Tidak semua tradisi lokal adalah arif. Karena itu, dalam hal ini penggunaan istilah lokalitas atau regional lebih tepat daripada kearifan lokal karena di dalamnya juga mengandung sesuatu yang di antaranya ”arif”.
Oleh
RANANG AJI SP
·4 menit baca
Penggunaan frasa ”kearifan lokal” sering kali kita dapatkan dalam konteks perbincangan humaniora, terutama bahasan kebudayaan dan sastra. Tren itu setidaknya sudah berlangsung dalam beberapa tahun ini. Terutama pada sastra, frasa ”kearifan lokal” menjadi semacam dorongan agar para penulis fiksi sastra untuk mempertimbangkan latar lokal menjadi pijakan tema dan latar fiksi yang akan mereka tulis.
Kearifan lokal memiliki makna sesuatu yang bersifat bijak pada tradisi lokal atau setempat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ”arif” bermakna bijaksana, pandai, paham, dan mengerti. Sementara dalam glosarium[dot]org, ”kearifan lokal” adalah kematangan masyarakat di tingkat komunitas lokal yang tecermin dalam sikap, perilaku, dan cara pandang masyarakat yang kondusif di dalam mengembangkan potensi dan sumber lokal (material dan nonmaterial) yang dapat dijadikan sebagai kekuatan di dalam mewujudkan perubahan ke arah yang lebih baik atau positif.
Adapun apabila kita membaca salah satu artikel berjudul ”Kearifan Lokal dalam Sastra Indonesia” karya Teguh Supriyanto dalam jurnal kajian sastra Jentera (Vol 3, No 2, 2014) dalam paragraf abstraknya tertulis:
”...Teks sastra klasik, terutama dalam sastra Jawa klasik sarat dengan muatan kearifan lokal, yang memelihara nilai-nilai karakter. Pada era tahun 2000-an, sikap menjunjung kearifan lokal ternyata masih ditampilkan....”
Artikel di Kompas, 12 Oktober 2017,berjudul ”Angkat Kearifan Lokal dalam Sastra”, ada kutipan pernyataan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dadang Sunendar, sebagai berikut:
”Tujuannya agar penulis bisa menyampaikan cerita dengan ilustrasi atau latar belakang kehidupan di daerah perbatasan. Selain itu, karya sastra dengan latar budaya ini juga berpotensi untuk dialihbahasakan ke bahasa asing sehingga Indonesia bisa dikenal lewat karya sastra yang universal."
Dari seluruh makna yang dituliskan di atas, bisa disimpulkan bahwa makna definitif itu membawa pengertian bahwa penting bagi seorang penulis Indonesia menyuarakan sesuatu yang melahirkan kesadaran mempertahankan tradisi lokal atau daerah yang memiliki nilai positif dalam masyarakat dan lingkungannya.
Bias konsepsi
Masalahnya adalah ajakan positif itu membawa bias dan kesesatan berpikir hingga melahirkan kekeliruan kolektif dalam penggunaan makna frasa tersebut. Kearifan lokal tiba-tiba sering diucapkan begitu saja dan disalahpahami oleh banyak orang hingga tereduksi maknanya menjadi sekadar kesadaran lokalitas. Kesadaran lokalitas dalam sastra Indonesia adalah membawa gagasan bahwa membawa isu lokal dalam sastra itu berarti membawa makna ”kearifan lokal”.
Dalam sastra Amerika sekitar abad ke-19, misalnya, telah marak dengan fiksi realis bercorak regionalisme atau lokalitas dalam perjalanan sastranya. Para penulis Amerika yang mengacu pada realisme Eropa menggagaskan sastra regionalitas (lokalitas), seperti Mark Twain (Samuel L Clemens), Henry James, dan Kate Chopin, menciptakan gambaran kehidupan masyarakat lokal secara realistis dengan kelaziman realisme bekerja.
Kearifan lokal tiba-tiba sering diucapkan begitu saja dan disalahpahami oleh banyak orang hingga tereduksi maknanya menjadi sekadar kesadaran lokalitas.
Meskipun mereka berbeda dalam memaknai kondisi setiap latar lokal yang mereka tulis secara sastrawi. Dalam The Adventure of Huckleberry Finn, Mark Twain dinilai meninggikan nuansa lokalitas di dalam teks-teksnya. Mark Twain membawa pembacanya pada jantung kehidupan masyarakat Selatan di masa abad ke-19. Sementara Kate Chopin melalui novelnya, The Awakening, mengkritik wilayah tempat ceritanya berlangsung dengan latar kelas atas (masyarakat Creole dan budaya Louisiana). Adapun Henry James menulis novel Daisy Miller: A Study dengan alas realisme untuk membangun serangannya terhadap adat tradisi setempat secara real-times.
Dalam sastra Indonesia, Umar Kayam menulis Para Priyayi (1991), Romo Mangun menulis Roro Mendut (1983), Kuntowijoyo menulis Pasar (1994) juga menghadirkan realitas lokal dan membangun kritiknya terhadap tradisi. Sastrawan terkini, seperti Muna Masyari (Madura), Faizal Oddang (Makssar), juga menuliskan kritik dalam fiksi sastra mereka. Muna Masyari, misalnya, dalam cerpen Kasur Tanah (2017) menampilkan latar budaya Madura dan mempersoalkan adat tradisi yang ikut berperan memicu tragedi. Demikian pula dalam cerpen Di Tubuh Tarra dalam Rahim Pohon (2014) karya Faizal Oddang, kita mendapati kritik adat tradisi tanah Toraja.
Lalu, apabila seluruh karya di atas itu melawan tradisi, bagimana menempatkan makna frasa ”kearifan lokal” dalam fiksi sastra yang di dalamnya dipenuhi kritik terhadap tradisi lama? Bukankah itu menjadi kesesatan logika (fallacy) apabila dihadapkan pada makna baiknya tradisi seperti maksud ”kearifan lokal”? Tentu saja, akan lebih tepat jika menggunakan lokalitas atau regionalitas saja dalam sastra, maka, di dalamnya akan meliputi frasa kearifan lokal. Mengingat juga bahwa lokalitas atau regionalisme sudah merupakan aliran sastra di Amerika dua abad lalu. Mungkin demikian.