Tantangan Tahun Toleransi
Pencanangan 2022 sebagai Tahun Toleransi wujud komitmen pemerintah merawat toleransi, baik toleransi sosial, agama, maupun politik, sebagai modal sosial sangat penting untuk membangun bangsa Indonesia yang kokoh.
Memasuki Tahun Baru 2022, Menteri Agama mencanangkan 2022 sebagai Tahun Toleransi. Pencanangan ini salah satu wujud komitmen kuat merawat toleransi, baik toleransi sosial, agama maupun politik, sebagai modal sosial sangat penting untuk membangun bangsa. Bangsa Indonesia kokoh antara lain ditentukan sejauh mana mampu merawat toleransi. Jika toleransi rusak, rusaklah sendi-sendi yang mengokohkan bangsa ini.
Di samping mengokohkan toleransi sebagai modal sosial, penting pula menggaungkan kekayaan bangsa Indonesia ini ke masyarakat internasional. Ini penting karena Indonesia sedikit dari sekian banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim yang mampu menjaga keutuhan bangsa.
Pencanangan 2022 sebagai Tahun Toleransi sekaligus menunjukkan keseriusan pemerintah mengimplementasikan moderasi beragama sebagaimana telah dirancang dalam RPJMN 2020-2024. Salah satu pilar penting moderasi beragama adalah toleransi, yaitu kesiapan untuk hidup bersama dengan orang yang berbeda. Kesadaran toleransi bukan sesuatu yang turun dari langit, tetapi situasi yang perlu terus diusahakan dan dirawat. Toleransi bukan taken for granted tetapi buah dari upaya dan kerja keras untuk membangun hidup bersama di tengah berbagai perbedaan.
Salah satu pilar penting moderasi beragama adalah toleransi, yaitu kesiapan untuk hidup bersama dengan orang yang berbeda.
Arti strategis
Penetapan 2022 sebagai Tahun Toleransi punya makna yang sangat strategis. Pertama, tak bisa dimungkiri sekarang ini intoleransi berkembang di mana-mana. Suasana hidup berdampingan di tengah perbedaan yang bertahun-tahun bisa dijaga keseimbangannya mulai terkikis pelan-pelan. Hal ini antara lain akibat semakin menguatnya cara pandang dan klaim subyektif kebenaran yang dipaksakan kepada orang lain sehingga memicu konflik sosial.
Ekspresi kebencian kepada kelompok yang berbeda banyak mewarnai ruang-ruang sosial, baik melalui ucapan maupun tindakan. Peristiwa mutakhir di lokasi bencana erupsi Gunung Semeru di Lumajang di mana seorang pemuda mengobrak-abrik sesajen yang dianggap kemusyrikan dan mengundang murka Tuhan, contoh kecil sebagai puncak gunung es.
Ada mental model tertentu yang membentuk intoleransi yang tak bisa dibiarkan. Membiarkan terus-menerus hal seperti ini terjadi tanpa koreksi, lama-kelamaan akan dianggap sebagai kenormalan yang pada ujungnya akan meringkihkan sendi kehidupan berbangsa.
Kedua, Indonesia masih jadi contoh negara Muslim di dunia yang perkembangan demokrasinya cukup stabil meski menghadapi berbagai persoalan di beberapa indikator. Laporan The Economist Intelligence Unit (2021) berjudul ”Democracy Index 2020: in Sickness and in Health?” menunjukkan itu.
Baca juga: Memaknai Toleransi
Jika 2020 terjadi penurunan nilai demokrasi Indonesia, itu gejala global, bukan khas Indonesia. Dalam laporan itu Indonesia berada pada peringkat ke-64 secara global, ke-11 di regional Asia dan Australia. Total Indonesia mendapat skor 6,48 dan digolongkan pada kategori demokrasi yang belum sempurna (flawed democracies).
Dari lima indikator penilaian, Indonesia mendapat nilai 7,92 untuk proses pemilu dan pluralisme, 7,14 fungsi pemerintah, 6,11 partisipasi politik, 5,63 budaya politik demokrasi, dan 5,59 kebebasan sipil. Data itu juga menunjukkan, dibandingkan negara-negara Muslim lain di kawasan Timur Tengah dan Afrika, perkembangan demokrasi dan ekonomi di Indonesia jauh lebih mengesankan.
Sejak indeks disusun tahun 2006, Indonesia dinilai sebagai negara yang berhasil mempertahankan diri agar tak terjatuh pada rezim otoriter meski demokrasinya masih belum sempurna. Dari empat kategori yang dibuat yaitu demokrasi penuh (full democracy), demokrasi belum sempurna (flawed democracy), rezim hibrida (hybrid regimes), dan rezim otoritarian (authoritarian regimes), Indonesia senantiasa dalam kategori negara demokrasi belum sempurna (flawed democracies).
Lembaga internasional lain yang mengeluarkan laporan perkembangan demokrasi di Indonesia, seperti Freedom House, juga menampakkan hasil lebih kurang sama. Indonesia masuk kategori partly free dengan angka yang terus menurun. Tahun 2019 berada di angka 62, tahun 2020 menjadi 61, dan tahun 2021 menjadi 59. Angka-angka ini tentu perlu jadi perhatian semua pihak agar tak terus menurun.
Berdasarkan data itu, demokrasi di Indonesia digambarkan berada dalam kondisi stagnan menuju kemunduran (from stagnation to regression) (Thomas Power and Eve Warburton, 2020). Dari sekian banyak indikator yang diukur, ada beberapa indikator yang nilainya rendah, antara lain terkait pluralisme dan partisipasi, fungsi pemerintah, kebebasan sipil, hak asosiasi dan organisasi, supremasi hukum, otonomi pribadi dan hak perseorangan.
Terjadinya berbagai ancaman kekerasan yang mencederai kebebasan berpendapat, kebebasan beragama dan berkeyakinan, baik yang dilakukan pemerintah maupun sesama kelompok masyarakat punya andil dalam menurunnya demokrasi.
Ketiga, seiring dengan penurunan beberapa indikator demokrasi, bangsa Indonesia juga dihadapkan pada ancaman politik identitas yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa. Politik identitas secara sederhana bisa dimaknai sebagai strategi politik yang memfokuskan pada pembedaan dan pemanfaatan ikatan primordial sebagai kategori utamanya.
Politik identitas bisa memunculkan toleransi dan kebebasan, tetapi di lain pihak juga akan memunculkan pola-pola intoleransi, kekerasan verbal-fisik dan juga pertentangan etnik dalam kehidupan.
Karena itu, Tahun Toleransi tak boleh hanya jadi seremonial dan lips service.
Problematika kebangsaan kembali mengedepan tatkala bangsa ini memasuki era demokratisasi. Hal itu terutama terkait hadirnya berbagai ekspresi kebangkitan primordialisme di berbagai daerah yang melandaskan diri pada nilai-nilai keetnisan. Dalam kaitan ini, Tahun Toleransi punya makna strategis. Karena itu, Tahun Toleransi tak boleh hanya jadi seremonial dan lips service.
Perayaan toleransi terjadi di mana-mana tetapi pada saat yang sama intoleransi masih terus berkembang atau bahkan disembunyikan. Tahun Toleransi harus benar-benar jadi momentum untuk menunjukkan komitmen kita semua pada pemenuhan hak konstitusional warga negara, zero toleransi pada tindakan intoleran.
Tantangan
Meski penetapan Tahun Toleransi merupakan terobosan penting, dalam implementasinya menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, terkait koordinasi birokrasi dan menggerakkan semua unsur kementerian dan lembaga. Tahun Toleransi tak boleh hanya jadi milik Kementerian Agama tetapi harus menjadi gerakan pentahelix yang bisa menggerakkan seluruh komponen. Bukan hanya birokrasi, melainkan juga unsur-unsur masyarakat dan dunia usaha.
Masyarakat tak boleh hanya menjadi penonton dari perayaan-perayaan, tetapi harus menjadi subyek yang aktif. Di sini dibutuhkan konduktor dengan otoritas yang cukup.
Kedua, penyelesaian sisa-sisa kasus konflik sosial keagamaan masa lalu. Beberapa persoalan bisa diselesaikan, seperti masalah GKI Yasmin Bogor yang bisa dikatakan sudah tuntas, tetapi untuk persoalan yang lain belum tuntas meski terdapat kemajuan yang menggembirakan. Penyelesaian pengungsi korban konflik keagamaan di Sampang yang masih dalam pengungsian di Jemundo Sidoarjo dan pengungsi Ahmadiyah di Transito Mataram sudah mendekati penyelesaian yang menggembirakan.
Baca juga: Stabilkah Indonesia pada Proklamasi Ke-100?
Dalam waktu yang cukup lama, persoalan ini seperti jadi kerikil dalam ”sepatu” bangsa ini. Namun, hal yang lebih berat adalah memastikan konflik yang sama tidak berulang di daerah-daerah yang lain.
Ketiga, memenuhi Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang ditargetkan RPJMN 2020-2024 mencapai skor 75,8 pada 2024. Tahun 2021, indeks berada di angka 72,39, lebih baik dari 2020 yang 67,46. Meski mengalami perbaikan, indikator toleransi mendapat skor terendah (64,15) dibandingkan indikator lainnya, kesetaraan (75,03) dan kerja sama (73,41) (Balitbang Kemenag RI, 2021).
Tahun Toleransi harus menjadi gerakan bersama seluruh komponen bangsa untuk mempertahankan, memelihara, dan menguatkan sendi-sendi kehidupan berbangsa. Memperkuat toleransi adalah memperkuat kekayaan dan jati diri bangsa kita.
Rumadi Ahmad,Tenaga Ahli Utama Kedeputian V KSP, Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta