Sartono adalah sejarawan pertama Indonesia yang meraih gelar doktor ilmu sejarah dari luar negeri. Dia perintis yang mengubah perspektif sejarah dari sejarah penguasa menjadi sejarah orang kecil dan Indonesiasentris.
Oleh
ST SULARTO
·5 menit baca
Tahun 1985. Sebelum seminar besar 20 tahun harian Kompas, ada diskusi terbatas di Wisma Kompas Gramedia, Pacet. Diskusi hanya diikuti delapan pembicara, satu moderator, dan tiga wartawan Kompas. Sebagai pembicara Soedjatmoko, Selo Soemardjan, Emil Salim, YB Mangunwijaya, Sediono MP Tjondronegoro, Moh Sadli, Sartono Kartodirdjo, dan Jakob Oetama, dengan moderator P Swantoro. Seminar itu untuk menemukan tema sekaligus mengkristalkan topik seminar besar, sebulan kemudian di Jakarta.
Untuk pertama kali, saya mendengar ungkapan askese intelektual. Awalnya Sartono menyampaikan kisah keteladanan para Bapak Bangsa Indonesia sebagai sosok-sosok yang asketis secara intelektual. Pernyataan ini disambar Rama Mangun yang memasukkan nama Sartono Kartodirdjo.
Dalam berbagai kesempatan dan tulisan-tulisannya kemudian, Jakob Oetama—salah satu pengagum Sartono—sering memungutnya untuk menegaskan keteladanan bersusah payah sebagai prasyarat kemajuan; daya magis yang menstimulasi semangat atas ketertinggalan.
Jakob Oetama sering menambahkan kata mesubudhi, dikutip dari kitab Wedhatama. Lebih kurang berarti sama, disandingkan dengan askese intelektual. Jadilah mesubudhi-askese intelektual. Dari kearifan itu, Jakob Oetama menurunkan sejumlah ungkapan lain, seperti kerja tuntas tidak setengah-setengah, bekerja dan berdoa, ora et labora.
Swantoro adalah salah satu siswa Sartono di Jurusan Sejarah UGM. Jakob yang dari Fisipol UGM juga meminati ilmu sejarah sebab baginya sejarah itu memberikan perspektif dalam pemikiran dan penulisan. Sejarah memberi dasar identitas nasional.
Untuk pertama kali, saya mendengar ungkapan askese intelektual.
Jakob Oetama dan Swantoro tidak hanya mengagumi Sartono dalam hal etos kerja askese intelektual. Mereka sering menambahkan nama Rama PJ Zoetmulder SJ, ahli Jawa Kuna, yogi yang senapas dengan asketis intelektual, Sajogyo, ahli sosiologi perdesaan, dan Nurcholish Madjid, pendobrak pemikiran Islam.
Mengantar kepergian Sartono, Jakob Oetama menyebut Prof Dr Aloysius Sartono Kartodirdjo sebagai ilmuwan sejarah kelas utama sekaligus cendekiawan-intelektual.
Dari pemikiran dan penghayatan tentang etos kerja, muncul ungkapan asketisme intelektual; seorang cendekiawan yang terus mencari, mengekspresikan dan menghayati keilmuan dengan sikap intelektual yang tidak larut pada serba kebendaan, bahkan cenderung mesusalira, berpantang diri. Pandangan dan sikap itu terekspresi dalam peri kehidupan Sartono yang serba sederhana.
Sejak 1980 sampai wafatnya, 7 Desember 2007, saya sering meminta Sartono menulis artikel atau menjadi narasumber diskusi yang diselenggarakan Kompas. Saya suka mampir ke rumah dinasnya di Bulaksumur F-9. Di situ saya melihat guru besar sejarah kelahiran Wonogiri 15 Februari 1921 itu membaca dengan teropong.
Sartono, sejak muda terganggu retina kirinya. Keadaan ini tidak membuat ia patah semangat, bahkan melecut ketekunan terus berpikir, membaca, menulis, dan mengajar sejarah bagi banyak orang. ”Bagaimana lagi, wong memang demikian,” ungkapnya sambil tertawa, salah satu ciri khasnya.
Saya kagum dengan mesubudhi dan mesusalira Sartono sebagai bagian integral dirinya. Semua karena kecintaan dan komitmen pada ilmu sejarah yang dia hidupi sejak muda.
Dia membuktikan, mesubudhi (askese intelektual) disertai kecintaan dan komitmen akan membuahkan hasil berlimpah bagi banyak orang.
Di rumah dinasnya, dari menit ke menit Sartono menghadirkan sosok Michaelangelo (1475-1564), pematung, pelukis, arsitek, dan penyair Italia pada zaman Renaisans. Warisan keteladanan Michaelangelo yang dikagumi Sartono adalah etos kerjanya. Selama empat tahun (1508-1512), maestro itu bertahan melukis langit-langit Kapel Sistina di Roma yang berketinggian 21 m (luas 1.720 m persegi) dengan berbaring.
Lima prinsip kehidupan
Menurut Sartono, ada lima prinsip kehidupan jika ingin menjadi bangsa yang modern dan maju (Kompas, 8/12/2007). Kelima prinsip itu ialah unity (persatuan dan kesatuan), liberty (kemerdekaan dan kebebasan), equality (persamaan hak), personality (identitas dan kebudayaan), dan performance (etos kerja). Bangsa Indonesia sebelum proklamasi kemerdekaan, menurut Sartono, memiliki etos nasionalisme itu, semangat berkorban yang tinggi.
Satu dari ratusan artikel Sartono tentang etos kerja berjudul 1984: George Orwell dengan Utopisme Politiknya (Kompas, 29/1/1984). Dalam esai panjang itu, Sartono menguraikan utopia zaman yang kian mengerut akibat kapitalisme, cengkeraman birokratisasi, teknologi, hilangnya ideologi, dan totalitarianisme.
Sosok pribadinya menghidupi kearifan asketis, ilmuwan yang berprinsip teguh dengan integritas kegiatan ilmiah yang terbebas dari keberpihakan pada kekuasaan, menjadi klasik.
Sartono adalah penemu dan pemilik hak cipta askese intelektual. Sartono meraih yang terbaik, terbebas dari segala kepentingan, kecuali obyektivitas dan kebenaran ilmiah.
Seperti sering dikatakan oleh salah satu murid dan pengagumnya, Taufik Abdullah, Sartono adalah sejarawan pertama Indonesia yang meraih gelar doktor ilmu sejarah dari luar negeri. Dialah perintis yang mengubah perspektif sejarah dari fokus sejarah penguasa menjadi sejarah orang kecil dan Indonesiasentris. Menggunakan pendekatan ilmu sosial, Sartono merintis sejarah sebagai inspirasi masa depan, disebut metode historiografi.
Dengan disertasi tentang pemberontakan petani Banten 1888, Sartono meraih gelar doktor ilmu sejarah dengan judisium cumlaude dari Universitas Amsterdam, 1 November 1966. Dengan disertasi itu, salah satu karya monumentalnya, Sartono dikenal sebagai perintis mazhab historiografi sejarah lokal, sejarah dari dalam dan sejarah dari disiplin ilmu sosial.
Nama Sartono Kartodirdjo, menurut Djoko Suryo—Guru Besar Emeritus Bidang Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya UGM—dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh Indonesianis, seperti JD Legge, Herbert Feith, GMcT Kahin, HJ Benda, WF Wertheim, BR O’G Anderson dan MC Ricklefs. Selain pendekatan Indonesiasentrisme dalam penulisan sejarah Indonesia, Sartono memperkenalkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah Indonesia.
Selain pendekatan Indonesiasentrisme dalam penulisan sejarah Indonesia, Sartono memperkenalkan pendekatan interdisipliner, multidisipliner atau pendekatan ilmu-ilmu sosial dalam kajian sejarah Indonesia.
Seminar Sejarah Nasional II di Yogyakarta pada Agustus 1970 menegaskan tiga perubahan besar dalam historiografi Indonesia yang dirintis Sartono. Pertama, dari sejarah politik ke sejarah sosial; kedua, penerapan konsep-konsep ilmu sosial untuk merekonstruksi sejarah; ketiga, penggunaan pendekatan multidimensional terhadap peristiwa masa lalu. Seminar mengusulkan pembentukan panitia penulisan buku sejarah Indonesia yang terbengkalai sejak 1951.
Sebagai tindak lanjut, Sartono oleh Kementerian Dikbud (waktu itu) ditunjuk sebagai ketua. Namun, pada penerbitan kedua, Sartono mengundurkan diri dan menolak namanya dicantumkan dalam cetak ulang Sejarah Nasional Indonesia tahun 1977. Ia tidak pernah mengumumkan alasan pengunduran dirinya. Tetapi menurut Abdul Syukur, budayawan Jawa, itu bentuk protes terhadap penulisan yang lebih mengikuti kepentingan Orde Baru.
Tahun 1987, Sartono menulis historiografi Indonesia sendiri atas bantuan dana Netherlands Institute for Advanced Studies dari Belanda. Historiografi ini memakai pendekatan multidimensional konsep-konsep ilmu sosial, khususnya sosiologi.
Keteladanan berprinsip Sartono memihak pada kepentingan rakyat dan kritis. Nama Sartono Kartodirdjo membuat siapa saja menaruh hormat.
St Sularto,Wartawan Senior, Pernah Bekerja di Kompas 1977-2017