Data Departemen Tenaga Kerja pada 1997 menunjukkan satu juta orang mengalami PHK akibat krisis moneter. Pengangguran terselubung diyakini jumlahnya mencapai 37-40 juta orang atau hampir setengah angkatan kerja saat itu.
Oleh
SIMON P SARAGIH S
·6 menit baca
*Artikel berikut ini pernah terbit di Harian Kompas edisi 30 Desember 1997. Kami terbitkan kembali dalam rubrik Arsip Kompas.id untuk mendampingi perilisan Narasi Fakta Terkurasi, aset NFT perdana Harian Kompas.
JAKARTA, KOMPAS -- Sejumlah sektor ekonomi mengalami masa teramat berat akibat krisis moneter. Terdapat indikasi menjadi krisis ekonomi seperti di sektor properti, konstruksi, perbankan. Pemutusan hubungan kerja (PHK) pun mulai terjadi dengan angka yang cukup signifikan. Data yang bersumber dari Depnaker menyebutkan kemungkinan terjadinya PHK terhadap satu juta orang hingga akhir tahun 1997 ini. Hembusan optimisme akan mencuat setelah Maret 1998, dengan asumsi adanya pemulihan kepercayaan para investor.
Demikian opini akhir tahun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang disampaikan Ketua Umum Kadin Aburizal Bakrie di Jakarta, Senin (29/12). Dia didampingi Wakil Ketua Kadin Iman Taufik dan pengurus Kadin lainnya seperti Adi Putra Darmawan Tahir, Dewi Motik Pramono, M Zakile dan lainnya.
Kadin menyatakan, sektor properti sudah melakukan PHK kurang lebih 40.000 karyawan. Dari data API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia), sektor industri tekstil hingga pertengahan tahun 1998 menunjukkan, PHK dapat mencapai 15 persen dari total karyawan yang sebesar dua juta karyawan, sehingga bisa menimpa 300.000 orang.
"Suatu sumber dari Departemen Tenaga Kerja menyebutkan bahwa kemungkinan terjadinya PHK hingga akhir tahun 1997 dapat mencapai satu juta jiwa karyawan," ujar Ical, panggilan Aburizal Bakrie, tanpa merinci lebih lanjut.
Staf Ahli Menteri Tenaga Kerja Dr Payaman Simanjuntak belum lama ini mengungkapkan, sekitar satu juta orang terkena PHK selama tahun 1997. Dari perhitungannya, sekitar 500.000 di PHK karena perusahaannya bangkrut, sedangkan sisanya yang 500.000 adalah mereka yang semestinya bisa diserap lapangan kerja, tetapi batal.
Sementara itu, Ketua Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI), Bomer Pasaribu menegaskan, pengangguran terbuka akan naik dari 7,7 persen tahun 1997 menjadi 9,0 persen tahun 1998 dari sekitar 91 juta angkatan kerja. Pengangguran terbuka adalah bila seseorang bekerja kurang dari 60 menit seminggu.
Pengangguran terselubung, menurut Pasaribu, bisa mencapai 45 persen, berarti bisa mencapai antara 37-40 juta orang (45 persen dari 91 juta angkatan kerja). Sedangkan pihak Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Seluruh Indonesia), memperkirakan sudah 3 juta- 4 juta buruh yang tidak lagi bekerja. Sedangkan pihak Depnaker memperkirakan hanya 950.000 orang.
Pihak Kadin mengemukakan, sejumlah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri diperkirakan juga akan terpaksa pulang kampung. "Krisis serupa di Malaysia dengan ciri-ciri sektor properti yang macet juga akan mengurangi penggunaan karyawan. Sebagian TKI kemungkinan besar terpaksa kembali ke Indonesia," lanjut Ical.
Kadin juga menyampaikan prediksi pertumbuhan ekonomi 1998. "Ekonomi tumbuh lebih rendah, antara 3-4 persen," kata Ical. Tahun 1998, relatif kurang menguntungkan bagi bisnis berorientasi domestik. Sektor perbankan kemungkinan besar terkena imbasnya. Diperkirakan, akan banyak kredit macet. Sektor properti, terutama menengah ke atas akan menghadapi masa yang sangat berat dan kinerjanya sangat menurun.
Kadin juga menyibakkan sense of crisis dari sudut lain. "Kebijakan uang ketat kini masih terasa sangat mendalam. Untuk itu Kadin akan bertemu Bank Indonesia. Tujuannya agar BI memberikan dorongan pada perbankan sehingga bisa meringankan beban pengusaha. Kalau perbankan domestik saja tak bersedia melakukan roll over, bagaimana dengan asing. Hal itu penting mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, seperti kebangkrutan, PHK dan lain-lain," kata Ical.
Untuk membantu kesulitan pengusaha domestik dari keharusan membayar pinjaman pada masa sulit ini, Kadin juga menyarankan agar pemerintah lebih memberikan perhatian kepada fund managers dan commercial bankers internasional. "Memberikan perhatian pada IMF dan Bank Dunia saja tidak akan memecahkan masalah," kata Ical.
"Kadin menganggap perlu menunjuk investment bankers, masing-masing untuk pasar Asia, AS dan Eropa yang akan diminta mengusulkan langkah-langkah penyelesaian masalah utang swasta berjangka pendek. Hal itu pernah dilakukan saat krisis Pertamina tahun 1974/ 1975. Saat itu ditunjuk Morgan Guarantee Trust menyelesaikan utang Pertamina," kata Ical.
Penunjukan itu, kata Ical, mengingat peran investment bankers sebagai penjamin dan memiliki kredibilitas tinggi, yang sekaligus bisa meyakinkan kreditur internasional dalam penundaan pembayaran utang. Peran seperti itulah yang sangat diharapkan dari penunjukan investment bankers.
Kadin juga meminta pada pemerintah melakukan suatu tindakan, agar eksportir penghasil devisa antara 4 sampai 4,5 milyar dollar AS per bulan bersedia menukarkannya dengan rupiah. Untuk itu, juga diberikan fasilitas swap yang telah disediakan Bank Indonesia, dengan jaminan para eksportir bersangkutan tidak dirugikan.
Depresiasi rupiah adalah yang tertajam, bahkan sudah mencapai tahapan krisis moneter.
Kadin juga mengingatkan, meski negara-negara Asia Timur dan Tenggara mengalami depresiasi mata uang, tetapi depresiasi rupiah adalah yang tertajam, bahkan dewasa ini sudah mencapai tahapan krisis moneter.
"Hal itu tidak dapat dijelaskan semata-mata dari sudut pandang ekonomi. Pemecahannya tidak dapat hanya dengan pemecahan secara teknis ekonomis saja, apalagi hanya memandang utang-utang jangka pendek swasta sebagai penyebab utamanya," kata Aburizal Bakrie. "Jika krisis ini terlalu lama dibiarkan, akan menghambat pembangunan dan dapat juga mengurangi keberhasilan yang telah dicapai selama ini," tegas Ical.
Menimpali ucapan Ical, Iman Taufik menambahkan, benar bahwa depresiasi mata uang tidak terjadi pada rupiah saja. "Tetapi sebaiknya kita tidak menghibur diri bahwa kita tidak sendiri. Kita agaknya harus memperhatikan, ASEAN itu selain sebagai negara sahabat, juga sekaligus menjadi pesaing," ujar Iman.
Ia menyiratkan ASEAN sudah memiliki landasan yang lebih bagus untuk menuju stabilisasi kurs. Berbagai reformasi, dan tindakan hingga ke suksesi kepemimpinan - yang juga menjadi sasaran pertanyaan investor pada Indonesia - sudah berlangsung baik. "Melihat keadaaan itu, agaknya kita perlu berhati-hati juga dan jangan menghibur diri bahwa kita tidak sendiri," tegas Iman.
Ical menandaskan, meskipun mekanisme mengenai kepemimpinan nasional telah jelas sesuai dengan UUD '45, masyarakat dan dunia usaha di dalam dan luar negeri mengharapkan adanya suatu penjelasan yang lebih rinci. Soal suksesi, salah satu topik pertanyaan yang diajukan pihak asing pada Indonesia selama road show baru-baru ini.
Reformasi juga menjadi pertanyaan. "Dalam pada itu kebijakan deregulasi 3 November perlu disempurnakan, termasuk mengenai monopoli dan tata niaga yang tidak perlu, yang seyogianya dihindarkan kecuali beras."
Demikian pula mengenai kebijakan pemerintah lainnya, khususnya pembangunan proyek-proyek baru, baik proyek pemerintah maupun swasta, program penghematan, pemangkasan prosedur untuk memperoleh izin, jika diumumkan secara rinci akan banyak membantu pemulihan kepercayaan itu.
Kadin menyatakan, situasi sulit di Indonesia sebenarnya bukanlah kata mati. Tetap ada harapan pemulihan perekonomian sepanjang kepercayaan investor internasional sudah pulih. Batasan untuk memulihkan kepercayaan itu sebenarnya sangat tipis, dan mudah mengucapkannya. Untuk itu Kadin menyarankan, pelaksanaan good and clean governance diperbaiki, sebagai salah satu kiat pemulihan keyakinan itu. (mon)