Berkurban memiliki makna mendalam. Dalam konteks kebangsaan, spirit berkurban perlu dihadirkan di Tanah Air. Bangsa ini mengundang jiwa-jiwa besar yang mau berkorban untuk berkurban. Beragama harus tulus dan autentik.
Oleh
YAQUT CHOLIL QOUMAS
·5 menit baca
Umat Islam yang berada di Tanah Air akan merayakan Idul Adha dengan shalat Id dan menyembelih hewan kurban (Idul Kurban). Sementara umat Islam yang sedang di Tanah Suci berada dalam puncak haji.
Haji pada 2022 ini betul-betul istimewa. Pertama, karena wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat sehingga disebut sebagai haji akbar. Kedua, haji tahun ini merupakan haji pertama di era pandemi Covid-19. Berbagai persiapan perencanaan hingga pelaksanaan dilakukan dalam waktu yang relatif singkat, tetapi tetap mengacu pada kesehatan, keamanan, keselamatan, kenyamanan, dan pelayanan terbaik bagi jemaah.
Ketiga, ini haji pertama sejak saya diberikan amanah untuk memimpin Kementerian Agama. Pelayanan kepada jemaah merupakan orientasi utama dan kunci keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji. Saya meletakkan standar tinggi dalam pelayanan kepada jemaah, supaya dijadikan benchmark pada tahun berikutnya, meskipun harus diakui, masih ada beberapa kekurangan yang harus diperbaiki.
Wujud paling nyata dari ketakwaan hati adalah keikhlasan dalam melaksanakannya.
Spiritualitas haji
Ibadah haji merupakan salah satu ibadah yang tertua, bukan hanya dalam Islam, melainkan juga dalam peradaban manusia. Sejarahnya merujuk kepada Nabi Ibrahim AS yang dijuluki ”Abul Anbiya” (bapaknya para nabi). Tokoh sentral tiga agama besar dunia, yaitu Yahudi, Nasrani, dan Islam.
Para nabi pembawa risalah tiga agama besar itu merupakan keturunan Nabi Ibrahim AS. Rasulullah SAW memberikan gambaran hubungan para nabi sebagai saudara satu bapak lain ibu (ikhwatun min `allât); agamanya satu, tetapi syariatnya beragam.
Meski syariatnya berbeda, semua nabi dan rasul, sejak Nabi Nuh AS sampai Nabi Muhammad SAW, membawa misi yang sama dari Tuhannya, yaitu mengajak manusia untuk tunduk dan pasrah hanya menyembah Allah SWT, sesuai konteks masa dan kondisi umatnya (QS Al-Syura: 13).
Ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang mengajak pelakunya untuk mengagungkan Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya. Berhaji harus mampu menghadirkan pengakuan akan keagungan dan kebesaran Allah SWT.
Karena itu, segala bentuk amalan yang dilakukan seseorang dalam berhaji, mulai dari tawaf, sa’i, wukuf, melontar jumrah, hingga kurban, harus bisa dirasakan sebagai bentuk pengagungan dan pengakuan atas kemahabesaran Allah SWT. Barangsiapa bisa merasakan itu, sesungguhnya itulah bentuk ketakwaan hati (QS Al-Hajj: 32).
Wujud paling nyata dari ketakwaan hati adalah keikhlasan dalam melaksanakannya. Untuk itu diperlukan kesungguhan dalam berhaji, baik secara fisik (menyempurnakan rukun, wajib, dan sunah haji) maupun mental (dengan mengendalikan hati dari segala godaan). Upaya itu disebut jihad.
Inilah salah satu rahasia surat Al-Hajj ditutup dengan seruan untuk berjihad (QS Al-Hajj: 78). Sebagai ibadah fisik dan menapak tilas kehidupan Nabiyullah Ibrahim AS, jemaah haji harus mampu menghadirkan makna-makna terdalam salam setiap ritual haji yang dilakukan, bukan sekadar mengikuti langkah mutawwif.
Saat tawaf, misalnya, jemaah haji harus mampu memaknai bahwa Allah SWT adalah pemilik puncak semesta. Alam berputar sesuai kehendak Sang Maha Esa. Karena itu, umat Islam harus mengikuti hukum-hukum-Nya.
Begitu pula dengan ritual sa’i atau lari-lari kecil dari bukit Shafa ke Marwah sebanyak tujuh kali. Bermula dari kisah Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, yang berusaha keras mencari seteguk air untuknya dan bayinya, Ismail AS.
Seorang yang berhaji harus dapat merasakan bahwa kehidupan yang dilaluinya harus diikhtiari.
Di lembah yang tandus dan hanya berdua, perempuan yang baru saja melahirkan itu tak kenal lelah berusaha mencari rezeki. Usaha keras itu berakhir dengan anugerah Tuhan berupa air zamzam yang mengalir deras dari entakan kaki bayi Ismail AS.
Seorang yang berhaji harus dapat merasakan bahwa kehidupan yang dilaluinya harus diikhtiari. Dimulai dari shafa yang berarti ’kejernihan’ dan berakhir dengan marwah yang berarti ’batu putih nan berkilau’.
Maksudnya, hidup ini tidak mudah dan semua orang harus berusaha. Semua usaha harus diawali dengan niat yang baik dan hati yang jernih, apa pun posisi dan bagaimanapun situasi serta kondisi kita. Jika itu yang dilakukan, peluang untuk menemukan akhir yang penuh kedamaian akan terwujud.
Kedamaian yang tidak hanya bersinar untuk diri sendiri, tetapi juga untuk lingkungan sekitar. Saat itulah anugerah Allah SWT berupa zamzam kehidupan yang menyegarkan kehidupannya tidak akan pernah terputus.
Spirit berkurban
Umat Islam di Tanah Air yang mampu disunahkan untuk menyembelih hewan kurban. Berkurban merupakan bagian dari sunah Nabi Ibrahim AS yang mesti kita teladani, sebagaimana tergambar di syariat haji.
Berkurban memiliki makna yang mendalam. Pertama, ketundukan dan keikhlasan Nabi Ibrahim AS dalam menjalankan perintah-Nya (transendental). Apa pun perintah Allah SWT, sebesar apa pun godaannya, Nabi Ibrahim AS taat menjalaninya.
Kedua, kepedulian sosial dan perhatian kepada lingkungan. Haji bukan sekadar ibadah orang kaya dan ritual pribadi. Seluruh peribadatan yang dilakukan umat Islam, termasuk haji, selain untuk pendekatan diri kepada Allah SWT (habl min Allah), juga harus memiliki dampak sosial (habl min al-nas). Karena itu pula, jemaah haji yang melanggar larangan haji atau meninggalkan rukun haji diberikan sanksi dengan membayar dam berupa menyembelih hewan ternak.
Ketiga, berkurban bukan soal bagi-bagi daging kepada masyarakat. Allah SWT juga tidak membutuhkan darah dan daging kurban. Salah satu makna simbolis dalam berkurban adalah bagaimana umat Islam memusnahkan sifat-sifat hewani yang ada di dalam dirinya. Rakus, tamak, mau menang sendiri, liar, tidak taat aturan, dan lain-lain merupakan nafsu hewani yang mesti dihilangkan.
Dalam konteks kebangsaan, spirit berkurban perlu dihadirkan di Tanah Air. Kita semua maklum, sebagian besar problem kebangsaan yang kita hadapi karena diri kita dikuasai nafsu hewani.
Dalam konteks kebangsaan, spirit berkurban perlu dihadirkan di Tanah Air.
Selain ingin selalu menang, kita juga bersikap menang-menangan. Semua hal ingin didominasi, lalu dieksploitasi dan celakanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Nasib bangsa yang berlindung dalam payung NKRI tak tersisakan. Bahkan nafsu hewani juga dapat menyusup ke dalam praktik beragama. Beragama secara intoleran, ekstrem, apalagi sampai meneror orang lain, merupakan bukti nafsu dapat menguasai dalam beragama.
Orang-orang yang menyalahgunakan dana zakat, infak, dan sedekah untuk kebutuhan pribadi dan mendukung kegiatan ekstremisme juga bukti lain bahwa nafsu bisa merasuk ke dalam praktik beragama. Beragama harus tulus dan autentik, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW.
Bangsa ini mengundang jiwa-jiwa besar yang mau berkorban untuk berkurban demi masa depan bangsa yang lebih sejahtera. Jiwa-jiwa yang tercerahkan saat menunaikan haji. Jiwa-jiwa yang rela menyisakan—bukan sekadar yang punya kelebihan, malah yang kekurangan pun—semangat, pikiran, dan tenaganya agar NKRI tetap utuh dan damai.
Semoga seluruh jemaah haji Indonesia mendapatkan haji mabrur dan kurban kita diterima oleh Allah SWT.