Menjaring Pemimpin Otentik
Peta jalan untuk menjaring pemimpin otentik melalui jalur nonpartai membutuhkan konduktor yang mampu mengorkestrasi kerja-kerja terukur, presisi, mengedepankan aliansi dan partisipasi semua kekuatan ketimbang kompetisi.
Terbayang baktimu
Terbayang jasamu
Terbayang jelas jiwa sederhanamu
Bernisan bangga
Berkafan doa
Dari kami yang merindukan orang sepertimu
(Penggalan lirik lagu ”Bung Hatta”, Iwan Fals)
Dalam kelindan oligarki, politik transaksional dan wabah politik uang, kita menyaksikan betapa rusaknya sistem dan praktik politik untuk memilih pemimpin daerah.
Fakta sebagian besar kepala daerah hasil pemilihan langsung tersangkut korupsi membuktikan kontestasi berbiaya tinggi telah mendorong praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan sedemikian masif. Kasus terbaru operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Wali Kota Bekasi dan Bupati Penajam Paser Utara kian menegaskan terus berlangsungnya korupsi endemik.
Namun, kenyataan ini seolah belum cukup menyadarkan semua pengampu kepentingan untuk membongkar akar kerusakan dengan aturan main baru yang bisa mencegah berulangnya kejadian ini. Korupsi masif kepala daerah sesungguhnya sudah jadi bahan pembelajaran dan mengusik keprihatinan parpol. Badan Penelitian dan Pengembangan PDI-P pada webinar 10 Januari 2021, misalnya, mengangkat tema: ”Evaluasi Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi: Menguatnya Politik Identitas dan Politik Biaya Tinggi yang Merusak”.
Salah satu kesimpulannya: terjadi perubahan struktur dan sistem politik secara fundamental mengikuti mekanisme elektoral sarat campur tangan kapital. Dampak negatifnya terjadi kapitalisasi kekuasaan politik, penguatan primordialisme, dan menjauhkan tujuan demokrasi untuk menyejahterakan rakyat.
Konstelasi ini menunjukkan, perubahan menuju pemilu bersih belum jadi agenda prioritas dan mendesak.
Kendati rahasia umum dan menjerat kepala daerah yang diusung parpol, tak muncul inisiatif mengubah model kontestasi yang terbukti mencederai prinsip utama demokrasi, yakni tegak lurusnya perolehan mandat dan tanggung jawab elektoral yang melekat padanya. Konstelasi ini menunjukkan, perubahan menuju pemilu bersih belum jadi agenda prioritas dan mendesak. Konsekuensinya, alih-alih menghasilkan pemimpin daerah yang bisa menggerakkan dan memandu kemajuan, kebanyakan justru jadi beban rakyat dan negara.
Resep perubahan
Ada banyak usulan untuk mengeliminasi dampak negatif sistem pemilu berbiaya tinggi dan kental transaksi. KPK tahun 2016 pernah merekomendasikan agar pendanaan partai dianggarkan di APBN sehingga transparansi dan akuntabilitasnya bisa diawasi oleh institusi inspektorat negara dan publik. Selama ini, sumber pendanaan partai tak tersentuh audit dan masih jauh dari karakteristik partai modern bersendikan transparansi dan akuntabilitas.
Usulan kedua adalah perubahan UU No 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Kedua UU ini secara substansial dinilai tak mencukupi syarat untuk mewujudkan tata kelola partai modern dan sistem pemilu yang bersih dari transaksi dan politik uang. Bahkan, tindak pidana dan kecurangan dalam pemilu tidak termasuk ranah kejahatan korupsi.
Selain itu, ada usulan penyelenggaraan konvensi sebagai mekanisme pemilihan terbuka yang bisa diikuti kader partai atau nonpartai sebagaimana pernah dilakukan Partai Demokrat jelang Pilpres 2014. Di sini elektabilitas dan akseptabilitas calon sepenuhnya berdasarkan aspirasi atau suara publik. Tampaknya konvensi belum jadi salah satu alternatif penjaringan calon pemimpin di tengah krisis kaderisasi partai.
Ketiga tawaran perubahan itu hampir mustahil disepakati dan menjadi rujukan baru. Pertama, perubahan UU Parpol dan UU Pemilu sepenuhnya bersandar pada goodwill DPR. Pendeknya tergantung keputusan elite parpol. Dengan mencermati konstelasi politik satu dasawarsa terakhir, tampak mayoritas parpol ”menikmati” status quo regulasi politik sehingga tidak timbul kehendak kuat bersama untuk mengoreksinya.
Baca juga : Antisipasi Turbulensi di 2022
Konvensi sebagai varian demokrasi elektoral juga belum jadi tradisi parpol dalam memfasilitasi dan menginisiasi sistem kompetisi yang sehat, terbuka, dan fair. Dominasi dan otoritas elite partai dalam menentukan calon kandidat menghambat seleksi alamiah dalam sistem meritokrasi kader yang dapat dukungan dan pengakuan di tingkat lokal. Kondisi ini pintu masuk bagi bekerjanya politik transaksional yang melibatkan para penyandang modal. Terkuaknya bukti-bukti pemberian konsesi beru-pa perizinan dan pengadaan barang/jasa dalam kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah jadi bukti kian kuatnya persekutuan penguasa-pengusaha.
Pemimpin otentik
Dari uraian itu, bisa disimpulkan perlunya membuka peluang praktik penjaringan calon pemimpin, baik sebagai komplementer pola yang berlaku maupun sebagai alternatif baru yang kompatibel dengan prasyarat demokrasi: kesetaraan, keadilan, kelayakan berbasis integritas teruji. Kebutuhan menghadirkan pemimpin otentik diperlukan untuk menggerakkan perubahan mendasar, inovatif, memberdayakan potensi lokal.
Pola baru penjaringan calon pemimpin menghendaki kerja sama kolektif, gotong royong semua kekuatan sipil skala lokal, regional, nasional. Kolaborasi ini sangat mungkin diwujudkan dengan dukungan teknologi informasi yang membuka terbangunnya jaringan kerja sama lintas profesi, organisasi, dan lintas aktor. Keterhubungan simpul-simpul organisasi fungsional, organisasi massa, aktivis ekonomi-sosial-budaya, dan para pemuka lokal bisa jadi jembatan untuk menyaring dan memunculkan tokoh-tokoh otentik dengan rekam jejak pengabdian kemasyarakatan panjang, mengakar, dan figur representatif.
Peta jalan untuk menjaring pemimpin otentik melalui jalur nonpartai membutuhkan konduktor yang mampu mengorkestrasi kerja-kerja terukur, presisi, mengedepankan aliansi ketimbang kompetisi, mengajak dan melibatkan semua kekuatan berpengaruh dalam masyarakat. Komunikasi dan dialog guna mendapatkan kesepakatan atas calon-calon yang dinilai layak membutuhkan waktu panjang dan moderasi elegan agar tercapai persinggungan kepentingan bersama. Sekurang-kurangnya dari calon-calon terpilih bermodalkan dukungan luas dapat dibuat persetujuan saling menguatkan, tak menganut prinsip the winner take its all.
Tahapan atau formulasi penjaringan calon pemimpin daerah bisa diawali dengan menginventarisasi tokoh-tokoh lintas profesi dan golongan dengan jejak pengabdian nyata, teruji, dan diakui. Para satria piningit, ksatria ”jalan sunyi” yang berkarya dan bekerja untuk komunitas, anggota atau rakyat, fokus pada tujuan dan manfaat, dan cakap mengelola organisasi, banyak tersebar di seluruh penjuru negeri. Modal ketokohan otentik ini merupakan sumber rekrutmen yang berharga dan perlu diperjuangkan.
Selanjutnya para kandidat diperkenalkan ke kalangan lebih luas, semacam test the water sekaligus menyerap aspirasi pemilih. Sosialisasi, konfirmasi dan afirmasi bisa menggunakan forum-forum informal, media sosial dan media konvensional sehingga kontestasi melibatkan dan menjadi hajat publik dan lintas organisasi. Proses ini memangkas biaya, mendekatkan kandidat-konstituen, dan pada akhirnya menghasilkan rumusan kontrak sosial-politik yang lebih tebal ikatan emosional dan sanksinya.
Parpol bisa saja ”melamar” kandidat dengan elektabilitas dan akseptabilitas tinggi yang muncul berkat proses penjaringan ini. Pengawalan dan kontrol dari segenap elemen yang mengusung kandidat diharapkan mengurangi peluang politik transaksional, sebaliknya tunduk pada kontrak sosial-politik yang disepakati bersama. Konstruksi menghadirkan arena baru, new playing field atau paradigma baru, atas kedegilan yang menjangkiti prosesi pilkada.
Legasi pemimpin: karya, kejujuran, dan kebersahajaan meluntur justru di negeri yang dibangun para pendiri bangsa berstandar moral tinggi.
Di tengah langkanya pemimpin panutan berintegritas, kita seperti diingatkan lirik lagu Bung Hatta. Legasi pemimpin: karya, kejujuran, dan kebersahajaan meluntur justru di negeri yang dibangun para pendiri bangsa berstandar moral tinggi. Modal sosial gotong royong dan nalar menolak praktik yang cenderung membuat kerusakan semakin parah dapat dipakai sebagai bekal kolektif untuk menyemai calon pemimpin yang siap memandu kemajuan dan menjunjung kehormatan. Para aktivis sipil di tingkat lokal-regional-nasional yang terpanggil oleh keadaan merisaukan ini dapat memulai kerja besar dan lebih menjanjikan untuk masa depan bangsa dan negara.
Suwidi TonoKoordinator Forum ”Menjadi Indonesia”, Ketua Gerakan Anti Korupsi Lintas Perguruan Tinggi