Indonesia dan Resolusi Ukraina
Politik luar negeri bebas aktif bukan berarti netral, karena politik yang netral tidak membangun perdamaian dunia. Artinya selain tidak memihak salah satu blok, Indonesia aktif untuk turut mengupayakan perdamaian dunia.
Sikap Indonesia terhadap resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali menjadi sorotan (viral); kali ini mengenai dukungan terhadap resolusi yang disepakati dalam Sidang Darurat (Emergency Session) Ke-11 Majelis Umum PBB pada 2 Maret 2022.
Resolusi ES 11/1 itu disepakati luas dengan 141 negara dari 193 negara anggota PBB mendukung, termasuk Indonesia. Adapun lima negara menentang (Rusia, Belarus, Eritrea, Korea Utara, dan Suriah) dan 35 abstain (antara lain China, Afrika Selatan, Aljazair, Laos, dan Vietnam). Resolusi ini disahkan setelah Rusia memveto rancangan resolusi yang diajukan dalam DK PBB pada 26 Februari sebelumnya.
Sejumlah pengkritik menilai sepantasnya Indonesia menolak atau paling tidak bersikap abstain. Alasannya, Rusia hanya menggunakan hak membela diri terhadap AS dan sekutunya yang ingin menarik Ukraina ke dalam NATO, yang akan mengancam keamanan nasional negara mantan Uni Soviet itu.
Sejumlah pengkritik menilai sepantasnya Indonesia menolak atau paling tidak bersikap abstain.
Bahkan, seorang pegiat media sosial dalam akun Facebook-nya, Kamis (10/3/2022), mengungkapkan, ”Vladimir Putin Paham Gebleknya Diplomat Indonesia di PBB” dalam postingan-nya. Dia menilai sikap yang diambil Indonesia itu sebagai bentuk ”gagap politik bebas aktif para diplomat Indonesia, tidak mengerti geopolitik dan geostrategis, kehilangan arah, tidak paham haluan negara dan prinsip politik bebas aktif”.
Masalahnya, apakah para pengkritik itu benar-benar telah membaca dan paham bahasa dan isi resolusi, mengetahui prosedur, cara kerja, dan dinamika persidangan PBB, termaksud makna Piagam PBB?
Resolusi ES 11/1
Esensi resolusi ES 11/1 adalah paragraf operatif (operative paragraph/OP) 1 dan 2. OP 1 merupakan penegasan negara-negara PBB terhadap komitmen atas kedaulatan (sovereignty), kemerdekaan (independence), kesatuan (unity), dan integritas teritorial (territorial integrity) Ukraina sesuai batas-batas yang diakui secara internasional. OP 2 sangat menyayangkan/menyesalkan (deplore) agresi Rusia terhadap Ukraina.
Sementara pasal-pasal lainnya melengkapinya dengan meminta agar Rusia menahan diri tidak menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan (use of force) terhadap negara anggota (PBB) dan menarik diri tanpa syarat dari wilayah teritorial Ukraina.
Baca juga: Penyelesaian Konflik Rusia-Ukraina
Kedua OP jelas mencerminkan tujuan dan prinsip (purposes and principles) yang tercantum dalam Piagam PBB; dalam kaitan ini Rusia dinilai telah melanggar Pasal 2 Ayat 4, ”All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations”. Setiap anggota PBB mana pun pasti akan menolak agresi militer mana pun terhadap negaranya, termasuk Indonesia.
Bahwa Rusia menyatakan sebagai hak membela diri dan dilakukan sebelum terlambat (Ukraina bergabung dengan NATO), tetap tidak akan dapat dijustifikasi. Hak bela diri oleh satu negara hanya bisa dilakukan apabila agresi militer telah dilakukan atau berlangsung.
Contohnya, upaya bela diri Kuwait ketika diinvasi Irak pada 2 Agustus 1990, yang menyebabkan terjadinya Perang Teluk I, dilakukan dengan membawa masalah ini ke PBB sesuai Pasal 51 Piagam PBB. Pada 29 November 1990, DK PBB secara aklamasi—termasuk kelima anggota tetapnya—mengesahkan Resolusi 678 untuk menggunakan segala cara (all necessary means), termasuk cara militer. DK PBB kemudian membentuk pasukan koalisi, dipimpin AS, untuk mengusir tentara Irak dan menegakkan kembali kedaulatan Kuwait.
Dalam insiden serupa, pada 28 Oktober 1983, AS memveto Resolusi DK PBB yang mengecam keras invasi negara itu ke Grenada, yang dianggap sebagai pelanggaran berat (flagrant violation) terhadap hukum internasional. Pada 3 November 1983, Majelis Umum (MU) PBB mengesahkan resolusi Nomor 38/7 mengenai invasi AS di Grenada.
Resolusi ini juga menggunakan narasi yang sama dengan resolusi mengenai Ukraina, khususnya berdasarkan Pasal 2 Ayat 4, yang menyayangkan (deplore) intervensi bersenjata (AS) ke negara kecil berdaulat berpenduduk tidak sampai 100.000 jiwa. Resolusi Nomor 38/7 itu disahkan dengan 108 negara mendukung (termasuk negara-negara Barat sekutu AS sendiri dan Indonesia), 9 negara menolak (antara lain AS, Israel dan El Salvador), serta 27 abstain (termasuk Inggris, Jepang, Jerman Barat, dan Kanada). AS mengabaikan resolusi MU-PBB itu dan melanjutkan invasinya hingga tumbangnya pemerintahan militer Hudson Austin.
Artinya, mayoritas negara anggota PBB, lepas dari kepentingan politik tertentu, akan mendukung resolusi yang menentang setiap invasi/intervensi militer terhadap suatu negara berdaulat.
Apakah para pengkritik sikap Indonesia itu tak membaca sejarah? Mungkin juga tidak diketahui bahwa dalam praktik PBB, bahasa juga memainkan peran penting, serta sering mengundang perdebatan panjang dan bertele-tele. Penggunaan kata deplore yang lebih lunak menjadi kompromi dari condemn (mengutuk) sebagaimana digunakan dalam Resolusi DK PBB di atas dalam kasus invasi Irak terhadap Kuwait.
Ternyata, dalam daftar resmi yang dikeluarkan Pemerintah Rusia ( Kompas, 8/3/2022), nama Indonesia tidak ada di antara 48 negara; sementara Swiss dan Liechtenstein tercantum.
Mestinya dipahami, resolusi-resolusi yang disahkan MU PBB, apalagi oleh organisasi internasional (seperti GNB dan OKI), bersifat tidak mengikat dan lebih merupakan kekuatan/dorongan moral (moral force). Satu-satunya resolusi badan PBB yang memiliki kekuatan memaksa dan mengikat adalah yang dikeluarkan DK PBB; itu pun dengan sejumlah syarat. Pembentukan pasukan koalisi untuk mengusir Irak dari Kuwait, misalnya, meskipun mengikat semua negara, hanya beranggotakan sejumlah negara (antara lain AS dan negara-negara sekutunya).
Makna bebas dan aktif
Mohammad Hatta dalam pidato ”Mendayung di Antara Dua Karang” pada 2 September 1948 menyatakan, politik luar negeri bebas aktif bukan berarti netral karena politik yang netral tak membangun perdamaian dunia. Artinya, selain tidak memihak salah satu blok, Indonesia aktif turut mengupayakan perdamaian dan kesejahteraan dunia.
Dalam bahasa Megawati Soekarnoputri, bebas aktif bukan berarti mengambil sikap netral atau menjadi penonton peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia ini. ”Bebas, bukan berarti tidak punya pendirian, bukan berarti pula ’cuci tangan’, bukan berarti defensif atau apologetis. Kita aktif, kita berprinsip, kita berpendirian… aktif dalam memperjuangkan lenyapnya penindasan kepada bangsa mana pun.” (rri.co.id, 11/1/2020).
Sikap netral adalah tidak memihak mana pun pada konflik militer (seperti Kosta Rika dan Liechtenstein, yang tidak memiliki angkatan bersenjata) dan menghindarkan diri agar tidak diserang oleh pihak yang berseteru.
Baca juga: Rusia-Ukraina: ”Security Dilemma”
Dalam konteks PBB, sikap netral sering kali tecermin dalam posisi abstain. Swiss, misalnya, memiliki politik netralitas (militer) tertua sejak Traktat Paris 1815 pada 10 September 2002 akhirnya menjadi anggota penuh PBB demi memajukan perdamaian. Dalam kasus Ukraina; baik Swiss, Kosta Rika, maupun Liechtenstein yang netral juga mendukung resolusi.
Sempat beredar berita hoaks bahwa Indonesia masuk daftar negara yang tidak bersahabat (unfriendly countries) sehingga membuat Rusia marah, bahkan mengancam, sehingga panik akan menerima konsekuensinya. Ternyata, dalam daftar resmi yang dikeluarkan Pemerintah Rusia (Kompas, 8/3/2022), nama Indonesia tidak ada di antara 48 negara; sementara Swiss dan Liechtenstein tercantum.
Itulah dinamika dan realitas persidangan di PBB, yang tidak ”hitam-putih”, lalu mengapa Indonesia harus panik? Dukungan atas resolusi Ukraina yang mengecam Rusia dan atas Resolusi Grenada yang mengecam AS, serta uraian di atas mestinya bisa menggambarkan konsistensi politik luar negeri bebas aktif Indonesia sesuai amanat UUD 1945.
Indonesia akan tetap menjadi sahabat Rusia dan AS, dan bukankah lazim antarsahabat saling mengingatkan? Mungkin belum banyak diketahui bahwa penentuan sikap Indonesia senantiasa dikonsultasikan Kementerian Luar Negeri RI dengan pemangku kepentingan terkait dan tidak diputuskan oleh diplomat di lapangan!
Dengan demikian, siapa yang sebenarnya tidak paham dengan politik luar negeri bebas aktif dan dinamika persidangan multilateral, terutama PBB? Dalam hal ini, sangat disayangkan opini para pegiat sosmed yang sangat menyesatkan. Penting bagi para diplomat Indonesia untuk mengingat kata-kata anonymous”Don’t be Scared to Cut Off Jealous, Hateful, Disrespectful and Disloyal People. You’re Better Off Without Them”. Teruslah fokus pada tugas.
Dian Wirengjurit, Duta Besar dan Diplomat Utama; bertugas di PTRI untuk PBB New York (1990-1994) dan untuk PBB Geneva (1997-2001 dan 2003-2007)