Membunuh Bahasa Sendiri
Bahasa daerah terancam punah. Banyak anggota komunitas tak lagi menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga. Salah satu faktor para ibu tak lagi berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa ibu di rumah.
Dua lapis generasi penutur jati bahasa -bahasa daerah di Sulawesi Utara tak lagi biasa dan bisa menggunakan bahasa daerah.
Survei kecil-kecilan terhadap sejumlah responden perempuan berusia 50-an tahun penutur jati (native speakers) bahasa Tonsea, bahasa Tondano, bahasa Tontemboan, bahasa Ratahan (Bentenan atau Pasan), dan bahasa Sangihe mengonfirmasi fakta ini.
Ada enam pertanyaan pokok tentang kebiasaan dan kebisaan menggunakan bahasa daerah di ranah keluarga. Para responden ini mengaku tidak biasa lagi menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga.
Mereka pun mengakui, anak -anak mereka yang berusia 5-25 tahun tidak bisa lagi menggunakan bahasa daerah. Para ibu dan anak-anak mereka ini bermukim di ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan di beberapa kabupaten di Sulawesi Utara (Sulut). Mereka memilih menggunakan bahasa Melayu Manado, lingua-franca, bahasa urban, sebagai bahasa sehari-hari di lingkungan keluarga.
Apa yang menarik dari fakta ini? Pertama, selapis generasi pewaris bahasa telah meninggalkan bahasa ibunya dengan satu cara yang sederhana: tak lagi menggunakan bahasa daerah di lingkungan keluarga.
Fakta ini jadi lebih menarik karena pengabaian atas bahasa ibu justru dilakukan oleh ibu— orang yang pertama-tama memberi kesempatan kepada anak -anak mereka memperoleh bahasa ibu. Landweer dalam artikelnya, Indicators of Ethnolinguistic Vitality (2008) menandai fakta ini sebagai putusnya pewarisan bahasa antargenerasi penutur jati bahasa ibu, satu dari 11 indikator daya hidup bahasa, language vitality.
Kedua, abai atas penggunaan bahasa daerah di lingkungan rumah oleh seorang ibu penutur jati menegaskan temuan Living Tongue, lembaga internasional nirlaba yang bertahun-tahun meneliti dan mempreservasi bahasa-bahasa etnik: bahasa-bahasa di dunia punah bukan karena penutur jatinya berhenti berbicara, melainkan selapis generasi, terutama para ibu, tak lagi berbicara dengan anak-anak mereka dalam bahasa ibu di rumah.
Fakta ini jadi lebih menarik karena pengabaian atas bahasa ibu justru dilakukan oleh ibu— orang yang pertama-tama memberi kesempatan kepada anak -anak mereka memperoleh bahasa ibu.
Bunuh diri bahasa
Ketiga, pengabaian bahasa daerah oleh penuturnya justru terjadi di kampung sendiri, dalam teritori tradisional bahasa daerah. Selapis generasi pewaris bahasa dengan sengaja telah meninggalkan bahasa daerahnya sendiri dan memilih satu bahasa lain. Tak disadari, ini tindakan pemunahan bahasa (daerah) sendiri, semacam genosida bahasa seperti dikatakan Barry Sautman di buku yang dieditorinya, Cultural Genocide and Asian State Peripheries (2006) tentang genosida budaya lewat pelenyapan bahasa.
Di beberapa negara, genosida bahasa bukan dilakukan oleh penutur jati, melainkan oleh faktor di luar bahasa, seperti konflik politik dan pembersihan etnik. Penolakan pemerintah atas usulan penggunaan bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa nasional di Pakistan Timur—kini Bangladesh—adalah contoh genosida bahasa.
Unjuk rasa penutur jati memperjuangkan bahasa Bengali sebagai salah satu bahasa nasional bahkan berakhir dengan tewasnya seorang mahasiswa di ujung bedil tentara pemerintah. Pelarangan penggunaan bahasa Rusia dan bahasa Ukraina dalam konflik Rusia-Ukraina saat ini juga bentuk genosida bahasa, baik oleh Rusia maupun oleh Ukraina.
Pendudukan Rusia atas Republik Otonomi Krimea dan kota Sevastopol dianggap Pemerintah Ukraina sebagai tindakan genosida atas bahasa Tatar Krimea sebagai bahasa ibu penduduk asli Ukraina.
Baca juga : Bahasa Daerah dalam Sorotan
Apa yang terjadi pada bahasa Bengali dan bahasa Tatar Krimea tentu saja berbeda dengan bahasa-bahasa daerah di Sulut. Tak ada genosida bahasa daerah di Sulut, tetapi pengabaian selapis genereasi penutur jati atas sejumlah bahasa ibu sesungguhnya adalah tindakan pemunahan bahasa sendiri. Mungkin ini bisa disebut “genosida bahasa”, tindakan “bunuh diri bahasa” yang dilakukan dari dalam oleh penutur jatinya.
Memang fakta pengabaian oleh selapis generasi penutur jati usia 50-an tahun atas bahasa daerahnya ini baru bersifat permukaan; dan mungkin tak mewakili realitas sesungguhnya dari status daya hidup bahasa-bahasa daerah di Sulut. Mungkin kesetiaan pada penggunaan bahasa daerah di desa-desa yang relatif jauh dari hiruk-pikuk kota masih cukup kuat. Tetapi bila fakta permukaan ini fenomena gunung es, maka ancaman kepunahan bahasa-bahasa daerah sesungguhnya sudah ada di depan mata.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa fakta permukaan tentang pengabaian bahasa daerah ini memang benar-benar sedang terjadi? Universitas Sam Ratulangi, Universitas Negeri Manado, dan Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara bersama pemda perlu berkolaborasi melakukan riset bahasa untuk memastikan seberapa jauh dan dalam ketergerusan bahasa-bahasa daerah di Sulut. Apakah fenomena gunung es di atas memang benar-benar telah meluas?
Riset kolaboratif ini paling tidak akan menghasilkan satu hal penting: profil daya hidup bahasa-bahasa daerah. Dengan profil ini, pemda dapat menyusun satu desain besar yang menjadi dasar bagi upaya penyelamatan bahasa-bahasa daerah dari ancaman kepunahan.
Tekanan bahasa urban
Dalam geolinguistik, pengabaian atas bahasa daerah di Sulut oleh penutur jatinya dan pemilihan atas bahasa Melayu Manado adalah bukti nyata tekanan bahasa urban, lingua -franca dalam satu kawasan masyarakat multibahasa ke kampung-kampung yang menjadi wilayah pakai bahasa Tonsea, Tondano, Tontemboan, Ratahan, bahasa Sangihe, dan bahasa daerah lainnya di Sulut.
Pilihan penutur jati bahasa etnik dalam menggunakan sebu -ah bahasa urban, bahasa bersama lintas-etnik dalam masyarakat majemuk bahasa memang membawa dua kemungkinan sekaligus: masyarakat kian menjadi dwibahasawan —menggunakan bahasa etnik dan bahasa Melayu Manado—atau menjadi masyarakat ekabahasa, meninggalkan bahasa etnik dan hanya menggunakan satu bahasa urban dalam kawasan masyarakat multibahasa.
Bila terjadi kemungkinan kedua, akan semakin bertambah jumlah penutur bahasa Melayu Manado sebagai bahasa pertama atau bahasa ibu bagi warga ibukota kabupaten dan ibukota kecamatan. Ini tanda-tanda makin cepat gerak kepunahan bahasa-bahasa etnik.
Dalam konteks Indonesia yang bineka bahasanya, pada saat memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional tiap 21 Februari, kita perlu memastikan bahasa-bahasa daerah di Indonesia tidak terus tergerus dan kemudian punah. Sebab, bahasa daerah tak hanya penyokong makin kuatnya peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, tetapi juga sebagai gentong penyimpan khazanah kebudayaan daerah.
Gufran A IbrahimGuru Besar Antropolinguistik Universitas Khairun