Wadas, Infrastruktur Inklusif, dan Konstitusi Sosial
Kasus konflik di Desa Wadas memberikan pelajaran kepada kita bahwa setiap proyek infrastruktur harus berlandaskan konstitusi sosial yang berorientasi menyejahterakan warga, juga perlindungan hak-hak konstitusional.
Pembangunan infrastruktur merupakan hal penting untuk mempermudah konektivitas penduduk, barang, dan jasa, serta meningkatkan daya saing, yang pada akhirnya untuk memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya tiap warga negara.
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), dan Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan telah menyetujui secara global perlunya infrastruktur yang berkelanjutan (sustainable), layak (affordable), terjangkau (accessible), dan berkualitas (resilient quality infrastructure).
SDGs dan Agenda 30 merupakan kesepakatan global, termasuk negara kita, agar tercapai kesejahteraan bersama.
Di sisi lain, pembangunan infrastruktur tak jarang menimbulkan konflik sosial, kekerasan, permasalahan pertanahan, dan permasalahan-permasalahan sosial lainnya seperti yang sekarang ini terjadi di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Namun, juga banyak pembangunan infrastruktur yang bermanfaat untuk warga negara.
Bagaimanakah sebenarnya standar pelaksanaan dan pembiayaan proyek infrastruktur?
Uji tuntas HAM
Bagaimanakah sebenarnya standar pelaksanaan dan pembiayaan proyek infrastruktur? Laporan Komisi Tinggi Hak-hak Asasi Manusia (HAM) PBB pada 2020 yang berjudul ”The Other Infrastructure Gap: Sustainability Human Rights & Environment Perspective” dan the Ije-Shima Principles for Promoting Quality Infrastructure Investment bisa menjadi pedoman dan prinsip dasar pembiayaan infrastruktur inklusif.
Dalam laporannya, Komisi Tinggi HAM PBB menemukan proyek-proyek infrastruktur yang bertujuan memfasilitasi perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan pembukaan lapangan kerja telah mengabaikan aspek perlindungan lingkungan hidup dan sosial.
Namun, ada juga proyek-proyek infrastruktur yang berhasil mengintegrasikan aspek sosial dan lindungan hidup sehingga bermanfaat untuk masyarakat, terutama dalam penyediaan lapangan pekerjaan.
Selanjutnya, Komisi Tinggi HAM PBB merekomendasikan beberapa hal agar proyek-proyek infrastruktur bermanfaat untuk masyarakat. Pertama, memperkuat keterbukaan informasi, konsultasi, partisipasi, dan akuntabilitas proyek infrastruktur, termasuk adanya mekanisme pemulihan jika ada warga negara yang hak-haknya terbukti dilanggar akibat proyek-proyek infrastrukur itu.
Baca juga : Warga Wadas Perlu Tahu Dampak Penambangan
Kedua, menjamin bahwa proyek-proyek infrastruktur sesuai dengan rencana pembangunan nasional, dan perlindungan HAM. Ketiga, mengintegrasikan HAM ke dalam rencana proyek infrastruktur yang berkelanjutan, layak, terjangkau, dan berkualitas.
Keempat, menjamin partisipasi, baik sektor publik maupun privat, dalam kebijakan infrastruktur. Dan, perlu adanya uji tuntas HAM terhadap rencana proyek infrastruktur (human rights due dillegence/HRDD) guna menjamin kualitas perencanaan proyek infrastruktur.
Keenam, perencanaan proyek-proyek infrastruktur perlu memperhatikan risiko adanya pelanggaran HAM, dan kerusakan ekologi. Ketujuh, mengintegrasikan perspektif jender ke dalam rencana proyek-proyek infrastruktur.
Menurut Komisi Tinggi HAM PBB, keharusan adanya HRDD untuk setiap proyek infrastruktur bisa memetakan risiko adanya pelanggaran HAM dan konflik sosial, sekaligus memitigasi adanya pelanggaran HAM. HRDD ini mungkin belum menjadi perhatian kita seperti dalam kasus infrastruktur di Desa Wadas.
Proyek-proyek infrastruktur besar tidak sedikit yang membutuhkan dana dari MDBs (Multi-Development Banks), yaitu lembaga pembiayaan internasional yang menyediakan pinjaman atau hibah untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur. MDBs sendiri terikat dengan the Ije-Shima Principles for Promoting Quality Infrastructure Investment yang menentukan lima kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu proyek infrastruktur.
Pertama, adanya jaminan tata kelola yang efektif, proyeknya tepercaya, efisien secara ekonomi dalam hal biaya, dan adanya keamanan dari bencana alam, serta ancaman terorisme. Kedua, adanya jaminan penyediaan lapangan kerja, penguatan kapasitas, transfer keahlian (transfer of expertise), dan proyeknya diketahui oleh komunitas lokal. Ketiga, memperhatikan perlindungan lingkungan hidup dan sosial.
Keempat, adanya jaminan proyek infrastruktur sejalan dengan strategi pembangunan berkelanjutan, khususnya perubahan iklim, dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat lokal dan internasional.
Kelima, memperkuat mobilisasi sumber daya yang efektif, termasuk melalui kemitraan publik dan swasta (private and public partnership).
Proyek-proyek besar, seperti bendungan di Desa Wadas, harusnya ada HRDD sejak tahap perencanaan untuk mencegah potensi pelanggaran HAM, kerusakan ekologi, dan konflik sosial.
Yang menarik dari the Ije-Shima Principles for Promoting Quality Infrastructure Investment adalah dimasukkannya perlindungan lingkungan hidup dan sosial dalam perencanaan, dan pelaksanaan proyek infrastruktur. Kemudian, juga adanya transfer keahlian. Isu tenaga kerja asing sering muncul di dalam proyek infrastruktur, yang seharusnya ada transfer keahlian di masa depan kepada pekerja lokal jika memang belum ada pekerja lokal yang mempunyai kualifikasi untuk mengerjakan proyek infrastruktur tersebut.
Komisi Tinggi HAM PBB sering menyebut infrastruktur inklusif, yaitu konsep infrastruktur yang mengintegrasikan nilai-nilai HAM, perlindungan lingkungan hidup, serta persamaan jender ke dalam rencana proyek infrastruktur.
Posisi Komisi Tinggi HAM PBB tak menolak pembangunan infrastruktur, dan justru sejalan dengan Agenda 30 dan SDGs yang mendukung proyek-proyek infrastuktur yang berkelanjutan, layak, terjangkau, dan berkualitas.
Kasus pembangunan infrastruktur di Desa Wadas telah membuka mata kita bahwa proyek infrastruktur besar seperti pembangunan bendungan memerlukan pemetaan risiko adanya pelanggaran HAM, konflik sosial, dan kerusakan ekologi. Kemudian, perlu adanya langkah-langkah mitigasi jika terjadi adanya pelanggaran HAM, konflik sosial, dan kerusakan ekologi. Selanjutnya, harus tersedia mekanisme adanya pemulihan (redress) jika terjadi pelanggaran HAM, kerusakan ekologi, dan konflik sosial. Itu semua tercatat dalam HRDD.
Baca juga : Perdebatan di Tembok-tembok Desa Wadas
Proyek-proyek besar, seperti bendungan di Desa Wadas, harusnya ada HRDD sejak tahap perencanaan untuk mencegah potensi pelanggaran HAM, kerusakan ekologi, dan konflik sosial. Jika memang dokumen HRDD-nya sudah ada untuk proyek pembangunan bendungan di Wadas itu, maka perlu dijelaskan ke publik, khususnya warga yang terdampak.
Konstitusi sosial
Jimly Asshiddiqie sering menyebut UUD 1945 sebagai konstitusi sosial. Konstitusi kita bukan dokumen hukum yang kaku, tetapi konstitusi yang hidup bertujuan untuk menyejahterakan warga negaranya dan melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya.
Pembukaan UUD 1945 secara tegas menyatakan diri sebagai konstitusi sosial. Jika kita membaca alinea ketiga Pembukaan UUD 1945, kita akan menemukan kata-kata ”memajukan kesejahteraan umum” dan ”keadilan sosial”. Pasal-pasal di dalam UUD 1945 telah merefleksikan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara. Negara hukum Pancasila mengharuskan negara hadir untuk menyejahterakan warga negaranya, dan sekaligus untuk perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.
Menurut John Locke, konstitusi adalah kontrak sosial antara warga negara dan negara, dan berdasarkan kontrak sosial warga negara adalah prinsipal sementara negara adalah pelayan. Jika ada pelanggaran hak-hak konstitusional warga negara oleh negara, negara harus bertanggung jawab untuk memulihkan hak-hak konstitusional warga negaranya.
Jika ditemukan adanya pelanggaran hak-hak konstitusional di Desa Wadas dalam kasus pembangunan infrastruktur, negara harus memulihkan hak-hak konstitusional terhadap warga negara di Desa Wadas tersebut.
Proyek infrastruktur memang penting, dan sama pentingnya dengan tujuan kita bernegara, dan berbangsa, yaitu untuk menyejahterakan warga negara, juga untuk melindungi hak-hak konstitusional warga negaranya. Konstitusi sebagai hukum tertinggi (the law of the land) menjadi pegangan kita dalam berbangsa dan bernegara.
Kasus infrastruktur di Desa Wadas memberikan pelajaran kepada kita di masa depan bahwa dari setiap proyek infrastruktur harus berlandaskan konstitusi sosial yang berorientasi menyejahterakan warga negara, dan juga untuk perlindungan hak-hak konstitusional warga negara, mulai dari tingkat perencanaan sampai eksekusi. Tidak boleh ada lagi proyek infrastruktur yang tidak berlandaskan konstitusi sosial.
Uli Parulian Sihombing, Doktor Ilmu Hukum Lulusan Universitas Brawijaya