Rendahnya otonomi merupakan faktor utama yang membuat lemahnya inovasi di perguruan tinggi (PT). Hal ini akibat langkah pemerintah yang menganut neoliberalisme di bidang pendidikan tinggi dan invasi manajerialisasi PT.
Oleh
TOGAR M SIMATUPANG
·5 menit baca
Rendahnya otonomi ditengarai sebagai faktor utama yang membuat lemahnya inovasi di perguruan tinggi (PT). Satryo Brodjonegoro memberikan penjelasan bahwa pemerintah memegang kekuasaan yang dominan dalam pengaturan berjalannya administrasi dan mutu akademik di PT ( Kompas, 29/1/2022).
Dominasi kekuasaan pemerintah ini mempersempit ruang gerak inovasi sehingga PT tidak dapat berkembang leluasa sesuai dengan kapasitasnya. Alih- alih sebagai sebab, rendahnya otonomi adalah sebagai akibat langkah pemerintah yang menganut neoliberalisme di bidang pendidikan tinggi dan invasi manajerialisasi dalam PT.
Pemerintah mulai mengadopsi faham neoliberal di sektor pendidikan sejak diterbitkannya UU No 7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia.
Salah satu butir penting menetapkan, pendidikan termasuk dalam kategori jasa yang dapat diperdagangkan. Hal ini sejalan dengan Bank Dunia yang telah mempromosikan 'agenda reformasi' global pada pendidikan tinggi melalui privatisasi, deregulasi, dan marketisasi.
Agenda reformasi yang diusung Bank Dunia berorientasi pada pasar daripada kepemilikan publik atau perencanaan dan regulasi pemerintah. Bank Dunia mengidentifikasi dosen dan perlindungan tradisional mereka sebagai hambatan utama efisiensi berbasis pasar.
Reformasi pendidikan dilakukan sebagai tatanan birokrasi melalui perincian dan regulasi dengan penggunaan indikator kinerja, standar mutu, dan kampus merdeka berbasis pasar untuk mengatur PT dan menilai keberhasilan dengan memperkenalkan akuntabilitas serupa entitas bisnis dan gaya manajemen yang berorientasi pada hasil.
Bank Dunia mengidentifikasi dosen dan perlindungan tradisional mereka sebagai hambatan utama efisiensi berbasis pasar.
Sebagai bagian dari gerakan reformasi, Peraturan Pemerintah No 61 Tahun 1999 tentang Penetapan PTN Sebagai Badan Hukum diterbitkan oleh pemerintah. Sepuluh tahun berikutnya, pemerintah mengeluarkan UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang kemudian kandas.
Rentetan peristiwa yang men -dukung komodifikasi pendidikan masih berlanjut dengan diluncurkannya UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH) menyarankan bahwa pendidikan tinggi telah menyerahkan tujuan dan misinya pada budaya komersialisme dan pertukaran menurut mekanisme pasar.
Gerakan teranyar adalah UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka peluang yang lebih besar bagi investor swasta memperoleh keuntungan bagi pengeluaran negara, sekaligus memengaruhi bentuk dan isi pendidikan.
Transformasi bisnis-neoliberal pendidikan tinggi disebut “kapitalisme akademis” (Slaughter dan Leslie, 1997). Perguruan tinggi adalah serupa perusahaan di mana profesi berfungsi sebagai alat produksi. Tanpa disadari, perguruan tinggi secara bertahap disesuaikan dengan ideologi manajerialis yang berasal dari sektor swasta yang ditetapkan dalam statuta yang rambu-rambunya diatur oleh pemerintah.
Manajerialisme
Istilah manajerialisme merujuk pada bagaimana PT mengadopsi bentuk struktur organisasi, teknologi, praktik manajemen, dan nilai-nilai yang lebih umum ditemukan di sektor bisnis swasta. Melalui manajerialisme, pimpinan perguruan tinggi menjadi fasih dalam melakukan artikulasi visi dan misi, perencanaan strategis, marketisasi, dan evaluasi.
Pimpinan adalah kaum profesional ataupun akademisi yang berubah menjadi manajer yang harus memastikan bahwa institusi mereka menjadi lebih berwirausaha, adaptif, dan responsif terhadap pasar.
Manajerialisme merupakan paham bahwa pimpinan PT tereduksi menjadi manajer yang mendefinisikan kembali hubungan administrator-dosen, dosen-mahasiswa, dan kegiatan akademik. Karakteristik utama dari manajerialisme adalah tekad untuk mengelola, penentuan kriteria penilaian kinerja, kurangnya sumber daya yang disertai dengan strategi efisiensi, dan persaingan dalam mendapatkan mahasiswa, hibah, dan peringkat.
Praktik manajerialisme dianggap sebagai jalan tengah untuk menjamin kebebasan akademik dan otonomi yang dipahami sebagai seperangkat hak dan kewajiban, sambil bertanggung jawab penuh dan akuntabel kepada masyarakat.
Meskipun praktik manajerialis ini dianggap berguna paling tidak dalam menjalankan penyelenggaraan akademik, ada bukti efek merugikan pada tugas utama PT.
Institusi pendidikan saat ini sibuk mencari keuntungan dari pengajaran, penelitian, dan semua kegiatan lain di kampus, antara lain menawarkan perusahaan mensponsori kursus, membawa penemuan ilmiah universitas ke pasar, bahkan beriklan di kampus.
Bentuk-bentuk marketisasi menjadikan pendidikan sebagai komoditas, semuanya memaksakan kriteria akuntansi untuk menilai pendidikan dan produk manusianya.
Ketika dana pemerintah berkurang, PT dipaksa untuk menjadi lebih efisien dan mencari sumber uang lain. Di salah satu ujung pencarian sumber pendapatan alternatif ini adalah lembaga-lembaga laba, misalnya unit-unit usaha komersial. Beberapa mahasiswa melihat pendidikan itu sendiri sebagai komoditas dan melihat ijazah lebih penting daripada kompetensi yang mereka kuasai.
Status dosen tetap sebagai jaminan kebebasan akademik dan keamanan kerja tunduk pada logika pasar akademik. Terjadinya proletarisasi status dosen seperti alih daya pengajaran ke dosen kontrak, kebangkitan pendidikan daring, pengenalan evaluasi tahunan dan remunerasi, pengembangan penilaian kinerja, dan peningkatan ketergantungan pada pendanaan penelitian eksternal.
Manajerialisme merupakan paham bahwa pimpinan PT tereduksi menjadi manajer yang mendefinisikan kembali hubungan administrator-dosen, dosen-mahasiswa, dan kegiatan akademik.
Emansipasi inovasi
Sikap paternalistik di PT membuat praktik manajerialisme tumbuh subur dan nyaris tanpa kritik. Kalaupun ada kritik, rentang kuasa dapat membungkam kritik yang muncul dan mengecap mereka yang mengkritik sebagai pihak yang membuat onar atau tidak puas dengan gaya manajemen.
Kejadian inilah yang dapat disaksikan dalam hubungan antara pimpinan Universitas Indonesia dan pihak-pihak yang berjuang agar PT tetap menonjolkan khitahnya sebagai sistem yang fleksibel dan terbuka yang menawarkan tempat untuk koeksistensi berbagai jenis pemikiran.
Dalam ekonomi global di mana nilai-nilai neoliberal privati -sasi dan persaingan pasar dominan, sangat penting untuk menegaskan kembali prinsip bahwa pendidikan akademik, voka -si, dan profesional, adalah hak dan bukan barang dagangan.
Perguruan tinggi adalah tempat yang tidak hanya untuk komunikasi ide tetapi sarana untuk bertukar pikiran dan mendengarkan ketimpangan. Hanya dengan emansipasi dari warga kampus, PT dapat tampil secara kritis menjadi jawaban terhadap konflik internal dan isu-isu pembangunan nasional.