Menebar Jiwa Berkorban
Ibadah kurban dan Idul Adha mengajarkan makna pengorbanan. Bahwa atas nama Tuhan, manusia harus tulus berkorban untuk kepentingan kehidupan yang lebih luhur dengan menyembelih ego dan kepentingan sendiri.
’
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F27%2F764fb105-12bd-4922-9720-cf4f326d40ea_jpg.jpg)
Jemaah melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram, Mekkah, Senin (27/6/2022).
Ibrahim sungguh bertaruh nyawa. Hanya lewat sebuah mimpi, Nabi Kekasih Allah itu berani mengorbankan putra tercintanya, Ismail. Sementara Ismail dengan tulus bersedia memenuhi perintah Allah lewat ayahnya yang berisiko tinggi itu.
Berikut dialog antara Ibrahim dan Ismail: ”Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat di dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu’. Ismail menjawab, ’Wahai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar’” (QS Ash-Shaffat: 102).
Kisah Ibrahim dan Ismail dalam Al Quran tersebut merupakan bagian penting dari perintah berkurban bagi umat Islam setiap merayakan Idul Adha. Idul Adha 10 Zulhijah itu sendiri mengandung makna Hari Raya Penyembelihan. Setiap Muslim yang berkemampuan diperintahkan menyembelih hewan kurban untuk dibagikan kepada khalayak umum.
Ismail memang tidak jadi dikorbankan dan atas perintah Allah diganti dengan seekor hewan. Ibrahim, Ismail, bersama Ibunda Siti Hajar lulus ujian Tuhan, mengorbankan sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya demi memenuhi perintah Tuhan bagi kepentingan orang banyak.
Itulah puncak tertinggi rohaniah dari keluarga Ibrahim, yakni jiwa berkorban. Jiwa tulus mengabdi kepada Tuhan dan berbuat kebajikan utama bagi kehidupan semesta!
Jiwa tulus mengabdi kepada Tuhan dan berbuat kebajikan utama bagi kehidupan semesta!
Virus egoistis
Problem kehidupan manusia dimulai ketika setiap orang mementingkan dirinya yang berselimutkan hawa nafsu egoistis. Terbunuhnya Habil oleh Kabil adalah contoh paling klasik. Sejarah manusia diawali pertumpahan darah akibat nafsu iri hati seorang Kabil terhadap saudara kandungnya yang dianggap bernasib baik.
Awal virus ”deprivasi relatif” dimulai dari sini, yang terus berputar sepanjang sejarah umat manusia. Seseorang tidak suka orang lain sukses, sementara dirinya teralienasi sehingga jadi posesif dan predator.
Setiap manusia memang memiliki hawa nafsu. Nafsu memenuhi kebutuhan inderawi yang bersifat biologis. Nafsu menguasai materi atau kekayaan. Nafsu berkuasa, apabila perlu selama mungkin dan terkonsentrasi pada dirinya. Nafsu membangun dinasti.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F27%2F63044dfe-265f-4819-ad95-9e355be7fed7_jpg.jpg)
Jemaah melakukan tawaf di lantai dua Masjidil Haram, Mekkah, Senin (27/6/2022) siang waktu setempat. Jemaah haji dari sejumlah negara berdatangan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji pada awal Juli 2022.
Semua nafsu itu normal, tetapi menjadi abnormal ketika manusia bukan aktor yang menguasai hawa nafsu agar segalanya terkendali dan tersalurkan secara bermartabat. Nafsunya menjadi at-takatsur, membuncah dengan hasrat berlebih seluruh dunia berada di tangannya sampai mati (QS At-Takatsur: 1-2).
Namun, sebaliknya, hawa nafsu itulah yang mengusai manusia. Manusia dikendalikan dan diperbudak hawa nafsunya. Nafsu atas segala kebutuhan keduniaan yang berlebihan, di mana hanya dirinya yang harus menguasai dan memenanginya, sementara yang lain kalaupun boleh haruslah menjadi bagian dari kuasanya.
Inilah pertanda sosok-sosok manusia yang disebut dalam Al Quran sebagai man ittakhadza ilahahu hawahu, yakni orang yang menuhankan hawa nafsunya (QS Al-Jasiyah: 33).
Karena banyak orang memiliki nafsu egoistis yang ingin diwujudkan, maka berlaku hukum Thomas Hobbes, homo homini lupus. Manusia menjadi serigala yang saling memangsa satu sama lain. Terjadilah konflik, penindasan, pembunuhan, hingga perang antarmanusia atau bangsa berujung kekacauan dan kehancuran dalam dunia kehidupan.
Baca juga: Idul Adha untuk Kemaslahatan Bangsa
Kehidupan chaos dimulai dari sini sehingga, kata Hobbes, dunia memerlukan pranata keteraturan hukum. Namun, hukum pun dirusak karena nafsu ingin menguasai segalanya. Manusia serakah menciptakan lingkaran setan kerakusan sehingga sulit dihentikan.
Nafsu untuk menguasai orang atau bangsa lain melahirkan perbudakan dan penjajahan. Nestapa kemanusiaan bermula dari dua tragedi besar itu. Manusia egois makin ekspansif demi menguasai alam demi keuntungan sebesar-besarnya untuk dirinya, kroni, dan kekuatan penopangnya.
Alam dengan seluruh isi dan lingkungannya dikuras habis oleh nafsu eksploitasi para petualang ekonomi dan korporasi. Keuntungan yang diraih harus optimum, melahirkan kapitalisme rakus di muka bumi.
Politik yang pada dasarnya luhur untuk mengurus sesuatu dengan baik (sawasa al-amr) dan membangun dunia utama (civitas dei) berubah tingkah mengabdi pada dirinya, yakni kekuasaan. Korupsi, suap-menyuap, dan segala siasat dilakukan demi meraih kekuasaan dan mengakumulasinya menjadi kekuasaan absolut, mengikuti premis Lord Acton.
Para oligarki ekonomi dan politik bersekutu memupuk kerajaan politik dan bisnis. Trisula oligarki Firaun-Qorun-Hamman menjelma di seluruh muka bumi, secara terbuka dan terselubung, dengan kekuasaan tak terhingga.
Agama pun dijadikan alasan untuk penguasaan dunia kehidupan, bukan untuk menebar rahmat bagi semesta alam. Atas nama agama, segolongan pihak ingin menguasai negara atau pemerintahan, apabila perlu menjadikannya pusat hegemoni alirannya sendiri.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F27%2Ffa6880e5-1b78-45eb-aced-8e5e063389eb_jpg.jpg)
Jemaah bersiap shalat Dzuhur di lantai dua Masjidil Haram, Mekkah, Senin (27/6/2022) siang waktu setempat. Jemaah haji dari sejumlah negara berdatangan ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji pada awal Juli 2022.
Perang sipil di Eropa yang bermula di Jerman terjadi karena hawa nafsu ekspansi golongan agama tertentu terhadap golongan berbeda yang berkonspirasi dengan rezim kekuasaan politik. Buahnya, pertumpahan darah dengan korban banyak jiwa tak berdosa dan kehancuran lingkungan fisik sekitar.
Konflik dan perang mutakhir pun berakar pada hawa nafsu yang tak terbendung dan berujung untuk saling menguasai, mengalahkan, dan menghancurkan. Kehancurannya lebih dahsyat karena didukung teknologi militer yang canggih dengan daya rusak masif.
Perang Dunia I dan II contoh paling nyata dari tragedi perang di era modern. Kini perang dalam ragam bentuk dan alasan masih didaur ulang di sejumlah kawasan, seakan lupa sejarah prahara nista yang menghancurkan kehidupan semesta.
Ibadah kurban dan Idul Adha mengajarkan makna pengorbanan.
Ajaran berbagi
Ibadah kurban dan Idul Adha mengajarkan makna pengorbanan. Bahwa atas nama Tuhan, manusia harus tulus berkorban untuk kepentingan kehidupan yang lebih luhur dengan menyembelih ego dan kepentingan sendiri.
Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar simbol hamba-hamba Tuhan yang ikhlas berkorban demi sesama dan menebar rahmat bagi semesta. Jiwa takwanya melampaui nalar biasa, masuk ke ranah hakikat dan makrifat yang mengajarkan irsyadat (petunjuk metafisika) bagi pemeluk agama dan umat manusia. Mesti dipahami, kehidupan tak berhenti di ranah fisik dan materi, tetapi naik ke cakrawala metafisik dan kerohanian yang melampaui nalar verbal-instrumental manusia.
Peristiwa kurban Ibrahim dan Ismail itu sungguh menembus dua dimensi rohaniah-metafisika kehidupan utuh dari insan bertakwa yang tercerahkan iman dan akal budinya untuk berbuat segala keutamaan kebajikan di semesta raya.
Tuhan bersaksi atas pengorbanan Ibrahim dan Ismail dengan firman-Nya: ”Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu” (QS Al-Hajj: 37).
Verbalitas ibadah seperti Idul Adha dan menyembelih hewan korban serta seluruh dimensi keberagamaan semestinya mampu menembus ranah takwa terdalam yang melahirkan kesalehan diri nan otentik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F06%2F17%2F055a4562-c8e0-4717-af96-3c64697e4543_jpg.jpg)
Warga mengambil paket berisi sejumlah bahan makanan yang dibagikan dalam kegiatan Cantelan di Kelurahan Bumijo, Jetis, Yogyakarta, Jumat (17/6/2022). Kegiatan berbagi bahan makanan untuk warga yang membutuhkan tersebut mulai berlangsung sejak awal pandemi Covid-19 dan terus rutin dilakukan hingga saat ini.
Seraya atas nama Tuhan imannya memancarkan kesalehan sosial dalam mempraktikkan ajaran kebajikan kepada sesama dan lingkungan kehidupan. Selain itu, dengan jiwa berkorban yang tinggi serta jiwa berbagi, berbuat sesuatu yang paling berharga untuk mewujudkan kebaikan dan keutamaan hidup bersama.
Berkorban bagi mereka yang memiliki kekuasaan politik ialah bersedia menjadikan jabatannya untuk kebaikan orang banyak. Berkorban untuk menyejahterakan, menyelamatkan, memakmurkan, mencerdaskan, menyatukan, membuat rasa aman, menyelamatkan, melindungi, serta memajukan kehidupan rakyat dan kemanusiaan.
Semua pihak berkorban menyembelih kepentingan sempit dirinya demi kepentingan yang lebih luas. Berani untuk tidak korupsi, menyalahgunakan jabatan, bersekongkol, dan berbuat yang merugikan hajat hidup publik karena jiwa takwanya menjadi benteng moral terkokoh dalam dirinya.
Berkorban bagi para pemegang kuasa ekonomi ialah tidak memupuk kekayaan berlebihan. Apalagi, dengan cara ilegal, monopolistik, dan segala praktik bisnis yang merugikan hajat hidup orang banyak.
Berhenti dari praktik mafia dan oligarki yang merusak tatanan kehidupan.
Mereka berani mengorbankan kepentingannya yang tak pernah cukup dalam meraih keuntungan dengan menghentikan praktik eksploitasi alam dan lingkungan. Berhenti dari praktik mafia dan oligarki yang merusak tatanan kehidupan. Seraya berekonomi yang halal, baik, dan menyejahterakan kehidupan. Mereka mau berbagi kue ekonomi demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berkorban bagi seluruh anak bangsa ialah mau menyembelih ego diri dan kelompok sendiri demi persatuan Indonesia yang sejati. Mengedepankan kebersamaan sebagai pilihan hidup yang menyelamatkan eksistensi negeri dari segala bencana. Sekaligus menjauhkan diri dari virus benci, caci maki, intoleransi, serta nafsu berlebih ingin menguasai negeri demi paham dan kepentingan sendiri.
Para elite menjadi suri teladan dalam merekat kesatuan bangsa dan memajukan negara dengan jiwa memberi dan bukan mengorupsi. Para tokoh negeri hadir sebagai pemandu kehidupan menuju cita-cita luhur Ibu Pertiwi layaknya elite-elite negarawan sejati.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F02%2Ff5b4557b-6978-4021-8f5a-2fbe2f8fdd05_jpg.jpg)
Warga non-Muslim antre untuk bersilaturahmi kepada tetangga mereka saat perayaan Idul Fitri di Dusun Tekelan, Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (2/5/2022). Mereka merupakan penganut agama Buddha, Kristen, dan Katolik.
Berkorban bagi tokoh dan umat beriman ialah beragama secara otentik yang menebar rahmat bagi semesta di dunia nyata. Menebar praktik keagamaan al-hanafiyyah as-samhah, yakni beragama yang lurus dan lapang hati. Menjadi umat yang tengahan (ummatan wasatha) serta tidak ekstrem dalam beragama dan menjalani kehidupan.
Beragama yang memajukan dan mencerahkan peradaban (syuhadaa ’ala al-nas) milik bersama. Beragama yang mengamalkan praktik hidup toleran, welas asih, bersaudara, empati, simpati, berbagi, dan bekerja sama dengan siapa pun yang berbeda. Menjadikan perbedaan sebagai rahmat dan persatuan sebagai anugerah demi kelangsungan hidup bersama di bumi tercinta yang diberkahi Tuhan!
Haedar Nashir,Ketua Umum PP Muhammadiyah