Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil membalikkan persepsi dunia tentang keberadaan Indonesia. Peristiwa ini menjadi penegak kedaulatan negara RI.
Oleh
INDROYONO SOESILO
·5 menit baca
Pemerintah baru saja menerbitkan Keputusan Presiden tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara guna memperingati Serangan Umum 1 Maret 1949. Serbuan gerilyawan TNI ke Yogyakarta pada siang hari dan berhasil menguasai Ibu Kota Perjuangan selama 6 jam ini guna menyatakan kepada dunia internasional bahwa NKRI masih ada, TNI masih ada dan TNI bukan ekstremis-ekstremis seperti yang digembar-gemborkan pihak penjajah Belanda.
Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil membalikkan persepsi dunia tentang negara Indonesia yang tetap eksis, yang terus berjuang guna mempertahankan kemerdekaannya. Semua itu berujung pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, dan pengakuan kedaulatan RI pada September 1949.
Memang, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, Belanda terus berupaya untuk kembali bercokol menjajah Nusantara, baik lewat kekuatan senjata maupun lewat perundingan yang hasilnya selalu menjadikan luas wilayah Indonesia semakin kecil saja. Melalui Perjanjian Linggarjati 1947, disepakati bahwa wilayah Indonesia hanya mencakup Jawa, Sumatera, dan Madura.
Lalu, lewat perjanjian di atas kapal perang Angkatan Laut Amerika Serikat, USS Renville, yang sandar di Pelabuhan Tanjung Priok, 17 Januari 1948, wilayah Indonesia tinggal Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera. Melalui perjanjian Renville, TNI harus mengosongkan wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda, termasuk 30.000 pasukan Divisi Siliwangi harus ”hijrah” dari Jawa Barat ke Ibu Kota Perjuangan di Yogyakarta. Selain dipenuhi oleh pasukan Siliwangi, Yogyakarta juga disesaki oleh para pengungsi dari wilayah-wilayah yang dikuasai Belanda.
Panglima Besar Jenderal Soedirman sadar bahwa Perjanjian Renville hanyalah sasaran antara sebelum akhirnya Yogyakarta juga akan diserbu oleh tentara Belanda. Di sinilah kemudian Markas Besar Tentara RI menyusun Perintah Siasat Nomor 1 Tahun 1948. Isinya, antara lain, apabila Belanda menyerang ibu kota Yogyakarta, seluruh pasukan TNI harus keluar dari Yogyakarta dan juga keluar dari kota-kota besar lainnya guna memulai perang gerilya, tidak lagi menganut perang konvensional linier dengan batas-batas demarkasi yang tegas. Namun, membentuk kantong kantong gerilya, hidup bersama rakyat, bak ”ikan dan air”, guna menyerang balik pasukan Belanda. Pada kuartal IV tahun 1948, terasa suasana Yogyakarta akan diserbu Belanda. Saat melantik 196 Perwira Remaja Lulusan Akademi Militer Yogya Angkatan I, pada 28 November 1948, Presiden Soekarno mengeluarkan Order Harian yang isinya bersiap menghadapi provokasi dan serangan musuh.
Semua prakiraan keadaan akhirnya menjadi kenyataan. Pada Minggu, 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Operasi Gagak, menyerang Ibu Kota Perjuangan, Yogyakarta, diawali penerjunan Pasukan Para pada pagi hari guna menguasai Pangkalan Udara Maguwo, disusul dengan masuknya Brigade Harimau, Tijger Brigade, dipimpin Kolonel Van Langen. Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Sidang Kabinet RI digelar dan diputuskan bahwa Pemerintah RI dan Pimpinan Nasional menyerah kepada Belanda, lalu menugasi Mr Sjafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Pada suasana kritis inilah Panglima Besar Jenderal Soedirman menampilkan sosok kepemimpinannya. Ia tidak mau menyerah kepada musuh dan dalam keadaan sakit meninggalkan Yogyakarta guna memimpin sendiri perang gerilya. Sebelum keluar dari kota, ia mengumumkan Perintah Siasat No 11948. Pasukan-pasukan TNI segera bergerak keluar kota sesuai rencana, termasuk 30.000 pasukan Siliwangi ber-long march kembali ke Jawa Barat.
Pada suasana kritis inilah Panglima Besar Jenderal Soedirman menampilkan sosok kepemimpinannya.
Berita kehadiran Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya tersebar ke seantero negeri dan membakar semangat gerilyawan TNI untuk terus bertempur. Taktik gerilya digelar. Saat musuh lengah, gerilyawan menyerang, sabotase dilakukan, jembatan diledakkan, instalasi militer dirusak, dll. Saat musuh membalas dengan kekuatan besar, para gerilyawan menghindar.
Rakyat dengan tulus ikhlas melindungi para gerilyawan, memberi mereka makan dan membangun dapur-dapur umum. Tidak heran, rakyatlah yang kemudian kerap menjadi pelampiasan kemarahan tentara Belanda. Rakyat ditangkapi, disiksa, dan ada yang dieksekusi mati tanpa pengadilan, kampung-kampung mereka dihancurkan dan lumbung lumbung padi dibakar. Para gerilyawan terus berupaya untuk mendapatkan kepercayaan rakyat dengan semakin gencar melaksanakan operasi-operasi gerilya.
Wilayah gerilya Yogyakarta ditetapkan menjadi Wehrkreise III, atau WK-III, yang merupakan Daerah Perlawanan III, dengan komandan Letkol Soeharto dan membagi wilayahnya menjadi 7 Sub-Wehrkreise, atau SWK. Melalui jalur komando WK-III inilah, serangan-serangan terkoordinasi pada kedudukan kedudukan tentara Belanda di Yogyakarta dilaksanakan. Serangan-serangan gerilyawan digencarkan pada malam hari dan sudah mulai berlangsung sejak akhir Desember 1948.
Pada awal Februari 1949, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mendengarkan siaran radio BBC-London yang memberitakan masalah kemerdekaan Indonesia segera dibahas di Dewan Keamanan PBB. Sesuai posisinya, Sri Sultan langsung menghubungi Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk menyampaikan perlunya digelar Serangan Umum pada siang hari atas kota Yogyakarta guna menunjukkan kepada dunia bahwa negara Indonesia masih ada dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaannya.
Segera Komandan WK III Letkol Soeharto bertemu Sri Sultan Hamengkubuwono IX di Kraton Yogyakarta guna menyusun sebuah serangan umum. Waktu serangan disepakati pada siang hari dan harus menguasai kota Yogyakarta selama 6 jam saja sebelum akhirnya mundur teratur begitu tank-tank tentara Belanda datang dari Magelang dan Semarang.
Sesuai posisinya, Sri Sultan langsung menghubungi Panglima Besar Jenderal Soedirman untuk menyampaikan perlunya digelar Serangan Umum pada siang hari atas kota Yogyakarta.
Pada Selasa, 1 Maret 1949, tepat pukul 06.00, saat sirine akhir jam malam berbunyi, ribuan gerilyawan TNI menyerbu masuk Kota Yogyakarta dari segala penjuru. Selama 6 jam Yogyakarta dikuasai gerilyawan TNI. Belanda tidak bisa berkutik dan hanya bersembunyi di dalam tangsi-tangsi mereka menunggu bantuan datang dari luar kota. Rakyat bersorak, Indonesia masih ada dan TNI masih ada.
Berita serangan umum kemudian dipancarkan lewat Radio AURI di Playen, Wonosari-selatan Yogyakarta dan diterima Markas PDRI di Bidaralam, Sumatera Barat. Berita tadi kemudian di-relay ke Takengon, Aceh, kemudian di-relay lagi ke Rangoon, Burma, dan terus ke New Delhi untuk kemudian mengudara lewat All India Rado ke seluruh dunia. Berita radio tadi diterima Perwakilan RI di PBB-New York, LN Palar, untuk kemudian dipakai oleh delegasi RI sebagai amunisi dalam Sidang Dewan Keamanan PBB dan membuat pihak Belanda tidak berkutik.
Akhirnya, melalui Perjanjian Roem-Royen, Mei 1949, Belanda dan Indonesia menyepakati gencatan senjata. Pada 29 Juni 1949, Belanda meninggalkan Yogyakarta dan gerilyawan TNI mulai kembali memasuki Ibu Kota Perjuangan.
Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil membalikkan persepsi dunia tentang keberadaan Indonesia. Namun, perlu selalu diingat bahwa perjuangan diplomasi tetap harus diimbangi dengan perjuangan bersenjata dan didukung oleh kekuatan rakyat yang berjuang tulus ikhlas.