Penandatanganan penyesuaian pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) RI-Singapura ibarat membuka lembaran baru. Langkah itu menuai polemik, akankah RI berdaulat seutuhnya di udara.
Oleh
RIDHA ADITYA NUGRAHA
·5 menit baca
DIDIE SW
-
Penandatanganan penyesuaian pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) RI-Singapura ibarat membuka lembaran baru. Duri dalam daging hubungan diplomasi kedua negara hendak dienyahkan. Pemerintah mengumumkan beberapa poin penting terkait FIR (25/1/2022), dua di antaranya menyedot perhatian publik.
Pertama, ruang lingkup FIR Jakarta akan melingkupi seluruh wilayah udara teritorial Indonesia, terutama di perairan sekitar Kepulauan Riau dan Kepulauan Natuna. Kedua, konektivitas dari dan menuju Bandara Changi tetap terjamin. ATC Singapura mengontrol pelayanan navigasi pada ketinggian nol hingga 37.000 kaki. Dubes RI untuk Singapura Suryopratomo menjelaskan jangkauan FIR Singapura tersisa 90 mil laut.
Langkah itu menuai polemik, akankah RI berdaulat seutuhnya di udara. Perubahan status quo FIR kini tergantung persetujuan DPR atas paket perjanjian ekstradisi dan pertahanan.
FIR dan kedaulatan
Opini Indra Sanada Sipayung, ”Menjawab Kritik atas Perjanjian Wilayah Informasi Penerbangan”, dan Hikmahanto Juwana, ”Belajar Kecerdikan dari Singapura” (Kompas, 31/1/2022) telah mengurai polemik FIR ini secara mendalam.
Konvensi Chicago 1944 Annex 2 (Rules of the Air) mendefinisikan FIR sebagai ruang udara, di dalamnya terselenggara pelayanan informasi terkait navigasi penerbangan sipil.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) memandang FIR dalam konteks keselamatan (safety), keamanan (security), dan efisiensi penerbangan. Alhasil, dimensi FIR dapat melampaui wilayah kedaulatan suatu negara hingga tumpang tindih dengan wilayah kedaulatan negara tetangga.
Kondisi ini perlu dibaca paralel dengan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 bahwa kedaulatan negara pada ruang udara tak berkurang sedikit pun.
Pada saat bersamaan, hukum positif Indonesia mengenal ketertiban umum. Ia hidup kala sendi-sendi utama negara terusik. Berbicara FIR RI-Singapura, pendelegasian pengelolaan ruang udara berubah jadi ”penyerahan kedaulatan” ketika Indonesia tak memiliki kontrol terhadap wilayah udara kedaulatan. Operasi pertahanan udara TNI AU terancam. Ketertiban umum akan terwujud sewaktu kontrol FIR Jakarta mampu mencakup seluruh wilayah udara kedaulatan RI.
Sebelum penandatanganan penyesuaian FIR, kedaulatan Indonesia pada sektor A, B, dan C bukan berarti absen. Ia hadir melalui instrumen air service agreement (ASA). Perwujudan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 salah satunya memberikan hak lintas bagi penerbangan berjadwal internasional, yakni negara asal maskapai telah memiliki ASA dengan Indonesia.
Sebagai contoh, penerbangan berjadwal Vietnam Airlines rute Hanoi-Perth dapat melintasi sektor A, B, atau C hanya jika Indonesia dan Vietnam telah memiliki ASA. ATC Singapura berfungsi memandu navigasi penerbangan semata.
Kehadiran kontrol FIR Jakarta pada ketiga sektor itu akan mengukuhkan kedaulatan absolut Indonesia di ruang udara nasional. Makna kedaulatan sendiri telah mengalami distorsi seiring waktu, termasuk pudarnya suzerainty termuat dalam Pasal 2 Konvensi Chicago 1944. Hampir 80 tahun berselang, kasus FIR RI-Singapura sangat mungkin mendefinisikan ulang kedaulatan negara di udara pada abad ke-21.
Kini semua mata memandang pelayanan ruang udara sektor A. Kombinasi jangkauan 90 mil laut dan kontrol hingga 37.000 kaki oleh Singapura perlu dipandang secara bijak, tetapi tetap kritis. Faktanya perekonomian Singapura bergantung pada konektivitas mulus dari dan menuju Bandara Changi.
Lumrah seandainya Singapura membutuhkan jaminan bagi keberlangsungan aerotropolis serta maskapai nasionalnya sebagaimana melatarbelakangi kondisi sektor A. Gambaran imbas blokade ruang udara Qatar terhadap maskapai, bandara, dan perekonomian nasional mungkin tebersit sepihak. Kedewasaan Indonesia tidak akan berujung demikian.
Penandatanganan 25 Januari berpotensi menciptakan kemenangan bersama bagi kedua negara dan ASEAN. Sikap kritis perlu dipelihara dengan mengikuti perkembangan teknologi seandainya di masa depan FIR Jakarta dimungkinkan mengontrol di bawah 37.000 kaki tanpa berimbas pada keselamatan penerbangan dari dan menuju Changi.
Terciptalah peluang guna menyesuaikan kembali pelayanan ruang udara pada sebagian sektor A. Maka, kabar burung jangka waktu pendelegasian 25 tahun perlu dikonfirmasi.
Dok Airnav
Perubahan FIR Jakarta setelah penandatanganan kerja sama Indonesia Singapura, Selasa (25/1/2022).
Momentum FIR Jakarta
Penyesuaian FIR merupakan langkah penting yang akan membuka pintu Indonesia dalam mewujudkan kepentingan nasional. Dibutuhkan langkah lanjutan guna menggapai lebih jauh kedaulatan di udara. Tiga hal patut menjadi perhatian.
Pertama, terbuka lebar peluang Indonesia untuk menetapkan zona identifikasi pertahanan udara atau air defense identification zone (ADIZ) baru. Peraturan Pemerintah No 4 Tahun 2018 mengamanatkan penetapan ADIZ layaknya sabuk mengelilingi Indonesia.
Rezim Konvensi Chicago 1944 sendiri tak mengatur ADIZ, melainkan Pasal 51 Piagam PBB sebagai pengejawantahan konsep bela diri (self-defence). Karena itu, fenomena tumpang tindih ADIZ tak memusingkan ICAO selama tak mengganggu keselamatan penerbangan sipil. Salah satu kasus terkini ialah antara Jepang, Korea Selatan, dan China.
Perkembangan waktu membuktikan kuatnya korelasi antara kontrol ruang udara dan implementasi ADIZ.
Keduanya harus berada di tangan yang sama. Selama ini status quo FIR Singapura menghalangi Indonesia menetapkan ADIZ pada ruang udara Kepulauan Riau dan Natuna akibat ketiadaan kontrol. Keberhasilan penyesuaian FIR Jakarta menghadirkan momentum bagi RI untuk mendeklarasikan ADIZ tanpa membuka celah protes dunia internasional.
Kedua, perluasan FIR Jakarta dan kesiapan AirNav Indonesia merupakan modal guna merebut satu kursi ICAO Council. Nihilnya keraguan Civil Air Navigation Services Organization (CANSO), International Air Transport Association (IATA), ataupun International Federation of Air Line Pilots’ Association (IFALPA) jadi kabar baik. Keduanya penting untuk dikomunikasikan kepada dunia.
Pemilihan anggota ICAO Council akan dilakukan pada akhir 2022 untuk masa bakti hingga 2025. Sejauh ini Singapura (Part 2) dan Malaysia (Part 3) berhasil duduk manis selama lebih dari satu dekade, sedangkan RI menjumpai kegagalan beruntun. Keberhasilan RI menjadi anggota ICAO Council periode 2022-2025 akan memperluas pengaruh Indonesia.
Kepentingan nasional dapat lebih terakomodasi tanpa bergantung kepada negara lain. Maka, muncul urgensi Jakarta FIR cepat berlaku sehingga persiapan mengikuti pemilihan berlangsung optimal.
Ketiga, Pemerintah RI perlu segera meratifikasi Pasal 3 bis Konvensi Chicago 1944 terlepas status pasal ini yang telah menjelma menjadi hukum kebiasaan internasional (customary international law). Ketentuan ini menegaskan baik nyawa penumpang maupun pesawat tidak boleh sama sekali terancam saat intersepsi terjadi.
Langkah ini akan memperkuat pengakuan dunia terhadap komitmen Indonesia dalam menjamin baik keselamatan maupun keamanan penerbangan. Selanjutnya menjadi modal dalam pemilihan anggota ICAO Council 2022 serta meyakinkan ADIZ Indonesia aman kala mulai berlaku nanti.
Akhir kata, semoga pemerintah dan DPR dapat melihat isu FIR Jakarta-Singapura secara holistik. Prinsip saling menguntungkan perlu dikedepankan. Jangan sampai kita terjebak dalam debat kusir mengingat masih banyak pekerjaan rumah lanjutan yang perlu segera dibenahi.
Ridha Aditya Nugraha Air and Space Law Studies, Universitas Prasetiya Mulya