Infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional perlu dikoordinasikan dengan lebih proaktif. Pelaksanaannya tetap melibatkan pihak swasta, tetapi pemerintah dan BI menentukan visi pemerataannya secara nasional.
Oleh
RICO USTHAVIA FRANS
·4 menit baca
KOMPAS/RADITYA HELABUMI (RAD)
Nasabah menggunakan aplikasi mobile banking BCA di Jakarta, Senin (12/7/2021).
Sesuatu yang kasatmata lebih mudah menjadi perhatian. Infrastruktur nasional, seperti jalan tol, pelabuhan, bandara, jalur kereta api, dan infrastruktur fisik lainnya, mudah dilihat, dirasakan, dan dinikmati. Infrastruktur fisik ini sudah lama menjadi perhatian pemerintah. Sebaliknya, sistem pembayaran ritel tidak terlalu kasatmata sehingga kurang mendapatkan perhatian pemerintah sebagai bagian dari infrastruktur digital nasional.
Peran pemerintah sangatlah penting untuk memeratakan pembangunan infrastruktur secara nasional. Pemerintah tidak hanya mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur untuk daerah-daerah yang berpotensi bisnis tinggi, tetapi juga untuk daerah-daerah yang potensi bisnisnya masih rendah.
Jika pembangunan infrastruktur sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta, akan ada daerah-daerah yang tertinggal. Wilayah luar Jawa, misalnya, tidak akan segera menikmati infrastruktur nasional karena secara komersial proyek pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tersebut kurang menguntungkan.
Berbeda dengan infrastruktur fisik, pembangunan infrastruktur sistem pembayaran ritel masih sangat mengandalkan kontribusi pihak swasta. Biaya investasi dan implementasi infrastruktur sistem pembayaran ritel sebagian besar ditanggung oleh para pelaku industri, yaitu penyedia jasa pembayaran (PJP) dan penyelenggara infrastruktur sistem pembayaran (PIP).
Berbeda dengan infrastruktur fisik, pembangunan infrastruktur sistem pembayaran ritel masih sangat mengandalkan kontribusi pihak swasta.
Para pelaku sistem pembayaran tersebut notabene pihak swasta, yaitu bank-bank dan perusahaan-perusahaan teknologi finansial yang berorientasi komersial. Hal ini menimbulkan permasalahan mendasar, yaitu kurang meratanya infrastruktur pembayaran ritel yang sangat penting bagi infrastruktur digital nasional.
Contohnya, pengembangan jaringan pembayaran menggunakan mesin EDC (mesin gesek kartu) yang ada di kasir-kasir. Biaya investasi, pemasangan, perawatan, dan operasi mesin EDC tidak murah. Setiap perangkat membutuhkan biaya rata-rata Rp 150.000 per bulan. Di sisi lain, pendapatan dari merchant (toko, restoran, hotel, dan gerai lain yang menggunakan mesin EDC) menyisakan margin tipis bagi penyelenggaranya.
Secara praktis hanya bank-bank besar yang mampu melakukan investasi pemasangan EDC. Namun, karena pertimbangan komersial, mereka hanya memfokuskan penyebaran EDC di kota-kota besar. Daerah-daerah terpencil kurang diprioritaskan karena secara komersial tidak menguntungkan.
Inisiatif QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dari Bank Indonesia (BI) dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) patut diacungi jempol. Namun, implementasi QRIS tidaklah langsung menyelesaikan permasalahan. QRIS, khususnya yang menggunakan stiker QR, memang lebih murah, tetapi tetap membutuhkan biaya akuisisi, pemasangan, perawatan, dan operasi.
Di sisi lain, rata-rata nilai transaksi QRIS jauh lebih kecil dibandingkan transaksi menggunakan kartu. Jika rata-rata transaksi kartu debit Rp 700.000-an, rata-rata transaksi QRIS hanyalah Rp 30.000-an. Ini mengakibatkan pendapatan per transaksi QRIS lebih rendah daripada transaksi kartu.
BI memang sudah mendorong akuisisi merchant QRIS sehingga pada akhir tahun 2021 mencapai 12 juta. Meski demikian, di lapangan banyak merchant yang memasang lebih dari satu stiker QRIS sehingga jumlah merchant unik pasti lebih rendah. Selain itu, karena pertimbangan komersial, implementasi QRIS di daerah-daerah terpencil juga masih sedikit.
Penetrasi pembayaran nontunai akan mengurangi ”shadow economy”. Transaksi tunai yang tadinya tidak tercatat, dengan pembayaran nontunai, akan menjadi lebih kelihatan sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan produk domestik bruto.
Alokasikan anggaran
Lalu, bagaimana pemerintah dan BI sebaiknya menyikapi hal ini?
Seyogianya pemerintah memosisikan sistem pembayaran sebagai bagian terpadu dari infrastruktur digital nasional. Alangkah baiknya jika pemerintah atau BI mengalokasikan anggaran pengembangan atau subsidi infrastruktur pembayaran ritel seperti halnya infrastruktur fisik nasional lainnya.
Alokasi anggaran tersebut dapat didukung dengan beberapa alasan. Pertama, transaksi pembayaran menggunakan uang tunai itu mahal. Secara rule of thumb, konversi pembayaran tunai menjadi nontunai menghasilkan penghematan sekitar 1 persen dari nilai pembayaran. Penghematan ini diperoleh dari berkurangnya biaya BI untuk mencetak, mengedarkan, dan mengurus uang kartal, serta berkurangnya biaya cash handling oleh merchant dan bank.
Kedua, transaksi pembayaran nontunai akan mendorong putaran bisnis yang lebih cepat karena lebih cepat, mudah, nyaman, dan murah. Ketiga, penetrasi pembayaran nontunai akan mengurangi shadow economy. Transaksi tunai yang tadinya tidak tercatat, dengan pembayaran nontunai akan menjadi lebih kelihatan sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan produk domestik bruto.
Ilustrasi BSI Mobile, aplikasi layanan perbankan digital dari PT Bank Syariah Indonesia Tbk.
Selanjutnya, pemerintah dan BI seyogianya memberi ruang bagi investor mendapatkan pengembalian yang layak dan wajar. Hal ini sudah jamak dilakukan pemerintah pusat ataupun daerah dalam hal pembangunan infrastruktur fisik. Jika suatu proyek infrastruktur tidak layak secara komersial, pemerintah biasanya memberi subsidi sehingga pihak penyelenggara tetap memperoleh keuntungan yang layak.
Contohnya adalah Transjakarta di mana Pemda DKI menginginkan ongkos transportasi massal yang murah bagi warga DKI. Di sisi lain, operator bus Transjakarta akan rugi jika harus menjalankan operasinya dengan harga tiket yang murah tersebut. Oleh karena itu, konsekuensinya Pemda DKI harus memberikan subsidi kepada operator bus Transjakarta agar tetap mendapat keuntungan layak dan mau berinvestasi serta mengoperasikan bus-bus Transjakarta.
Infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional dikoordinasikan oleh pemerintah dan BI dengan lebih proaktif. Pelaksanaannya tetap melibatkan pihak swasta, tetapi pemerintah dan BI menentukan visi pemerataannya secara nasional.
Kembali ke sistem pembayaran ritel nasional, pemerintah memiliki dua pilihan. Pilihan pertama adalah tetap mengandalkan pihak swasta dan memberi koridor harga yang menjadi insentif untuk berinvestasi. Konsekuensinya adalah pihak swasta akan menggunakan pertimbangan komersial sehingga pemerataan cakupan infrastruktur sistem pembayaran ritel secara nasional tidak akan optimal.
Pilihan kedua adalah infrastruktur sistem pembayaran ritel nasional dikoordinasikan oleh pemerintah dan BI dengan lebih proaktif. Pelaksanaannya tetap melibatkan pihak swasta, tetapi pemerintah dan BI menentukan visi pemerataannya secara nasional. Untuk daerah-daerah yang secara komersial belum layak, pemerintah memberikan subsidi dan insentif bagi pihak swasta untuk menggelar infrastruktur pembayaran ritel tersebut.
Pilihan kedua rasanya lebih tepat karena daerah-daerah yang terpencil bisa segera menikmati layanan sistem pembayaran tanpa harus menunggu kelayakan secara komersial.
* Rico Usthavia Frans, Anggota Komite Pengarah Indonesia Fintech Society (IFSoc).