas, pawang hujan merupakan fenomena sosial yang sebetulnya bukan sesuatu yang baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pawang hujan adalah profesi kultural yang menjadi bagian dari tradisi orang Indonesia. Mereka disebut ”orang pintar” karena dianggap memiliki kekuatan magis. Kekuatannya tersebut digunakan untuk mengendalikan hujan atau cuaca. Umumnya ia mengendalikan cuaca dengan memindahkan awan.
Sebagai ”orang pintar”, pawang hujan agak sulit dinafikan dalam struktur masyarakat Indonesia. Ini karena selain dianggap memiliki daya mistis dan magis, menyandang pancaran misteri dan pengetahuan, mendengar suara ilahiyah atau mendengar suara dalam keheningan, juga karena pawang hujan dianggap bisa memberi petunjuk kehidupan, membuat perhitungan, membaca kejadian alam, serta bisa menjadi perantara antara masyarakat (yang percaya) dengan alam arwah, leluhur atau makhluk yang mungkin tidak disebut dengan ”Tuhan”.
Hanya orang–orang tertentu yang memiliki pengetahuan dan terpilih duduk di jabatan kultural tersebut.
Profesi pawang hujan juga tidak bisa dimiliki oleh sembarang orang. Hanya orang–orang tertentu yang memiliki pengetahuan dan terpilih duduk di jabatan kultural tersebut. Ini karena ilmu mereka dipandang didapatkan bukan dengan cara biasa, melainkan dengan cara-cara senyap dan bahaya. Disebut demikian karena mareka mendapatkan ilmu itu dengan cara laku tapa (asketisisme), seperti berpuasa, beribadah, tidak melakukan hubungan seksual (pantangan), meditasi, bangun sepanjang malam, menyepi di gunung (goa), hingga berjaga di kuburan orang sakti.
Tahap untuk mendapatkan ilmu pawang hujan tidak bisa dengan cara instan. Meminjam istilah Niels Mulder (1999) dalam tulisannya ”Mysticism in Java: Ideology in Indonesia”, tahap untuk mencapai ilmu tertinggi pawang hujan bisa jadi melalui empat tahapan seperti istilah yang selama ini kita kenal, seperti tahap syariat, tahap tarekat, tahap hakikat, dan tahap terkakhir makripat.
Agama pawang hujan juga bukan agama yang selama ini dikategorisasikan sebagai kelompok abangan atau kejawen karena singkretis, tetapi juga bisa beragama Islam. Sebagaimana ditulis oleh Paul Dillon (2002) dalam artikel pendeknya ”A Tight Rein On The Rain”, seorang pawang hujan di Jakarta bernama Pak Erry justru beragama Islam taat, lulusan pesantren di Jawa Timur, sebagai pengkhotbah, dan sering memberi nasihat pernikahan.
Oleh karena itu, orang yang memiliki kemampuan seperti pawang hujan adalah orang pilihan karena mereka telah siap memilih jalan hidup seperti itu. Jumlah mereka mungkin sangat terbatas. Namun, kata Robert Wessing (2006) dalam ”A Community Of Spirits: People, Ancestors, And Nature Spirits In Java”, orang yang memiliki kemampuan tertentu (magis) ada di setiap desa. Jika dalam satu desa ada satu saja pawang hujan, setidaknya jumlah pawang hujan sebanding dengan jumlah desa di Indonesia. Hanya saja tidak semua pawang hujan memiliki popularitas sama seperti Mbak Rara.
Berangkat dari pandangan di atas, pawang hujan adalah realitas sosial yang tidak bisa kita nilai sebagai kelompok primitif. Apalagi membuat kesimpulan bahwa pawang hujan hanya ilusi dan sesat. Faktanya, di era yang sangat modern ini, pawang hujan tetap eksis. Bahkan peran dan fungsinya masih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seperti ketika ada rapat umum, hajatan mantenan (perkawinan), pergelaran musik, dan acara penting lainnya. Kehadiran pawang hujan masih dianggap perlu karena sering membawa kesuksesan, atau setidak-tidaknya menjadi jalan pereda kecemasan bagi masyarakat yang memiliki hajat.
Akhirnya, kita masih perlu banyak belajar tentang fenomena pawang hujan ini, karena itu adalah realitas sosial yang tak pernah kita ketahui secara mendalam. Yang kita tahu hanya klenik dan irasional. Dunia pawang hujan adalah dunia subyektif yang sebetulnya juga memiliki aturan dan perhitungan. Perhitungan pawang hujan sangat berbeda dengan perhitungan ilmu modern semacam BMKG. Demikian juga dengan metode dan instrumennya, sangat tidak sama. Mengolok-olok pawang hujan sama artinya mengolok-olok pengetahuan.
Abdus Sair, Mahasiswa Doktoral Ilmu Sosial FISIP Universitas Airlangga; Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya