Publikasi ilmiah Indonesia bergerak eksponensial beberapa tahun terakhir, hingga mencapai puncaknya pertengahan tahun 2019, Indonesia berhasil merajai ASEAN dalam hal publikasi ilmiah tahun 2018.
Oleh
Ali Khomsan
·4 menit baca
Diperlukan perjalanan panjang untuk menjadi profesor (guru besar) di perguruan tinggi. Hanya mereka yang memenuhi syarat, mengumpulkan kum 850, berhak bergelar profesor.
Sebagian dosen menjadi profesor di rentang usia 45-55 tahun. Sebagian kecil lain, karena aktivitas akademiknya tinggi, sebelum 45 tahun.
Urutan kepangkatan dosen adalah asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Saat lulusan S-2 diterima menjadi dosen muda dan dia memiliki satu publikasi, maka ia menduduki jabatan asisten ahli. Setiap dua tahun dosen dapat mengajukan kenaikan jabatan hingga dapat kum 850.
Untuk meraih jabatan guru besar, syarat khususnya adalah publikasi ilmiah di jurnal internasional bereputasi sesuai kriteria Kemendikbud. Jurnal ilmiah itu harus diterbitkan oleh asosiasi profesi ternama dunia, perguruan tinggi atau penerbit kredibel, terindeks dalam basis data internasional bereputasi semisal Web of Science atau Scopus.
Penolakan karya ilmiah oleh tim penilai guru besar bisa terjadi karena status jurnal discontinued/cancelled yang berarti tak terindeks lagi di Web of Science atau Scopus.
Publikasi ilmiah Indonesia bergerak eksponensial beberapa tahun terakhir, hingga mencapai puncaknya pertengahan tahun 2019, Indonesia berhasil merajai ASEAN dalam hal publikasi ilmiah tahun 2018. Ini membuktikan, Kemendikbud serius memperbaiki iklim riset Indonesia.
Capaian publikasi di Indonesia, wujud kerja keras dosen dan ilmuwan, jadi lompatan luar biasa di bidang publikasi ilmiah.
Upaya Direktorat Pendidikan Tinggi untuk meningkatkan publikasi ilmiah di kalangan dosen harus diakui. Publikasi ilmiah menjadi salah satu indikator dalam pemeringkatan perguruan tinggi (PT) di seluruh dunia. Pada 2018, berdasarkan data di Scopus, dosen/ilmuwan Indonesia telah memublikasikan 34.007 karya ilmiah. Malaysia di peringkat kedua dengan jumlah 33.286.
Capaian publikasi di Indonesia, wujud kerja keras dosen dan ilmuwan, jadi lompatan luar biasa di bidang publikasi ilmiah. Sebelumnya, Indonesia selalu nomor empat di Asia Tenggara, lalu menggeser Malaysia di peringkat pertama.
Kemendikbud juga telah membuat peringkat jurnal ilmiah dalam negeri. Peringkat terbaik adalah Sinta 1-2, disusul Sinta 3-4 dan 5-6. Sinta (Sciene and Technology Index) menilai kinerja jurnal dari standar akreditasi dan sitasi.
Menerbitkan karya ilmiah di suatu jurnal perlu perjuangan keras. Penolakan sering terjadi karena karya ilmiah yang dikirim dianggap kurang bermutu, data yang dipakai sudah uzur, analisis kurang tajam, dan berbagai alasan lain. Ini tak harus membuat kita patah arang karena dosen memang wajib menulis karya ilmiah, ikhtiar harus terus dilakukan hingga karya ilmiah kita lolos dipublikasikan.
Dalam jurnal ilmiah internasional bereputasi (nilai kum maksimal 40) ada pengelompokan Q1 (SJR tinggi) hingga Q4 (SJR lebih rendah, tetapi tetap bereputasi). Ada pula yang tak terindeks Scopus dengan nilai kum di bawah 30 (disebut jurnal ilmiah tanpa embel-embel bereputasi). Untuk meraih jabatan profesor, paling tidak dosen harus memiliki satu karya ilmiah di jurnal bereputasi (Q1-Q4).
Biaya publikasi
Ternyata karya ilmiah yang baik dan lolos dimuat di jurnal masih perlu pengorbanan lain, yaitu biaya publikasi. Besaran biaya publikasi di jurnal internasional sangat beragam, yang tak terindeks Scopus sekitar Rp 3 juta per artikel. Sementara di jurnal terindeks Scopus Q1-Q2 bisa mencapai Rp 20 juta-Rp 40 juta per artikel. Lumayan mahal untuk dosen yang gajinya sebulan tidak sampai Rp 20 juta (sebelum jadi guru besar).
Dengan kalkulasi kasar, jika memublikasikan karya ilmiah di jurnal internasional bereputasi perlu biaya Rp 20 juta-Rp 40 juta per artikel; pada 2018, dengan publikasi 34.007 artikel, dosen/ilmuwan Indonesia mengeluarkan biaya sebesar Rp 680.140.000.000-Rp 1.360.280.000.000.
Sebagian dana itu ada yang diganti oleh perguruan tinggi, ada yang dari dosen sendiri. Sementara anggaran riset di seluruh kementerian dan lembaga pada 2021 Rp 9,9 triliun. Bisa dihitung berapa persen dari dana penelitian yang akhirnya masuk ke pengelola jurnal internasional.
Menerbitkan karya ilmiah di jurnal nasional kategori Sinta 1-2, biaya hanya Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Maka, menerbitkan 20 karya ilmiah di jurnal nasional masih lebih murah dibandingkan satu karya ilmiah di jurnal internasional.
Saya dan tim dosen IPB University beberapa kali mendapatkan hibah riset internasional. Dalam hibah itu tak tercantum biaya publikasi.
Bisa dihitung berapa persen dari dana penelitian yang akhirnya masuk ke pengelola jurnal internasional.
Apabila laporan riset sudah selesai dan kami berniat menulis publikasi di jurnal internasional, proses penulisan artikel, penerjemahan ke bahasa Inggris, hingga pembayaran fee publikasi kami bayar sendiri. Bersyukur ada mekanisme kompensasi ke pihak donor sehingga biaya publikasi diganti sepenuhnya.
Hal semacam ini jika diberlakukan di perguruan tinggi tentu akan membuat para dosen bersemangat menulis. Cukup dengan menunjukkan kuitansi bukti pembayaran ke redaksi jurnal, biaya bisa diganti. Bukankah karya ilmiah dosen di berbagai jurnal juga akan berdampak positif bagi citra perguruan tinggi?
Ali KhomsanGuru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB University