Mata Hati (Calon) Pemimpin
Seseorang yang telah memutuskan maju berkompetisi tentunya telah menimbang kualitas kepemimpinan dirinya sendiri terlebih dahulu. Kejernihan nurani dan integritas calon pemimpin akan membawa pada ketajaman ”mata hati”.
Hidup manusia berujung pada napas terakhir. Setelah itu hanya kenangan dan warisan yang tersisa. Manusia dengan akal budinya berjuang supaya kelak kehidupannya dapat dikenang. Hanya pemimpin sejati yang warisannya akan dikenang.
Genderang telah dibunyikan dengan ditetapkannya 14 Februari 2024 sebagai hari pemilihan umum (pemilu) nasional. Partai politik, kekuatan politik, dan unsur kepentingan lain berpacu memanaskan mesinnya. Kekuatan-kekuatan itu saling mengintai bidak catur politik. Masing-masing membuat simulasi aneka kemungkinan.
Semua mencari bakal calon ”jagoan” yang akan ditarungkan di arena. Pemetaan dilakukan, siapa yang akan dijagokan di eksekutif, legislatif, di pusat, atau di daerah. Tak ketinggalan, yang (merasa akan) dicalonkan bersegera memantas diri, menaikkan popularitas dan elektabilitas. Para bakal calon kontestan itu mencari cara dan membuat kesan dekat dengan rakyat.
Apa pun motivasi intrinsiknya, satu atau beberapa dari para ”calon pemimpin” tersebut akan resmi menjadi pemimpin. Seseorang yang telah memutuskan maju berkompetisi tentunya telah menimbang kualitas kepemimpinan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Motivasi para calon pemimpin harus jernih sejak awal. Kejernihan nurani dan integritas akan membawa pada ketajaman ”mata hati” dan tegak lurus pada cita-cita bangsa. Jika visi kebangsaan dan kehendak diri menyatu, akan sulit disabotase oleh persilangan kepentingan yang pasti bakal muncul.
Seseorang yang telah memutuskan maju berkompetisi tentunya telah menimbang kualitas kepemimpinan dirinya sendiri terlebih dahulu.
Relasi pemimpin dan rakyat
Hubungan antara rakyat dan pemimpin (negara) telah lama menjadi pemikiran Hobbes, Locke, Rousseau, dan Rawl. Pemikiran mereka menghasilkan teori kontrak sosial dan keadilan. Para pemikir ketatanegaraan dan keadilan ini menggagas bagaimana seharusnya relasi antara pemerintah dan rakyatnya.
Pemikiran ini untuk merespons apa yang mereka sebut sebagai kondisi alamiah (state of nature) manusia. Sebagaimana dikatakan Aristoteles, bahwa manusia adalah zoon politicon. Nietzsche menyebut bahwa hakikat hidup manusia adalah kehendak untuk berkuasa. Pengaturan dibuat supaya keadilan tercipta. Untuk melengkapi pengaturan ketatanegaraan ini, kualitas diri pemimpin menjadi pasangannya.
Sistem adalah perangkat keras, kepemimpinan adalah perangkat lunak. Kepemimpinan menyangkut rasa, kekaguman, dan kebanggaan.
Pemilihan pemimpin politik adalah persoalan menentukan satu orang di antara banyak lainnya. Nantinya, satu orang yang berdiri sebagai pemimpin bertanggung jawab atas semua anggota yang telah (terpaksa) ”memasrahkan” nasib dirinya. Tekanan aneka kepentingan yang berpadu dengan kepentingan diri bisa menimbulkan defisit integritas.
Baca juga : Menggoreng Calon Presiden
Alih-alih akan lahir seorang pemimpin besar, tak jarang yang muncul justru pemimpin yang mencederai kepercayaan. Einarsen dkk (2007) mengidentifikasi sisi buruk pemimpin dengan beberapa sebutan: destructive, abusive, derailed, toxic, dan sejenisnya.
Dapat dipahami, langkah pemimpin politik seperti melewati jalan yang penuh jebakan. Kehati-hatian sangat diperlukan supaya bisa selamat. Namun, bagi pemimpin bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan terutama menyelamatkan banyak orang. Pemimpin yang ”mata hatinya” redup akan mengubah mimpi indah rakyat sekadar jadi fiksi.
Pandangan rakyat
Untuk memandu menuju cita-cita luhur bangsa, para pemimpin telah diberi pegangan utama, yaitu Pancasila. Pancasila adalah philosofische grondslag yang mendasari segala cara berperikehidupan di Indonesia. Bagi para pemimpin negeri ini, tidak ada pilihan nilai lain selain Pancasila. ”Mata hati” pemimpin Indonesia adalah ”mata hati” Pancasila.
Ketajamannya akan terjadi hanya jika pemimpin telah sungguh-sungguh ideologis dengan Pancasila. Para kandidat pemimpin Indonesia harus mampu menjawab pertanyaan, seberapakah ”mata hati” Pancasila-nya.
Dalam buku Mohammad Hatta, Memimpin dengan Teladan (2018), diungkapkan bahwa tugas pemimpin yang paling mendesak dewasa ini ialah menyelenggarakan pemerintah dan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi. Bagi pemimpin, virtue semacam itu merupakan kemutlakan. Jika sampai terlepas dari dirinya, terlepas pulalah kepemimpinannya. Kelugasan pemimpin akan menumbuhkan kepercayaan, sebaliknya kekaburan sikap akan menuai kecurigaan.
Fiske dan Durante dalam Power, Politic, Paranoia: Why People are Suspicious of Their Leaders (2014), menyinyalir bahwa terjadinya distrust antara politisi dan rakyat adalah karena kegagalan akuntabilitas relasional. Dalam hal ini, rakyat tidak dapat meyakini kemauan dari politisi. Rakyat justru mencurigai apa yang disampaikan.
Persoalan ini mirip sekeping mata uang, di satu sisi pemimpin memiliki maksud atau kepentingan, di sisi yang lain rakyat memiliki harapan berbeda. Rakyat bertanya-tanya apa yang sesungguhnya dikehendaki oleh pemimpin? Apakah ada hidden agenda (agenda tersembunyi) di balik sikapnya? Kemesraan pemimpin dan rakyat jangan hanya seumur jagung. Jangan seperti pengantin yang baru saja berbulan madu, setelah itu muncul keretakan.
Pemimpin yang ber- ”mata hati” adalah pemimpin yang etis ( ethical leaders).
Pemimpin yang ber-”mata hati” adalah pemimpin yang etis (ethical leaders). Pemimpin ini mendasarkan sikapnya pada nilai tertentu yang diyakini kebenarannya. Bach dalam Handbook of Fraud, Scam, and Swindles: Failures of Ethics in Leadership (2009) mengatakan, pemimpin tanpa landasan etis disebut sebagai pemimpin yang kosong (hollow). Bagi pemimpin, landasan etis menjadi alasan keberadaannya, jauh melampaui persyaratan formal lainnya.
Pemimpin yang tidak etis hanya akan melahirkan malapetaka dan kerusakan. Relasinya tidak mengakar dan artifisial.
Politikus mulia
Jelas ada perbedaan antara politikus dan negarawan. Namun, politikus harus menempa diri menjadi negarawan. Bagi Indonesia, syarat mutlaknya adalah politikus yang ber-”mata hati” Pancasila. Di bumi Nusantara, pemimpin harus paham bagaimana harus hidup berketuhanan, menghargai harkat kemanusiaan, tidak main-main dengan persatuan, mampu berdemokrasi secara substansial, dan memiliki visi keadilan/kesejahteraan yang kuat.
Pertanyaan mengenai apa dan siapa yang dibela oleh pemimpin harus terjawab tuntas. Jika yang terjadi adalah retorika-politis, apalagi partisan-oportunistis, pasti hanya akan memperburuk keadaan. Erica Benner dalam Machiavelli’s Ethics (2009) mengatakan, menurut pandangan Machiavelli, dalam politik cara penting untuk mempertahankan diri adalah dengan pengetahuan tentang bagaimana memanipulasi kata dan penampilan. Hal ini ekstrem, tetapi bisa terjadi.
Baca juga : Menjaring Pemimpin Otentik
Di berbagai jalur media, profil dan bahkan aktivitas pribadi para calon pemimpin diviralkan. Bagi rakyat, tidak mudah untuk membedakan antara yang sungguhan atau gimik. Kebenaran menjadi barang langka dalam masyarakat post-truth. Kecenderungan untuk sekadar beretorika pun semakin besar. Oleh McComiskey, retorika semacam itu disebut sebagai retorika yang tidak etis (unethical rethoric).
Di dalam bukunya, Post-truth Rhetoric and Composition (2017), ia mengatakan, retorika yang digunakan Trump saat kampanye presiden telah menggambarkan terjadinya dua pergeseran. Pertama, terjadinya orang yang memiliki kekuatan (power) menggunakan retorika tidak etis untuk meraih tujuan. Kedua, terjadinya publik yang percaya pada retorika tidak etis tersebut. Hal ini berarti, muncul pemimpin tidak etis dan terjadi pembodohan publik. Maka, siapa lagi yang bisa menghentikan komunikasi negatif itu kalau bukan pemimpin sendiri.
Pemimpin diajak selalu merenungkan apa yang akan dilakukan untuk kenangan yang akan ditinggalkan.
Meski untuk menggambarkan sosok negarawan adalah mirip sebuah halusinasi, tingkatan kepemimpinan itulah yang dibutuhkan. Bagi para (calon) pemimpin, paling tidak terdapat dua hal yang harus dipertegas ulang.
Pertama, motivasi yang mendasari. Moral publik apa yang akan diandalkan ketika memiliki kewenangan sebagai pemimpin. Meminjam ungkapan Viktor Frankl, sebagai manusia, makna hidup apa yang dicari dengan kepemimpinannya? Motivasi ini akan menentukan ciri dan gaya kepemimpinan.
Kedua, perlakuan terhadap rakyat. Apakah rakyat dipandang sebagai pemilih, obyek, dan pihak ”yang jauh” semata. Menghadapi badai tekanan politik dari berbagai sumber, seberapa berani ”pasang badan” demi kehidupan bersama. Pemimpin harus memiliki nurani yang jernih dan penuh hormat kepada alam semesta beserta isinya.
Pemimpin dapat belajar dari pesan yang tertulis di kompleks makam filsuf Immanuel Kant, ”langit berbintang di atas saya, hukum moral di batinku”. Pemimpin diajak selalu merenungkan apa yang akan dilakukan untuk kenangan yang akan ditinggalkan.
Ignasius Triyana,Mengajar Kepemimpinan di ASMI Santa Maria, Yogyakarta