Tabel Ekonomi Sumber Daya Alam
Politik tanah dan tambang jangan lagi jadi jarahan segelintir pemodal tapi menjadi agenda maslahat sosial dan ekologi. “Politik jamaah” yang berwatak sosial wajib menjadi pandu pengelolaan SDA termasuk kelestariannya.
Tuntutan keadilan ekonomi tidak pernah sepi, termasuk pada momen pandemi. Kabar bagus- nya, pemerintah baru saja mencabut ribuan izin usaha pertambangan, kehutanan, dan penggunaan lahan negara.
Kebijakan ini layaknya bunga mekar bagi pihak yang mengira “pengatur politik” (penguasa) selalu layu berhadapan dengan “penggede ekonomi” (pengusaha). Kebijakan progresif pemerintah ini mengingatkan saya kepada satu nama: François Quesnay (1694-1774). Ia adalah figur unik yang lahir di Perancis yang sempat menjadi dokter konsultan dan fisikawan untuk Raja Louis XV. Pada ujung umurnya, Quesnay mendalami ilmu ekonomi dan merumuskan yang apa yang kemudian dikenal sebagai: Tableu Economique.
Tabel ekonomi itu ia pakai untuk mendeskripsikan aliran uang dan barang di antara tiga kelompok masyarakat: pemilik lahan, petani, pengrajin. Pada 1754, François Quesnay di Perancis membentuk komunitas kecil, isinya para ekonom dari berbagai negara, termasuk bapak ekonomi modern, Adam Smith.
Pada ujung umurnya, Quesnay mendalami ilmu ekonomi dan merumuskan yang apa yang kemudian dikenal sebagai: Tableu Economique.
Ibu kandung pembangunan
Komunitas itu dianggap sebagai penemu mazhab ekonomi baru yang postulasinya berbeda dengan “ekonomi merkantilis” yang berjaya pada tempo itu. Aliran merkantilis percaya bahwa pembangunan ekonomi akan berjalan kencang apabila negara menginisiasi pembiayaan, mengumpulkan emas, mendorong ekspor, dan mengakumulasi pajak. Intinya, peran negara amat besar dalam mendorong pembangunan.
Sebaliknya, para ekonom modern keluar dengan kerangka pemikiran anyar: masyarakat (sektor swasta) yang mesti menyokong kegiatan ekonomi. Negara tak perlu banyak campur tangan, bahkan regulasi hanya untuk hal pokok saja karena warga negara akan bisa mengkoordinasi secara otomatis dan efektif. Ekonomi adalah kegiatan yang secara natural bisa dikerjakan masyarakat. Kerangka dasar sistem dan kebijakan ini yang menandai babak baru pengelolaan ekonomi menjadi ramah terhadap “pasar”, meski pasar sendiri dalam perjalanannya kerap gagal menjalankan mandat.
Sejarah itu telah diketahui dengan baik dan menjelma menjadi pilihan sistem dan kebijakan ekonomi. Sejak terbitnya buku Adam Smith yang masyhur (The Wealth of Nations: Inequiry to the Nature and Causes of the Wealth of Nations), arus pemikiran itu kian menjadi gurita yang dikalamkan di kampus dan mimbar seminar di Eropa dan AS.
Baca juga : Indonesia dan Narasi Asia
Secara perlahan gagasan itu menjadi corak dan rujukan kebenaran penataan ekonomi. AS jadi lokomotif pergerakan kemajuan ekonomi dengan dogma mekanisme pasar menggantikan peran gigantis negara pada masa merkantilisme. Produsen, misalnya petani, menggarap lahan karena ada insentif keuntungan dari penjualan masa panen.
Anggota masyarakat lainnya menjadi konsumen dan membeli produk pertanian untuk kebutuhan hidup. Individu yang jadi konsumen sebagian juga produsen komoditas lain, misalnya pembuat perabot rumah, yang dibeli oleh (sebagian) petani. Petani mengolah lahan dan pemilik tanah memperoleh penghasilan dari sewa yang dilakukan. Ekonomi bergulir dari satu tangan ke tangan lain.
Quesnay percaya sekali pembangunan ekonomi akan berjalan gesit bila bermula dari pertanian. Sektor pertanian ialah “ibu kandung pembangunan”. Kegiatan pertanian bukan sesuatu yang asing bagi manusia oleh dua alasan.
Pertama, sumber daya pertanian ada di sekeliling manusia, entah itu sub-sektor kehutanan, perkebunan, persawahan, peternakan, perikanan/kelautan, atau lainnya. Aktivitas berburu, bercocok tanam, atau menangkap ikan, bagian dari sejarah hidup manusia.
Quesnay percaya sekali pembangunan ekonomi akan berjalan gesit bila bermula dari pertanian.
Kedua, pertanian menjadi bagian dari budaya kehidupan manusia sehingga di negara maju disebut dengan istilah “agriculture”. Ia bukan semata aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar (makan) atau material (memperoleh keuntungan), namun bagian dari ritual dan sistem nilai (budaya) yang mengakar kuat dalam sendi kehidupan. Jadi, apabila para ekonom modern meyakini sektor pertanian sebagai masa depan perekonomian, maka sebetulnya hal itu bermula dari akar ketidakterpisahan antara manusia dan alam (pertanian).
Masalah “dekopling”
Alas pikir tersebut yang membuat negara maju, yang kini dianggap sebagai produsen utama komoditas olahan, pencipta teknologi, dan promotor sektor jasa; tetap jadi produsen penting sektor pertanian. AS menjadi produsen terbesar jagung, di samping penanam kentang, gandum, sayuran, dan buah-buahan. Hal sama juga dilakukan negara-negara Eropa. Mereka memproduksi gula, menjaga stabilitas sub-sektor peternakan, dan yang lain agar kebutuhan hidup rakyat terpenuhi.
Negara maju bukanlah importir barang-barang pokok yang mereka butuhkan, seperti gandum, kentang, jagung, daging, susu. Sebagian produk pertanian tetap diimpor, tapi dalam dosis tak besar (akibat kurang memungkinkan ditanam di dalam negeri). Sebaliknya, negara agraris, seperti Indonesia, justru impor komoditas pangan dari negara maju, seperti daging, susu, jagung. Penataan ekonomi negara maju dikerjakan secara rapi sejak sektor hulu.
Pembangunan yang dikerjakan di Indonesia secara sistematis, khususnya sejak dekade 1960-an, memproduksi kontradiksi yang mesti ditelaah secara serius (di samping ragam kemajuan yang telah dicapai). Pertanian yang semula menyumbang sekitar 70 persen dari PDB berangsur turun dan sekarang tinggal 13 persen. Selama kurun 50 tahun telah terjadi penurunan sekitar 50 persen kontribusi pertanian terhadap PDB.
Artinya, rata-rata donasi sektor pertanian turun satu persen setiap tahun. Sebagian penurunan diakibatkan oleh migrasi dari pertanian bahan baku ke pertanian olahan (industri pengolahan), sehingga dalam laporan statistik dicatat sebagai kontribusi sektor manufaktur. Persoalannya, sebagian penurunan juga diakibatkan oleh merosotnya produksi, misalnya jagung dan kedelai. Impor komoditas itu, selain gula, makin membesar dari waktu ke waktu. Salah satu sumbernya, konversi lahan pertanian, meski ini bukan sebab satu-satunya.
Paradoks yang muncul adalah sektor industri, keuangan, dan jasa yang berkembang tak memiliki tali yang kuat dengan sektor basis (“dekopling”). Pada saat sebagian produk pertanian harus diimpor, ini juga terjadi pada impor (bahan baku) bagi pengembangan manufaktur dan jasa, karena sektor industri mengembangkan komoditas yang bahan bakunya tak tersedia di dalam negeri.
Baca juga : Pemulihan dan Keberpihakan
Dulu Indonesia pemain penting industri tekstil, alas kaki, dan kulit (yang bahan bakunya berlimpah di dalam negeri). Namun, subsektor industri itu makin tenggelam ditelan pengembangan sub-sektor industri lain yang padat kandungan impor. Jadi, perdagangan internasional berjalan berdasarkan lajur yang berbeda dengan jalur pembangunan sektor produksi (dalam negeri). Mestinya politik perdagangan internasional bergerak sesuai nalar produksi yang seharusnya dikembangkan di dalam negeri. Rangkaian perkara ini yang belum ditata secara utuh.
Insentif sosial tanah
UU Pokok Agraria (UUPA) No 1 Tahun 1960 menulis secara jelas di Pasal 6: “Semua hak tanah mempunyai fungsi sosial”. Dilanjutkan Pasal 7: “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Sebagai salah satu faktor produksi yang vital, pemimpin bangsa paham bahwa tanah harus memberikan faedah yang lebih luas melampaui kepentingan ekonomi. UUPA ini tentu senapas dengan dasar negara (Pancasila) yang mengunci sila-silanya dengan maklumat paripurna: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Demikian pula, UUPA ini tegak lurus dengan konstitusi (UUD 1945), khususnya Pasal 33 ayat 1: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan.”
UUPA sekaligus menjadi teladan utuh terkait penyusunan regulasi yang mesti tunduk dan selaras dengan aturan di atasnya. Celakanya, setelah disusun UUPA terbit aneka UU (terkait sumber daya alam/SDA) yang coraknya berpunggungan dengan dasar negara dan konstitusi, untungnya sebagian di antaranya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tak ada yang salah dengan hasrat luhur ekonomi ini, namun bila nisbah ekonominya menjadi menggumpal kepada segelintir orang, maka akan mengakibatkan kepincangan ekonomi yang tidak terperi.
UUPA bisa dikatakan sebagai “Tabel Ekonomi-politik SDA”, khususnya pengelolaan pertanahan. Jika isu alokasi tanah semangatnya hanya kepada insentif material, maka distribusi lahan bisa saja diberikan semuanya ke individu atau korporasi (swasta) yang dirasa sanggup mengolahnya demi tujuan ekonomi, seperti peningkatan produksi, produktivitas, ekspor, dan nilai tambah. Tak ada yang salah dengan hasrat luhur ekonomi ini, namun bila nisbah ekonominya menjadi menggumpal kepada segelintir orang, maka akan mengakibatkan kepincangan ekonomi yang tidak terperi.
Inilah yang membuat kebijakan itu bertubrukan dengan dasar negara dan konstitusi. Politik pertanahan selaiknya dimaktubkan untuk memberikan rakyat alat produksi yang cukup bagi pergerakan ekonomi dan sumber penghidupan. Para petani dan pekebun (dan yang lain) punya penguasaan sumber daya ekonomi yang memadai sehingga bisa mengakumulasi kesejahteraan akibat nisbah ekonomi yang jatuh ke tangannya.
Politik pertanahan semacam ini akan memudahkan perkara “dekopling” bisa diatasi, yaitu keterlekatan manusia dan alam (di satu sisi) serta sektor olahan yang berbasis sumber daya domestik (di sisi yang lain). Distribusi tanah yang adil akan membuat manusia (khususnya petani, pekebun, dan lain-lain) terus memiliki ikatan dengan tanah (yang dimilikinya) sehingga pertanian tidak hanya ritus ekonomi, tapi juga budaya.
Tanah akan dihormati agar tetap menjadi sandaran hidup secara berkesinambungan, tak hanya diperas bagi keperluan obyek pembangunan. Insentif aktivitas ekonomi akan terbagi secara sosial sehingga mengobarkan api keadilan. Demikian pula, industri yang dikembangkan selaras dengan produksi domestik karena kumpulan pelaku di sektor basis yang terhimpun dalam organisasi ekonomi yang kuat akan menjadi aktor di hilir juga. Sektor manufaktur dan jasa tidak lagi didikte oleh sebagian kecil pelaku ekonomi yang punya sikap mental sebagai pecandu komoditas impor.
Teknososialisme pembangunan
SDA selain tanah bagi kepentingan pertanian dan perkebunan (kehutanan) adalah pertambangan. Aktivitas ekonomi pertambangan memiliki karakteristik agak berbeda dengan pertanian atau perkebunan karena relatif padat modal dan teknologi. Ini mengapa alokasi dan distribusi penguasaan pertambangan tak semudah kegiatan di sektor pertanian (setidaknya secara teoretis).
Faktor ini pula yang menjadi pembenaran distribusi konsesi pertambangan diberikan ke kelompok tertentu saja. Di masa awal pembangunan (khususnya Orde Baru), pertambangan menjadi arena ekonomi dan bisnis PMA (Penanaman Modal Asing) dengan argumen modal dan teknologi yang dibutuhkan amat besar dan rumit. Saat itu dianggap tak ada pengusaha domestik atau BUMN yang sanggup mengeksplorasinya, entah itu nikel, minyak, batu bara, emas, atau lainnya. Usaha pertambangan kakap hampir semua dikuasai PMA.
Setelah itu, secara perlahan pelaku ekonomi dalam negeri mulai merambah pertambangan, baik berpatungan dengan PMA maupun secara mandiri. BUMN juga masuk ke bisnis ini, namun dalam persentase tak terlalu besar. Lambat laun, sejumlah kecil pelaku ekonomi domestik ini jadi gurita pertambangan dan tumbuh menjadi penyokong pertumbuhan konglomerasi di Indonesia. Pertambangan dan perkebunan (juga kehutanan lewat HPH yang dikuasai) jadi “soko guru” konglomerasi nasional.
Rakyat sama sekali tak tampak dalam peta pengelolaan tambang, terlempar dari arena tambang.
Rakyat sama sekali tak tampak dalam peta pengelolaan tambang, terlempar dari arena tambang. Sebagian kecil mereka masih bisa mengakses pertambangan tradisional, tetapi tanpa proteksi izin secara legal sehingga dengan mudah ditekuk oleh hukum menjadi penambang ilegal. Jadi, politik pertambangan nasional sejak awal dibingkai untuk menafkahi kepentingan PMA dan lingkaran kecil pengusaha nasional. Rakyat cuma bisa mengintip dari balik jendela.
Pasal 33 Ayat 2 dan 3 sebetulnya merupakan kerlip yang cukup untuk menuntun pengelolaan cabang produksi yang penting dan SDA, termasuk tanah dan tambang. Pemerintah yang beberapa tahun lalu membeli saham mayoritas Freeport dan mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam (juga yang lain) merupakan bagian dari penjelmaan konstitusi, di mana BUMN seyogianya menjadi kuasi negara dalam kepemilikan SDA ini. Demikian pula, pemerintah yang beberapa waktu lalu mencabut ribuan izin usaha sektor kehutanan, pertambangan, dan yang lain telah menjalankan amanah dasar negara, konstitusi, dan UUPA dengan amat baik.
Politik tanah dan tambang bukan lagi masanya jadi jarahan segelintir pemodal demi menguras birahi ekonomi, tapi menjadi agenda maslahat sosial dan ekologi. “Politik jamaah” yang berwatak sosial wajib menjadi pandu dalam pengelolaan SDA, termasuk kelestariannya. Seperti formulasi King dan Petty (2021), pertumbuhan ekonomi jangka panjang (salah satunya) hanya bisa disokong oleh partisipasi seluruh lapisan rakyat dalam lapangan ekonomi (technosocialism).
Ahmad Erani Yustika Guru Besar FEB Universitas Brawijaya, Ekonom Senior Indef, Kepala Sekretariat Wakil Presiden