Praktik perbudakan merentang sejak dulu kala hingga zaman Bupati Langkat. Kulit Pangeran Jeoly dikelupas ahli bedah Theophilus Poynter dan disimpan di Sekolah Anatomi di Universitas Oxford sebagai bukti perbudakan.
Oleh
Linda Christanty
·4 menit baca
Sosok dalam lukisan grafis itu hanya mengenakan secarik kain yang berfungsi sebagai cawat. Sekujur tubuhnya bertato, kecuali wajah dan leher hingga batas tulang selangka. Dia budak asal Meangis, pulau kaya emas, pala, dan cengkeh. Dulu Meangis atau Miangas sebuah kerajaan kecil, tetapi kini pulau terluar milik Indonesia.
William Dampier menjelaskan riwayat sang budak dalam bukunya, A New Voyage Round the World (1697). Ketika kapalnya bersandar di Fort St. George di Madras, India, pada 1690, dia melihat kapal dagang dari Mindanao merapat ke pelabuhan itu. Perwira kapal tersebut, William Moody, membawa dua budak bertato. Salah seorang dari mereka adalah Pangeran Jeoly, yang lama-kelamaan dilafalkan orang Inggris, Pangeran Giolo.
Dampier adalah petualang dan bajak laut yang bekerja untuk kapal-kapal Inggris milik perorangan dengan misi menyerang kapal-kapal dagang Spanyol. Dia pernah berlayar sampai ke Banten, Mindanao, Aceh, Malaka, dan Bengkulu.
Membayangkan Jeoly dapat menjadi aksesnya berdagang dengan Miangas di masa depan, Dampier antusias membeli setengah kepemilikan dua budak tersebut, Jeoly dan ibunya (yang meninggal tiba-tiba), dari Moody. Dampier terpaksa melepas Jeoly kepada pemilik lain saat situasi keuangannya memburuk. Pada 1691, Jeoly dipamerkan di Oxford, Inggris, karena tatonya, lalu meninggal karena cacar.
Kulit Jeoly dikelupas oleh ahli bedah Theophilus Poynter untuk menjadi koleksi Sekolah Anatomi di Universitas Oxford. Kulit ini salah satu bukti penting dari sejarah perbudakan dan perdagangan manusia.
Buku James Francis Warren, The Sulu Zone 1768 -1898; The Dynamics of External Trade, Slavery, and Ethnicity in the Transformation of a Southeast Asian Maritime States (1981), telah mengungkap perdagangan budak di wilayah Kesultanan Sulu, yang menjadi titik tolak untuk mengetahui keterkaitan dan perluasannya di wilayah lain Asia Tenggara.
Warren, profesor emeritus bidang sejarah dan kajian Asia Tenggara di Universitas Murdoch, menulis bahwa orang Makassar dan orang Bugis terlibat hubungan dagang dengan Sulu. Dia menjelaskan peran orang Bugis dalam perdagangan budak. Beberapa ratus orang dari Sulu diangkut orang Bugis ke pasar budak di Jawa (Batavia, Banten, Cirebon), Sumatera (Palembang), Kalimantan (Banjarmasin), dan Malaka secara teratur pada abad ke-18.
Perdagangan budak paling masif dilakukan orang Lanun, bajak laut dari Mindanao. Warren menulis bahwa antara tahun 1792 dan 1804, orang Lanun menyerbu Pulau Bangka. Serbuan pertama mereka di Sungailiat. Mereka mengangkut ”ratusan orang Melayu, Cina, dan Jawa” untuk dijual. Ratusan keluarga ditawan dari banyak permukiman atau kampung. Korban yang lolos mati kelaparan di persembunyian. Sejak itu kata ”lanun” menjadi sinonim ”bajak laut”. Penyerbuan orang Lanun masih tercatat sporadis sampai 1840.
Tidak hanya menghadapi orang Lanun, orang Bangka juga harus menghadapi bajak laut yang diperintah Sultan Mahmud Marhum Lingga (digelari demikian karena dia wafat dan dikuburkan di Pulau Lingga, Riau). Sang Sultan secara khusus meminta adik angkatnya, Panglima Raman, seorang Bugis-Wajo, menjadi navigator, organisator, dan koordinator kelompok-kelompok bajak laut Melayu dan Bugis untuk secara khusus menyerang Pulau Bangka, di pusat-pusat kepentingan VOC, termasuk mencuri timah. Tindakan Sultan Mahmud mirip tindakan Ratu Inggris memerintah Sir Francis Drake secara resmi untuk menyerang seluruh kepentingan Spanyol dan Portugis serta Tahta Suci Vatikan di seluruh dunia.
Para bajak laut tidak hanya menyerang benteng-benteng timah VOC di Pulau Bangka. Mereka juga mempraktikkan kejahatan kemanusiaan. Orang Bangka ditangkap untuk dijual.
Secara formal waktu itu Pulau Bangka masih bagian Kesultanan Palembang, tetapi sejak 1685 berada di bawah proteksi VOC melalui perjanjian dengan Kesultanan Palembang dan timah merupakan hak monopoli VOC.
Para bajak laut tidak hanya menyerang benteng-benteng timah VOC di Pulau Bangka. Mereka juga mempraktikkan kejahatan kemanusiaan. Orang Bangka ditangkap untuk dijual, antara lain, ke Jambi, Indragiri, Kepulauan Riau, Malaka, Sambas, Brunei, dan Indochina. Pertempuran habis-habisan orang Bangka melawan bajak laut berlangsung di Kurau, Koba, pada 1805, sehingga lahir frasa bahasa Bangka ”ancok kurau”, yang setara dengan kata ”amok” maknanya dalam bahasa Melayu Asia Tenggara.
Setahun sebelum Inggris menyerbu Palembang pada 1811, Panglima Raman menulis surat khusus kepada Sultan Palembang Muhammad Bahauddin agar mengampuni Bahrin, putra sahabatnya yang belum mumayyiz (belum akil baliq) atau berusia di bawah 12 tahun pada saat ayahnya, Dipati Karim alias Anggur, terlibat kejahatan pencurian timah dan bajak laut di Pulau Bangka bersama Panglima Raman pada 1805.
Menurut penyelidikan Raffles dan laporan Robert Rollo Gillespie, penduduk Bangka tidak sampai 10 persen jumlahnya ketika Inggris datang dan ini akibat perdagangan budak oleh bajak-bajak laut.
Kehancuran di Pulau Bangka hanya dapat dibandingkan dengan Kerajaan Blambangan di Jawa Timur ketika melawan VOC dan sekutunya, Kerajaan Madura pada 1877. Orang Blambangan musnah tinggal sekitar 8.000 jiwa dari populasi mencapai 60.000 jiwa.
Praktik perbudakan masih terjadi di masa Indonesia merdeka. Kasus terakhir diketahui publik berkat operasi tangkap tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-angin, awal tahun ini. Ketika menggeledah rumahnya, para penyidik menemukan 27 tawanan dalam kerangkeng besi. Mereka kerja paksa 10 jam per hari di kebun kelapa sawit milik si bupati. Mereka disiksa, kurang makan, tidak digaji, dan selesai bekerja langsung dikerangkeng.