Di tengah peningkatan kasus Omicron, berbeda dengan fasilitas rumah sakit yang sempat jeda sehingga dapat dibenahi, ditata ulang, dan ditingkatkan kembali kapasitasnya, justru kita kuatir pada kesiapan tenaga kesehatan.
Oleh
FOTARISMAN ZALUCHU
·5 menit baca
Beberapa bulan lamanya, sejak puncak kasus Covid-19 di pertengahan tahun 2021, jumlah pasien yang dirawat di berbagai rumah sakit melandai dan akhirnya turun drastis. Hampir tidak ada lagi pasien masuk melalui unit gawat darurat dalam kondisi membutuhkan pertolongan medis serius. Dan hampir tidak ada lagi rumah sakit yang membutuhkan pertolongan akibat kebutuhan yang terbatas. Praktis, layanan rumah sakit kembali normal, bekerja menerima pasien yang berpenyakit lain.
Namun ancaman ternyata belum berlalu. Saat ini kasus Covid-19 mulai menunjukkan tren peningkatan. Memasuki awal tahun 2022, kasus Covid-19 varian Omicron mengancam kita. Bahkan varian yang kabarnya mudah menular ini, tak lama lagi akan berada dalam jalur kecepatan tinggi. Sampai-sampai headline harian Kompas pada11 Januari 2022 menyampaikan peringatan kepada kita, bahwa Omicron “diprediksi lebih tinggi daripada varian Delta”. Banyaknya kasus dari luar negeri dan sistem deteksi sirkulasi lokal yang lemah, menyebabkan kondisi ini sebenarnya sudah dapat diduga sejak awal. Meski tidak fatal, varian Omicron ini jelas tidak dapat dianggap sepele. Di negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi sekalipun, layanan kesehatannya kembali mengalami situasi darurat.
Kehadiran Omicron jelas kabar buruk, bukan saja bagi rumah sakit di Indonesia, tetapi terlebih bagi petugas kesehatan di rumah sakit, khususnya dokter dan perawat. Selama dua tahun Covid-19 dan kini memasuki tahun ketiga, para petugas kesehatan kita telah berjibaku tiada henti. Siang dan malam mereka bertahan menahan gempuran badai kasus Covid-19. Mereka berdiri melayani penderita, sekaligus menunjukkan semangat bertahan kepada kita, menahan derasnya laju Covid-19. Ratusan tenaga kesehatan bahkan telah mengorbankan nyawa, menciptakan tragedi kemanusiaan yang menyedihkan.
Di tengah peningkatan kasus Omicron, berbeda dengan fasilitas rumah sakit yang sempat jeda sehingga dapat dibenahi, ditata ulang, dan ditingkatkan kembali kapasitasnya, justru kita kuatir pada kesiapan tenaga kesehatan. Ada kondisi yang perlu kita sikapi secara serius sehubungan dengan kondisi psikologis petugas kesehatan di rumah sakit.
Saya membandingkan sebuah hasil penelitian yang sangat menarik di China mengenai kecemasan dan stres pada dokter dan perawat, pasca tren kasus di rumah sakit menurun drastis. Hasilnya? Serangan berkepanjangan kasus Covid-19 selama berminggu-minggu lamanya, telah menghasilkan kondisi fatal. Laporan tersebut menyebutkan bahwa terjadi depresi di kalangan tenaga kesehatan rumah sakit sebesar 35,8 persen. Penelitian yang sama menyebutkan bahwa kecemasan mencapai 24,4 persen, bahkan keinginan untuk melukai diri sendiri terjadi pada 1,3 persen sampel (33.706 sampel).
Berhentinya kasus yang membludak di rumah sakit, justru pada gilirannya meninggalkan “penyakit” akut bernama kecemasan dan depresi pada petugas kesehatan.
Survei tersebut jelas mengejutkan karena gangguan psikologis tersebut baru dideteksi saat jumlah kasus mendekati titik bawah. Artinya berhentinya kasus yang membludak di rumah sakit, justru pada gilirannya meninggalkan “penyakit” akut bernama kecemasan dan depresi pada petugas kesehatan. Kondisi ini jelas menjadi kekuatiran kita.
Apakah gangguan psikologis ini akan menurun seiring dengan berjalannya waktu? Mungkin iya, mungkin tidak. Masih perlu diteliti dan didalami. Memang beberapa penelitian melaporkan gangguan psikologis pada tenaga kesehatan jika mereka tidak lagi menangani kasus penyakit karena episode penyakit menurun dan berhenti. Tetapi patut pula menjadi kewaspadaan bahwa ada publikasi mengenai stres pada petugas kesehatan yang pernah menghadapi gelombang penyakit SARS, kecemasan dan depresi justru masih bertahan lama hingga setahun kemudian. Kita menduga karena Covid-19 alih-alih menurun, gelombang datangnya penderita yang terus menerpa bahkan membesar bak tsunami, mungkin akan memperpanjang gangguan psikologis pada tenaga kesehatan di rumah sakit, bahkan memperberatnya.
Bagaimana dengan masalah ini di Indonesia? Secara sepintas, ada pernyataan menyebutkan bahwa 80-an persen tenaga kesehatan mengalami kelelahan mental dan fisik. Namun saya mencoba merujuk pada penelitian Dede Narsullah dkk (2020) yang meneliti 644 tenaga kesehatan, untuk menunjukkan level masalah psikologis yang lebih berat. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa sebanyak 3,3 persen tenaga kesehatan mengalami kecemasan sangat berat; stres berat 0,8 persen, depresi berat 0,5 persen.
Andaikan survei mengenai gangguan psikologis ini dilakukan pada skala yang lebih luas, maka saya menduga prevalensi gangguan psikologis skala berat itu, mungkin jauh lebih besar, terlebih di daerah-daerah yang pernah mengalami letusan hebat pasien Covid-19. Artinya, dokter dan perawat kita sebenarnya saat ini sedang tidak dalam keadaan baik-baik saja.
Pencegahan sejak dini
Saya sedang tidak hanya ingin mengajak kita merenungkan besarnya prevalensi kecemasan dan stres pada tenaga kesehatan, tetapi juga mengkuatirkan dampak berkepanjangan hal tersebut. Nyata benar bahwa tekanan psikologis ini tidak berhenti begitu saja manakala rumah sakit kembali normal.
Justru jika gangguan psikologis itu terus terjadi dan tidak ditangani, peningkatan kasus Omicron dalam beberapa minggu lagi, akan menciptakan kondisi yang sangat buruk. Petugas kesehatan bukan hanya akan kembali mengalami kelelahan fisik, tetapi juga memperberat kondisi psikologis yang saat ini barangkali sedang mengalami gangguan kecemasan dan stres.
Saat ini kita perlu melakukan pencegahan dini, untuk menyiapkan tenaga kesehatan agar berada dalam kondisi fisik dan psikologis yang prima.
Kembali kepada persiapan menghadapi Omicron, saat ini kita perlu melakukan pencegahan dini, untuk menyiapkan tenaga kesehatan agar berada dalam kondisi fisik dan psikologis yang prima. Layanan kesehatan rumah sakit perlu segera melakukan pengukuran kondisi psikologis tenaga kesehatan setelah empat bulan puncak kasus tahun lalu berlalu. Monitoring kondisi psikologis tenaga kesehatan di rumah sakit sangat penting dijadikan dasar di dalam pengambilan keputusan mengenai apa yang akan kita lakukan. Sebab jika skala masalah telah diketahui maka setiap rumah sakit perlu menyediakan dukungan penuh untuk memulihkan masalah ini.
Apa yang diperlukan? Rumah sakit sudah saatnya menyediakan layanan pendampingan untuk memulihkan kondisi psikologis petugas kesehatan. Layanan tersebut dapat berupa bantuan psikologis, diskusi-diskusi terbuka untuk mengatasi masalah tenaga kesehatan, bahkan rotasi pekerjaan sehingga dapat menghilangkan beban psikologis petugas. Jika dibutuhkan petugas kesehatan perlu diberikan keterampilan teknik mengatasi stres dan kecemasan sesuai level yang dialami.
Kita harusnya jangan lupa bahwa persiapan rumah sakit bukan hanya soal fasilitas dan infrastruktur, tetapi juga sumber daya manusianya. Untuk mempersiapkan diri menerima limpahan kasus, maka tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit perlu diisi pula energinya. Mereka yang hendak bekerja penuh waktu beberapa bulan mendatang, saat ini butuh persiapan mental, relaksasi, dan kesiapan psikologis. Hal-hal seperti ini akan memberikan energi positif baru kepada petugas kesehatan, manakala beban yang berat dan membutuhkan kesiapan psikologis diletakkan di pundak mereka.
Jika Omicron datang, jangan sampai tenaga kesehatan tumbang.
Fotarisman Zaluchu, Pengajar di Prodi Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Sumatera Utara; Pegiat di Perkamen